Mengapa saya, sebagai muslim–laki-laki, harus mendukung RUU PKS? Begini ya: pelecehan dan kekerasan seksual (PKS) merupakan tindakan kriminal yang belum banyak disadari oleh masyarakat kita. Padahal tindakan ini sangat merugikan, terutama bagi kalangan perempuan yang kerap menjadi korban. Untungnya di Indonesia masyarakat mulai berani bersuara. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menjadi salah satu titik maju itu.
Hingga tahun 1990-an, PKS menjadi isu yang belum banyak muncul di permukaan. Ada banyak faktor yang melatar belakangi, seperti ketakutan korban untuk melapor, tidak adanya dukungan dari masyarakat, hingga alasan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan cara damai.
Celakanya, cara damai tersebut kerap menimbulkan masalah baru. Misalnya saja korban perkosaan diminta untuk menikah dengan pemerkosa. Alasannya secara adat, bayi yang dikandung adalah bayi si pemerkosa sehingga ada ‘kewajiban’ untuk menikahi. Yang lebih parah, ada sebagian masyarakat yang menyangka bahwa menikahkan pemerkosa dan korbannya adalah bagian dari ajaran agama.
Wait. Agama mana yang menyuruh korban perkosaan menikahi pemerkosa? Secara prinsip saja, ‘hukum’ tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama. Apalagi melabeli sebagai hukum agama. Cilaka mencit namanya. Tapi mengapa masyarakat kita ‘memaklumi’ hal semacam ini?
Ada banyak faktor. Salah satunya masyarakat kita belum merdeka sejak dalam pikiran. Masyarakat masih berpikir bahwa bayi yang dikandung harus memiliki bapak sehingga mau tidak mau ada yang bertanggung jawab secara moral. Lah, sayangnya yang disuruh bertanggung jawab secara moral saja tidak bermoral. Alasan seperti ini tentu harus ditentang.
Kehadiran RUU P-KS menjadi oase di tengah krisis perlindungan terhadap korban PKS. RUU tersebut menjadi penguat bagi perempuan untuk berani melawan jika harkat dan martabat dirinya dilecehkan, termasuk oleh orang terdekatnya. Tidak ada istilah memaklumi untuk sesuatu yang bisa membuatnya trauma seumur hidup.
Namun entah mengapa ada sebagian kalangan masih mempermasalahkan draft RUU tersebut. Biasanya mereka akan menggunakan beberapa alasan seperti adanya pasal yang mendiskreditkan umat Islam—karena ada pasal yang menjelaskan bahwa hubungan seksual harus ada kesepakatan antara suami dan istri, hingga diperbolehkannya perkawinan sesama jenis.
Tentu saja propaganda seperti itu tidak berdasar. Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang menelan mentah-mentah informasi itu. Sebagai umat Islam, mari kita lakukan prinsip tabayun alias check and re-check.
Pertama, tidak ada pasal yang memperbolehkan perkawinan sesama jenis di RUU P-KS. Silakan baca sampai tuntas 184 pasal yang tercantum di draft RUU P-KS. Tidak ada satu pun pasal yang secara eksplisit dan implisit membahas persoalan tersebut.
RUU tersebut disusun karena adanya keprihatinan tidak adanya undang-undang yang mengatur secara khusus kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Peristiwanya banyak. Korbannya tak terhitung. Tetapi mereka tidak mendapatkan jaminan hukum. Ketika melapor, korban justru disalahkan dengan berbagai tuduhan. Di persidangan pertanyaan seperti ‘apakah saudari menikmati persetubuhan’, ‘apakah pakaian saudari sopan’, dan pertanyaan berbau misoginis lain masih bergentayangan.
Kedua, tuduhan RUU P-KS anti Islam karena bisa mengkriminalisasi pasangan suami dan istri yang sah tidaklah benar. Bagaimana mungkin suami dan istri yang sah bisa dikriminalisasi?
Di draft RUU P-KS memang ada pasal 11 yang menyatakan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di ruang lingkup relasional—termasuk rumah tangga. Tetapi harus dibaca juga dong pasal 12 yang menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang bisa dipidana dengan UU P-KS nantinya itu yang mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
Lah, bukannya rumah tangga yang baik itu dibangun atas dasar maslahah yang artinya menghormati satu sama lain? Bagaimana mungkin kebahagiaan bisa diraih jika pasangannya terintimidasi, terhina, direndahkan, atau bahkan dipermalukan?
Ketakutan lelaki atas RUU ini tidak beralasan ketika para lelaki memiliki niat baik untuk melindungi pasangannya. Namun jika lelaki tersebut menganut pemahaman bahwa perempuan merupakan manusia kelas dua, bisa jadi mereka akan menolak mati-matian RUU yang melindungi perempuan.
Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Dalam relasi rumah tangga, Rasul mengajarkan lelaki menghormati istri, dan istri menghormati suami. Rumah tangga bukan hanya soal bertahan dari gelombang masalah (sakinah). Bukan pula sebatas saling menerima kekurangan agar harmonis (mawaddah). Juga bukan hanya tentang saling mengasihi (warahmah). Berumah tangga adalah jalan maslahah, membangun sebuah peradaban untuk kebaikan bersama.
Muslim yang kaffah akan senantiasa memperjuangkan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Allah dan Rasulullah. Termasuk dalam membangun relasi, asas keadilan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan harus diterapkan. Hal ini mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan, bukan? Apalagi jika kita sudah tidak adil gender sejak dalam pikiran. Wallahua’lam.