Seorang politisi, salah satu dari unsur pimpinan DPR, dalam salah program talkshow di televisi swasta mempersoalkan orang-orang sekarang takut pada terminologi “kafir”. Politisi itu mempertanyakan mengapa kata tersebut harus ditakuti, padahal setiap agama memiliki terminologinya sendiri dalam menyebut orang di luar agama itu sendiri.
Pernyataan yang sama pernah juga terlontar dari salah satu ustadz terkenal, mempertanyakan hal yang sama. Bahkan, ditambahkan oleh sang ustadz dengan menjelaskan bahwa orang sekelas Abu Jahal dan Abu Lahab saja tidak marah, jadi mengapa orang non-muslim harus takut dengan kata tersebut.
Sekilas pernyataan di atas memang terlihat sangat logis, akan tetapi ada hal yang luput dari perhatian dua tokoh tersebut. Yakni, kata “kafir” dalam kultur Indonesia sekarang sudah menjadi bagian dalam kekerasan budaya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Saya menjawab pertanyaan ini dengan memakai penjelasan Johan Galtung tentang kekerasan. Sebab, dalam pandangan saya, kata ini sudah menjadi senjata untuk kekerasan dalam bentuk menjatuhkan, menindas, dan mempersekusi orang yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Proses terjadinya sebuah kata bisa menjadi bagian dari kekerasan, merupakan proses yang kompleks sehingga harus dilacak secara mendalam. Sebab, dalam kekerasan dalam kasus ini, bisa saja tidak berbentuk fisik, sehingga sangat sulit diketahui atau dilacak.
Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia, menyebut permasalahan ini dengan kekerasan budaya atau kultural. Galtung menjelaskan ada tiga model kekerasan yang ada di dunia saat ini. yaitu, kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya atau kultural. Galtung menjelaskan bahwa kekerasan budaya sebagai aspek budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu emperik dan ilmu formal, juga dapat menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural.
Sedangkan, kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan langsung dari manusia ke manusia yang lain. Sedangkan, kekerasan struktural adalah kekerasan yang mengharuskan adanya relasi yang seimbang antara aktor dan struktur. Dalam hal ini, dengan adanya dukungan dari kekuasaan, sebuah kekerasan bisa dijadikan legal dan sah. Adapun kekerasan budaya membuat dua model kekerasan di atas menjadi terlihat, dirasakan, dan benar, atau setidaknya tidak salah.
Sekarang, kata “kafir” telah menjadi bagian dari kekerasan budaya.
Proses ini mungkin tidak disadari oleh banyak kalangan, khususnya agamawan dan politisi, karena prosesnya yang rumit. Banyak hal yang berkelindan di dalamnya menjadikan sebuah kata tersebut menjadi fragmen dalam kekerasan. Memang, tidak setiap kata “kafir” diucapkan atau ditulis langsung menjadi bagian dari kekerasan budaya, ada proses yang membuat kata tersebut menjadi bagian dari kekerasan budaya.
Simbol, sebagai bagian dari produk kebudayaan masyarakat, memiliki peran penting dalam proses ini. Kekuatan simbol yang bisa masuk dalam pikiran dan kemampuannya untuk merubah dan memelihara nilai-nilai moral. Inilah yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu bahwa kekuatan simbolik adalah kekuatan yang mampu mengkonstruksi kenyataan, artinya simbol memiliki kekuatan logika yang bisa mengkontrol nilai-nilai dalam masyarakat.
Kekuatan simbolik inilah yang kemudian menjadi sumber penting kekuasaan. Kekuasaan ini dapat digunakan oleh mereka yang menggenggamnya untuk mempengaruhi orang lain demi mencapai dan mempertahankan dominasi. Di sinilah praktik kekerasan simbolik terjadi, oleh karena kekerasan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat, sejalan dengan inilah Galtung menjelaskan dalam proses inilah kekerasan akhirnya dimaknai sebagai sesuatu yang alamiah atau bahkan diabaikan sama sekali.
Kekuatan simbolik dalam lema “kafir” inilah yang kemudian digunakan oleh mereka yang miliki kuasa, untuk melemahkan yang liyan, demi memperoleh dominasi. Dalam ilmu bahasa, makna sebuah kata memang tidak dibentuk/ ditentukan oleh hakikat benda yang diacu, tetapi oleh perbedaan di antara satuan penanda/ tertanda dengan sesamanya.
Ariel Heryanto menjelaskan salah satu implikasi dari pernyataan di atas, adalah makna tidak pernah ditentukan oleh agen (pengguna bahasa) karena makna itu dibentuk dari sistem bahasa itu sendiri. Tapi sistem itu tidak pernah beku/mati/alamiah, karena dasar hubungannya adalah sewenang-wenang. Maka, makna suatu teks selalu terbuka, majemuk, penuh kemungkinan, dan di luar kendali agen/subjek tertentu.
Hal inilah yang membuat pemaknaan sebuah kata bisa saja berubah kapan saja. Tapi dalam kasus kata “kafir” ini bukan cuma makna yang bergeser tapi juga dimasukkan pemahaman baru didalamnya, sehingga makna kata itu akhirnya bertambah.
Kata “kafir” digunakan untuk membuat mereka yang berbeda dengan kaum muslim menjadi lemah dan memperkuat dominasi oligarki. Jadi, kata ini bukan lagi digunakan menunjukan mereka yang tidak memeluk agama Islam, akan tetapi juga disematkan didalamnya golongan yang membahayakan dan memiliki potensi menghacurkan umat Islam. Sehingga, golongan ini pantas (bahkan harus) dilemahkan karena mengancam dominasi “masyarakat” muslim. Kata masyarakat diberi tanda kutip, karena sebenarnya yang benar-benar menikmati hasil dari dominasi tersebut adalah para oligarki kekuasaan, bukanlah masyarakat muslim.
Di sinilah labelisasi “kafir” pada kelompok masyarakat yang tidak memeluk Islam harus lebih hati-hati, karena bila tidak, kita malah terlibat dalam praktik kekerasan simbolik atau kultural yang menyerang kelompok tersebut. Oleh karena itu, janganlah mengumbar kata tersebut dengan sangat mudah. Sebab, kata tersebut menyimpan potensi kekerasan kultural yang ini akan membahayakan pada kemanusiaan.
Inilah pekerjaan rumah besar bagi Indonesia saat ini dalam menyambut Hari Hak Asasi Manusia. Kekerasan kultural yang dikonsepkan oleh Galtung ini memang sangat sulit dilacak dan dibuktikan, walau sangat jelas terlihat apa yang dirasakan oleh mereka yang mendapatkan perlakuan tersebut. Seruan untuk membangun masyarakat yang sadar akan nilai-nilai kemanusiaan, harus terus diperlantang. Karena, dengan kesadaran itulah yang akan membuat masyarakat enggan terjebak pada persoalan primordial, dan lebih fokus pada kemanusiaan dalam kesejahteraan bersama.
fatahallahu alaihi futuh al-arifin