Mengapa ‘Islam Pedesaan’ Terlupakan?
‘Islam Pedesaan’ tidak terlupakan! Memang, sejak 1998, Indonesia menjadi negara yang semakin terdemokratisasi dan sekaligus juga terislamisasi. Salah satu ciri penting Islamisasi itu adalah adanya keterjalinan yang kompleks antara kesalehan komunal, komodifikasi agama, populisme Islam, dan Islamisme. Keterjalinan yang kompleks tersebut sering kali melibatkan fenomena kontestasi antara berbagai pendukung varian Islam Indonesia. Pergeseran ekspresi keagamaan dan kekuatan penetrasi ekonomi pasar global marak terjadi di kalangan Muslim kelas menengah perkotaan (Pribadi 2019, 104).
Namun, di tulisan ini saya telah menunjukkan bahwa perdebatan akademik tentang kehidupan Muslim di pedesaan Indonesia masih tetap ada, bertahan, dan bahkan berkembang dengan menunjukkan karakter-karakternya yang khas. Tetapi, memang benar bahwa kelompok-kelompok Muslim kelas menengah perkotaan yang sedang berkembang pesat ini terus berusaha untuk menyebarluaskan identitas mereka sebagai identitas yang paling tepat, dan sekaligus mempromosikannya sebagai identitas sosial-budaya yang ideal untuk seluruh bangsa Indonesia (lihat: Mengapa Populisme Islam dan Politik Identitas Menjalar di Kelas Menengah Perkotaan?).
Dalam hal ini, ketidakmampuan kelompok-kelompok Muslim di pedesaan untuk melakukan hal yang sama dengan rekan imbangan mereka di perkotaan, terutama karena disebabkan oleh keterbatasan sumber daya dan akses ke pusat-pusat kekuasaan, ekonomi, dan sosial-budaya yang tidak mereka miliki, menyebabkan sepak-terjang kelompok-kelompok di perkotaan terlihat lebih menonjol.
Selain itu, agresivitas kelompok-kelompok Muslim kelas menengah perkotaan yang sering kali memiliki karakter Islamis/religius-konservatif ternyata kini banyak ditujukan pada berbagai ekspresi keagamaan dan ritual Islam tradisional ala pedesaan (terkait dengan tradisi ritual Islam lokal yang menjadi bagian dari Islam khas Indonesia) yang akhirnya membuat yang terakhir seolah-olah bukan merupakan Islam yang tepat bagi masyarakat Indonesia.
Selain itu, penanda lainnya di mana kelompok-kelompok Muslim kelas menengah perkotaan terlihat sangat aktif—dan justru kelompok-kelompok Muslim pedesaan terlihat pasif—terletak dalam hal religiusitas dan identitas. Religiusitas kini telah menjadi isu signifikan di antara komunitas-komunitas Muslim perkotaan dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia. Menjadi seorang Muslim berarti bahwa seseorang tidak hanya harus melakukan ritual-ritual keagamaan dan menghindari aktivitas yang tidak bermoral, tetapi juga dengan bangga dan terus-menerus perlu menunjukkan identitas keislamannya.
Di banyak kelompok Muslim kelas menengah perkotaan, menjadi religius dengan jelas dapat ditunjukkan melalui penampilan busana yang dianggap paling Islami. Indikasi lainnya juga terlihat dari kegemaran mereka dalam berkomunikasi di mana lebih suka menyebutkan kata-kata tertentu dalam bahasa Arab yang terpatah-patah (dan sering kali dalam konteks yang kurang tepat) daripada menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Lebih jauh, mereka juga gemar mengkonsumsi komoditas-komoditas yang dianggap Islami yang sangat penting untuk religiusitas mereka, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya (Pribadi 2019: 108).
Refleksi
Dalam konteks-konteks di atas, nampak jelas bahwa gairah yang tinggi melalui aktivisme keagamaan dari pendukung ‘Islam Perkotaan’ dengan mudah mampu memberikan kesan kepada banyak pihak bahwa Islam bergaya seperti itulah yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sementara rekan imbangan mereka di pedesaan sedang mengalami keruntuhan atau setidaknya penurunan.
Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah jika kita mencermatinya secara lebih dalam di mana kita akan dapat melihat bahwa upaya kelompok Muslim kelas menengah perkotaan di Indonesia untuk mempertahankan dan melestarikan identitas Islam mereka telah menghasilkan kondisi bahwa sekarang Islam benar-benar tertanam dalam aspek-aspek budaya, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia secara luas.
Segmen besar dari kelompok-kelompok tersebut telah mampu membentuk ikatan informal dan beroperasi di dalam hierarki otoritas mereka sendiri. Sebelumnya, perkembangan hubungan sehari-hari antara Islam dan politik dan antara negara dan masyarakat di Indonesia sebagian besar lebih bersifat kultural daripada politik.
Saat ini, politik identitas keagamaan kebanyakan Muslim kelas menengah perkotaan telah terakumulasi dalam kekuatan yang telah menghadirkan tantangan dalam kondisi sosial-politik nasional dan lokal, terutama dalam pemilihan umum, pembangunan ekonomi dan masyarakat, dan juga urusan keagamaan, kondisi yang pada masa Orde Lama dan Orde Baru justru terlihat lebih kuat pada masyarakat Muslim di pedesaan. Kini untuk pendukung ‘Islam Pedesaan’, meraihnya kembali tidaklah mudah. Pesantren dan kyai sebagai elemen utama ‘Islam Pedesaan’ harus bangkit dari tidurnya yang panjang. (AN)
Baca tulisan sebelumnya.