Mengapa Populisme Islam dan Politik Identitas Menjalar di Kelas Menengah Perkotaan?

Mengapa Populisme Islam dan Politik Identitas Menjalar di Kelas Menengah Perkotaan?

Populisme Islam yang terjadi di kelas menengah kita berdampak di masa depan Indonesia?

Mengapa Populisme Islam dan Politik Identitas Menjalar di Kelas Menengah Perkotaan?
Sebagian umat islam Indonesia merasa tertekan, entah karena politik atau karena rezim. Tapi, benarkah demikian? Source: Reuters/Beawiharta

Mengapa ada begitu banyak masyarakat Muslim yang cenderung delusional dalam menyikapi pemilihan umum, terutama sejak pemilihan presiden tahun 2014? (Atau jika ingin ditelusuri lebih jauh, sebenarnya ini sudah terjadi cukup lama, yaitu ketika masa-masa ICMI mulai terbentuk pada tahun 1990, yang seolah-olah menandakan bahwa ada hubungan yang mesra antara Suharto dan masyarakat Muslim)? Pertanyaan ini mungkin ada di sebagian orang yang merasa gelisah dengan dinamika keislaman masyarakat Indonesia saat ini.

Delusi di sini diartikan sebagai keyakinan yang teguh dan tetap berdasarkan pada alasan yang tidak memadai yang tidak dapat diterima dengan argumen rasional atau bukti yang bertentangan, tidak selaras dengan latar belakang budaya dan pendidikan. Salah satu alasannya mungkin adalah karena populisme Islam di Indonesia semakin menguat belakangan ini.

Apa itu populisme Islam? Populisme adalah konsep yang elusif, tidak mudah untuk dijelaskan, yang sering kali dimaknai berbeda oleh ilmuwan-ilmuwan sosial, terutama ketika membandingkan konsep populisme pada abad ke-19 dan abad ke-21 sekarang ini. Di sini, populisme diartikan sebagai serangkaian wacana politik dan strategi yang bertujuan untuk memecah sistem kelembagaan dengan mempolarisasi masyarakat menjadi dua kubu yang bermusuhan (De la Torre 2018: 11); dalam konteks Islam di Indonesia, kedua kubu tersebut dapat direpresentasikan sebagai kelompok tradisionalis-moderat dan modernis-konservatif.

Pembagian kedua kelompok ini tidak secara otomatis mengabaikan keberadaan beragam kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti kelompok tradisionalis-konservatif atau modernis-moderat dan lain-lain yang semakin lama semakin mempertegas polarisasi politik populer dalam konteks Islam di Indonesia.

Konsep klasik populisme di negara berkembang fokus pada pengucilan musuh-musuh yang sudah diidentifikasi, retorika anti-asing, dan menyerukan penggantian pemerintahan yang sedang berkuasa (Mietzner 2015: 3). Steven Levitsky dan James Loxton mengembangkan tiga karakteristik untuk populis: Pertama, populis memobilisasi dukungan massa melalui seruan anti-kemapanan, memposisikan diri mereka dalam oposisi terhadap seluruh elit. Kedua, populis adalah orang luar, atau individu yang naik ke posisi politik di luar sistem partai nasional. Ketiga, populis membangun hubungan personalistik dengan pemilih (Levitsky dan Loxton 2013: 110).

Seperti semua varian populisme, populisme Islam melibatkan mobilisasi dan homogenisasi sejumlah keluhan yang berbeda dari ‘massa’ terhadap ‘elit’ yang teridentifikasi. Konsepsi sentral dari populisme Islam adalah umat sebagai proksi untuk ‘rakyat’, yaitu ‘massa yang maha benar’, yang terdiri dari kepentingan sosial yang beragam secara internal, yang dihomogenisasi sebagai anggota masyarakat yang saleh yang memiliki kebajikan melalui pembandingan terhadap elit-elit yang tidak bermoral dan sekutu-sekutu asing mereka yang non-Muslim (Hadiz 2016: 3-4 & Hadiz 2018).

Di Indonesia, populisme Islam adalah fenomena perkotaan. Bangkitnya kelas menengah Muslim perkotaan yang vokal di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari posisi Muslim urban-modernis yang sebelumnya terpinggirkan di negara ini pada masa Orde Baru, yang mendorong kelompok-kelompok ini untuk membangun dan mempertahankan kemunculan populisme Islam baru (Pribadi, forthcoming).Secara umum, Muslim perkotaan kontemporer terus-menerus mencari dunia yang didefinisikan secara religius, dan menyediakan tatanan moral dan perlindungan spiritual bagi manusia. Menurut Peter Berger, dalam dunia yang bersifat materialistis ini, agama, atau pandangan dunia keagamaan, adalah ‘kanopi suci’ (Berger 1967).

Bagi Muslim perkotaan, Islam mewakili berbagai ‘kanopi suci’ yang menyuburkan ikatan dan kesalehan bersama serta memaksakan perintah suci secara moral pada kegiatan kosmologis dan sehari-hari. Kita menjadi terbiasa melihat bagaimana masyarakat Muslim berupaya mengatasi kondisi dunia yang semakin sekuler (Pribadi, forthcoming). Namun, religiusitas yang muncul di kalangan Muslim perkotaan sering dibangun di atas ketidakpuasan.

Transformasi sosial yang cepat ditandai oleh industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi dapat menghasilkan dislokasi dan kekecewaan di antara segmen masyarakat tertentu, seperti kaum muda, borjuis kecil, dan anggota kelas menengah yang frustrasi oleh kurangnya mobilitas sosial, dan mereka ini selalu siap untuk melakukan protes (Ismail 2006: 11-13).

Pendukung populisme Islam di Indonesia pada umumnya damai, dalam arti bahwa mereka tidak berusaha keras mengubah Indonesia menjadi medan perang terbuka antara Muslim dan non-Muslim, atau antara sesama Muslim tetapi yang berbeda dalam aliran dan ekspresi keagamaan. Namun demikian, mereka sering menunjukkan intoleransi dalam cara mereka berdebat, mempromosikan, dan menyebarkan perspektif mereka tentang Islam dan sangat kritis terhadap Muslim dan non-Muslim yang tidak memiliki pandangan yang sama. Tindakan intoleran ini seringkali pada akhirnya menyebabkan ketegangan sosial-keagamaan (Pribadi, forthcoming).

Oleh karena itu, selain menunjukkan bentuk-bentuk Islam yang damai dan moderat, Vedi Hadiz berpendapat bahwa Indonesia dapat juga digunakan untuk dengan mudah mencontohkan bahaya munculnya kekerasan agama dan intoleransi dalam demokrasi, terutama karena kegiatan kelompok main hakim sendiri yang menggunakan agama untuk membenarkan kehadiran mereka (Hadiz 2016: 14).

Sementara itu, Muslim kelas menengah perkotaan yang mapan secara ekonomi, sebenarnya menghadapi masalah dalam aspek sosial-budaya identitas mereka. Ada perasaan tidak aman karena hidup mereka menjadi lebih individualis.

Singkatnya, status sosial ekonomi mereka telah meningkat tetapi kesejahteraan mereka terancam. Khawatir akan hilangnya identitas mereka, umat Muslim yang baru dilahirkan kembali ini menjadikan agama sebagai dasar pengalaman komunal mereka. Bagi mereka, agama menawarkan rasa aman di dunia dan akhirat. Agama dapat menjadi tempat bagi orang untuk mengikat diri ke komunitas mereka dan karena itu menjadi bagian dari identitas mereka (Pribadi, forthcoming).

Muslim kelas menengah perkotaan terus berupaya mengejar, mengklaim, dan mempromosikan pemahaman agama dan identitas Islam mereka, yang cenderung eksklusif dan enggan menerima perbedaan. Saat ini, kelompok-kelompok yang didasarkan pada identitas keagamaan komunal ini telah mengumpulkan kekuatan dan menghadirkan tantangan sosial-politik dalam politik nasional dan lokal, terutama dalam pemilihan umum, pembangunan ekonomi dan masyarakat, urusan agama, dan pendidikan, baik melalui kekuatan mereka sendiri dan juga terutama ketika mereka dimobilisasi secara massal, seperti yang terlihat dari menguatnya populisme Islam.

Sebelum tahun 1998, pemerintah Orde Baru selalu berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatannya melalui gagasan bahwa komunitas yang berdaya membutuhkan penciptaan warga yang secara sosial-politik homogen. Tetapi, pada masa pasca Orde Baru, masyarakat bukanlah sekedar penerima pasif kebijakan negara. Upaya negara dalam homogenisasi komunitas telah membantu membangkitkan perjuangan rakyat dengan politik identitas, khususnya dalam hal politik identitas keislaman yang semakin menguat.

Artinya, kembali ke pertanyaan awal di atas, kondisi delusional ini justru banyak terjadi di kalangan Muslim perkotaan kelas menengah berpendidikan yang cenderung memiliki preferensi keislaman yang modernis-konservatif, bukan pada Muslim pedesaan, atau pinggiran, yang cenderung tradisionalis-moderat.Hal ini berbeda dengan populisme yang terjadi di Amerika Serikat, Thailand, dan Venezuela di mana populisme justru merebak di kalangan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani.

Kondisi ini menjadi PR yang berat bagi organisasi-organisasi massa Islam yang moderat, dan terutama bagi sistem pendidikan di Indonesia karena ada kecenderungan bahwa ia mengabaikan proses-proses humanisme dalam pendidikan dan justru malah menyuburkan aspek-aspek kompetisi, narasi-narasi kaitan antara iptek dan imtaq yang cenderung dipaksakan, dan juga pandangan sektarian yang sempit.

Jadi, ini adalah tugas yang berat bagi banyak pihak tentunya, termasuk bagi kalangan pendidikan Islam tradisional, seperti pesantren, untuk terus mengembangkan dirinya menjadi lembaga pendidikan pilihan utama masyarakat Muslim yang mengajarkan humanisme, tetapi adaptif terhadap modernitas, dan juga bagi orang tua yang memiliki anak yang sedang bersekolah yang perlu semakin selektif dalam memilih sekolah dan juga tidak melepaskan tanggung jawab kepada sekolah begitu saja.