Sudah lama NU dan orang-orangnya dituding sebagai kelompok yang “bersikap keras terhadap umat Islam dan berlaku lemah lembut terhadap orang-orang kafir.” Belakangan tudingannya lebih serem: Anshârut Thâgût, pembela Thagut. Kata mereka, “Banser lebih rajin jaga Gereja ketimbang pengajian.”
Orang-orang NU tidak perlu berkecil hati. Sebenarnya NU menjaga Islam dari orang-orang yang merusak, yaitu sekelompok orang yang menggunakan Islam untuk berbuat jahat. Ada yang menyangkal keberadaan mereka. Abu Bakar Baghdadi, konco-konconya, dan yang sealiran dengannya, kurang bukti apa! Mereka syahadat dan takbir, tetapi menggorok orang, bahkan sesama ahlul qiblat. Dan terhadap mereka yang menggunakan Islam untuk berbut jahat, sikap kita kadang harus lebih keras ketimbang terhadap non-Muslim.
Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fathul Bârî syarah Shahîh Bukhârî, Juz 12, h. 253 mengutip pendapat Ibn Hubairah terkait Khawarij yaitu pendahulu kelompok takfiri yang kerap menggunakan kekerasan dan menghalalkan darah sesama umat Islam:
أن قتال الخوارج أولى من قتال المشركين. والحكمة فيه أن قتالهم حفظ رأس مال الإسلام، وفي قتال أهل الشرك طلب الربح. وحفظ رأس المال أولى.
“Sungguh memerangi Khawarij lebih utama ketimbang memerangi orang-orang musyrik. Hikmahnya adalah bahwa dalam memerangi Khawarij terpelihara modal pokok Islam, sementara memerangi orang musyrik dapat laba. Menjaga modal pokok lebih utama ketimbang mencari laba.”
Modal pokok Islam, sesuai dengan namanya, adalah agama damai dan mengupayakan perdamaian. Sekarang ada sekelompok orang Islam, karena keyakinan tertentu, bekerja untuk mengubahnya menjadi agama teror dan kekerasan. Terorisme lahir dari cita-cita politik, bukan agama, yaitu menegakkan pemerintahan Islam yang tidak jelas bentuknya.
Orang-orang yang bercita-cita menegakkan pemerintahan Islam, dengan cara-cara tidak Islami, menganggap NKRI sebagai Thagut, bercita-cita memberontak terhadap kekuasaan yang sah yang dihasilkan dari proses syûrâ yang diakui dalam Islam, harus disikapi dengan tegas dan keras karena mereka justru menggerogoti Islam itu sendiri. Kemuliaan Islam dan ajarannya defisit justru di tangan mereka.
Islam bukan agama teror dan kekerasan! NKRI dan negara-negara lain di dunia adalah produk mu’âhadah wathaniyah, konsensus yang sah. Karena itu umat Islam di seluruh dunia harus taat dan patuh kepada pemimpinnya selagi tidak dihalangi untuk menjalankan salat berjamaah, menggemakan adzan, membangun masjid/tempat ibadah, penguasa menyuruh maksiat atau melakukan kezaliman yang nyata. Nation-state di seluruh dunia sah, karena itu umat Islam di manapun tidak perlu berpikir membangun imperium Islam dunia dengan cara-cara yang tidak Islami.
Orang-orang Islam harus berhenti bercita-cita bughat atau mengadakan konsensus di atas konsensus. NKRI yang pluralistik adalah konsensus yang dibentuk oleh para hakam (juru runding) yang bekerja dalam BPUPKI/PPKI. Al-Qur’an (QS. an-Nisâ’/4: 35) membolehkan dan mengakui keberadaan hakam untuk menghindari perpecahan. Jika hakam saja boleh dalam urusan domestik, apalagi dalam urusan publik yang menentukan nasib banyak orang.
Saya meyakini terorisme dalam Islam lahir dari cita-cita politik, bukan agama. Terorisme harus disikapi keras dan tegas. Tidak ada toleransi terhadap terorisme dan teroris. Adapun satu tingkat di bawahnya, yaitu orang Islam eksklusif, yang meyakini kebenaran mutlak Islam sembari menafikan hak orang lain meyakini kebenaran ajaran agamanya, harus diupayakan dialog tanpa letih dan pengajaran Islam yang benar, yaitu Islam yang mempromosikan keadilan, perdamaian, dan toleransi: Islam yang berwawasan kebangsaan.
Setelah insiden Mako Brimob dan teror di Gereja Surabaya hari, kita harus sehati dan sepikiran bahwa tidak ada tempat bagi terorisme di sini, di sana, dan di mana saja. Tidak perlu menutup-nutupi dan membela aksi terorisme dengan alasan apa pun. Kalau misalnya tidak puas dengan kinerja pemerintahan, jadilah oposisi loyal. Kritiklah, kalau perlu keras, tetapi jangan asbun. Himpun kekuatan dan rebutlah kekuasaan dengan cara konstitusional, dengan program-program alternatif, tanpa perlu berternak kebencian.
Setiap negara di dunia pasti punya masalah keadilan dan distribusi kesejahteraan, hanya negeri surga yang bebas dari kerakusan manusia. Tetapi, kalau pun sekarang kita menghadapi masalah ketimpangan, tidak berarti membenarkan terorisme, pun dengan cara tersamar. Apa maksud pembenaran tersamar? Menutup-nutupi aksi terorisme, mengembangkan teori konspirasi, menyebutnya rekayasa, menggunakan dalih reaksi atas ketidakadilan. Itu semua adalah bentuk pembenaran tersamar.
Selagi kita, umat Islam, tidak mau jujur kepada diri sendiri, kita tidak akan bisa melenyapkan terorisme!