Bagaimana Islam dan Al-Qur’an di Barat? Menurut Abdullah Saeed, studi orientalisme dalam dunia Islam merupakan suatu hal yang polemis. Di satu sisi, masyarakat menganggap studi tersebut mengandung bias dan tidak objektif. Namun di sisi lain, pemikiran Barat tentang Islam dan Al-Qur’an memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perkembangan studi Al-Qur’an itu sendiri.
Hal ini dapat diketahui dari penelusuran atas catatan karya sarjana Barat mengenai Al-Qur’an, yang secara historis diklasifikasikan berdasarkan tahun penulisannya. Mengacu pada periodisasi Saeed dalam karyanya, The Qur’an: An Introduction, dapat dikatakan bahwa secara garis besar motif di balik studi Al-Qur’an yang dilakukan Barat semakin lama semakin berkembang.
Pada mulanya, penerjemahan karya-karya awal tentang Islam dan Al-Qur’an dilakukan dalam lingkungan di mana Kristen dan Muslim saling bersaing untuk menunjukkan keunggulan agama masing-masing, seperti “Risalah al-Kindi” (abad ke-9) yang memuat pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak orisinal dan dipengaruhi oleh seorang pendeta yang ingin meniru Injil.
Kemudian, pasca perang Salib yang mengakibatkan munculnya stigma bahwa Islam adalah musuh kekristenan, tulisan-tulisan anti-Islam pun mulai bermunculan—meskipun ilmu pengetahuan tentang Islam di sisi lain turut berkembang—seperti terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert Ketton (1136–1157).
Ketika Ottoman berkuasa, kajian keislaman dipengaruhi tujuan politik, ekonomi, dan militer. Meskipun begitu, pada abad ke-16, timbul motivasi lebih jauh untuk mengkaji Al-Qur’an di Barat, ditandai dengan adanya pusat untuk studi Islam dan bahasa Arab di Venesia, Italia, yang mencetak teks bahasa Arab untuk kepentingan komersial, bukan misionaris.
Pada abad ini pula, program studi Islam dan bahasa Arab mulai dibuka di universitas Eropa. Universitas Leiden pada tahun 1575 mendirikan Studi Oriental sebagai suatu bidang tersendiri, dan pada tahun 1593 mengangkat Joseph Justus Scaliger sebagai guru besar bahasa Arab. Yang menarik, Scalinger tidak menghendaki pemahaman Al-Qur’an untuk tujuan-tujuan polemis.
Selanjutnya pada abad ke-17, muncul beberapa sarjana Al-Qur’an yang bisa dinilai tidak menaruh maksud polemis dalam studi mereka. Di Inggris, John Selden (w. 1654) mengutip langsung Al-Qur’an dalam bentuk bahasa Arab ketika mengkritisi karya Ketton. Begitu pula di Italia, Ludovico Maracci (w. 1700) pada akhirnya memublikasikan terjemahan Al-Qur’an ke bahasa Italia.
Upaya penerjemahan dan penerbitan Al-Qur’an dalam bahasa latin ini sempat dicegah oleh Paus Alexander VII (1655-1667). Meskipun begitu, pada abad ke-18 beberapa versi Al-Qur’an mulai berhasil dipublikasikan. Istilah ‘orientalisme’ pun mulai diciptakan dan dikenal di dunia Barat.
Usaha-usaha pemahaman Islam dan Al-Qur’an di Eropa kemudian mulai dilakukan, seperti lembaga pengajaran di Paris dan Wina yang mengajarkan bahasa (Arab) dan budaya Islam. Di Inggris, George Sale memublikasikan terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris pertama yang langsung diterjemahkan dari versi bahasa aslinya.
Perluasan studi bahasa Arab dan keislaman pun mulai dilakukan di universitas Eropa selama abad ke-19. Pada akhirnya studi Islam dijadikan satu bidang ilmu yang independen. Belakangan, term orientalis di Barat bahkan mulai jarang digunakan, mengingat terdapat stigma peyoratif yang mengiringi penggunaannya.
Berbagai perkembangan yang terjadi sepanjang sejarah perkenalan Barat dengan Islam menunjukkan bahwa kajian keislaman dan Al-Qur’an di Barat dapat diterima dengan cukup positif. Penerimaan yang baik dari studi Barat terhadap Islam tersebut menurut hemat penulis dapat dijadikan sebagai suatu hal yang potensial, khususnya dalam wawasan khazanah Al-Qur’an.