Persoalan nikah mut’ah selalu menjadi perbincangan yang tak ada habisnya. Dalam hal ini, kita mengenal adanya dua perspektif yang bertolak belakang. Penganut Syi’ah meyakini bahwa hal tersebut diperbolehkan. Sementara, menurut Sunni, praktek tersebut diharamkan.
Sebagian besar masyarakat memandang bahwa nikah mut’ah tak ada bedanya dengan praktek perzinaan yang hanya dibungkus oleh topeng agama. Praktek semacam itu dipandang hanya sebagai bentuk penyaluran nafsu yang mendapatkan legalitas hukum. Selain itu, praktek ini juga dianggap menyalahi maksud pernikahan itu sendiri yang bertujuan untuk beribadah dan meraih ketentraman jiwa. Pernikahan adalah sakral dan tidak main-main.
Di sini, saya tidak dalam rangka ikut dalam perdebatan tersebut. Namun, saya hanya ingin menyampaikan informasi terkait praktek nikah mut’ah di Iran. Sebagaimana diketahui, mayoritas masyarakat Iran adalah penganut Syi’ah yang memandang hal tersebut diperkenankan.
Faktanya, seringkali, media-media tertentu memberitakan nikah mut’ah di Iran dengan sangat negatif dan berbau propoganda untuk anti terhadap golongan tertentu. Oleh mereka, nikah mut’ah digambarkan sebagai suatu hal yang lumrah dan dilakukan oleh semua kalangan baik itu orang biasa sampai tokoh ulama. Menurutnya, mereka bebas memilih wanita layaknya prostitusi dengan tenggat waktu semaunya. Lantas, benarkah nikah mut’ah di Iran sesuai dengan yang dinarasikan?
Setelah ditelusuri, nikah mut’ah memang ada dan terjadi di Iran. Akan tetapi, satu hal yang perlu diketahui bahwa nikah mut’ah di Iran dipandang sebagai sebuah aib. Tidak semua wanita mau dimut’ah. Bahkan, hampir mustahil ada seorang perawan yang bersedia dinikah secara mut’ah. Jika ada seorang pria yang mengajak nikah mut’ah kepada seorang gadis, pasti dia akan dimarahi karena hal itu dipandang sebagai sebuah penghinaan. Wanita tersebut akan merasa tersinggung oleh ajakannya.
Perempuan yang bersedia dimut’ah umumnya adalah para janda yang tidak memiliki pekerjaan, tetapi mereka mempunyai anak yang masih membutuhkan biaya banyak. Di sini jelas faktor ekonomi lah yang melatar belakangi hal itu terjadi. Itu pun bukan gadis-gadis cantik, tetapi janda yang sudah agak berumur dan mempunyai anak sebagai tanggungan.
Tata cara akadnya pun sama seperti nikah pada umumnya yaitu ada penghulu, kedua mempelai, dan saksi. Perbedaannya adalah adanya batas waktu pernikahan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Seperti contoh seorang pria menikahi wanita hanya selama tiga bulan dalam perjanjian ketika ijab qabul, maka setelah waktu yang ditentukan habis, dengan sendirinya mereka telah sah berpisah.
Praktek nikah mut’ah juga biasanya dipraktekkan di kota-kota yang nuansa keagamaannya kental seperti Qom dan Mashad. Di Tehran, apalagi jika manusianya sudah berpikiran terbuka dan modern, praktek seperti ini sulit ditemukan. Mereka juga menganggap hal ini sebagai sesuatu yang memalukan jika dilakukan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemberitaan-pemberitaan yang beredar di Indonesia mengenai nikah mut’ah sangatlah berlebih-lebihan. Banyak di antaranya yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Jangan sampai kebencian terhadap suatu kelompok mendorong kita untuk menyebarkan hoaks yang berujung perpecahan. Ada baiknya segala sesuatu disaring dan didiskusikan terlebih dahulu sebelum menebarkan berita-berita tidak akurat dengan tujuan menimbulkan kebencian.
Sejarah sudah memberikan banyak pelajaran kepada kita bahwa perselisihan hanya akan membawa kehancuran. Sekarang, saatnya kita membangun masyarakat dengan asas saling menghargai satu sama lain. Perbedaan akan menjadi indah jika disikapi dengan bijaksana. Bukankah agama memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berkompetesi dalam menyebarkan kebencian.
Wallahu a’lam.