Fakhruddin Faiz, filsuf asal Yogyakarta, pernah mengungkapkan bahwa fakta tentang keberagaman itu mungkin sekali tidak ada yang akan membantah, namun penerapannya di dalam kehidupan kita sehari-hari tentu menjadi tantangan tersendiri, terlebih hari ini. Mengapa?
Fakta pak Faiz tersebut mungkin kita bisa lihat dari hasil survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD UI) di tahun 2021, terkait sikap warga tentang toleransi, kebhinekaan dan kebebasan beragama, pada Generasi Z dan Generasi Milenial. Sebab, laporan INFID dan LD UI ini menegaskan apa yang disampaikan oleh pak Faiz.
Di mana, secara umum, survei mereka menemukan bahwa sebagian besar dari Generasi Z dan Milenial memiliki sikap positif atau mendukung inklusivitas. Akan tetapi, ketika dibatasi dalam ranah beragama yang lebih khusus, ditemukan masih banyak responden yang bersifat eksklusif dalam beragama dan berinteraksi dengan orang- orang yang berpaham keagamaan yang lain.
Dengan kata lain, pemahaman toleransi di kalangan Gen Z dan Milenial masih terbilang belum tuntas. Keberagaman dalam pandangan mereka masih dipengaruhi kasus-kasus yang terbilang khusus, bahkan kadang domestik atau terjadi di daerah yang nan jauh di sana, seperti perdebatan soal Bakmi Babi atau Babi Panggang (Bipang). Walaupun, ada juga kasus-kasus musiman, seperti topi santa atau ucapan selamat Natal.
Gen Z dan Milenial juga mendapatkan sorotan serupa dalam dinamika terminologi agama yang dihadirkan di ruang publik, di mana kebanyakan serampangan dan dijadikan senjata menumbuhkan kebencian. Kita tentu masih ingat bagaimana istilah “Kafir” atau “Sesat” digunakan untuk menyerang orang lain atau menihilkan hak-hak warga negara seseorang, yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sebagian besar anak muda setuju dengan pernyataan “selain Islam, pemeluk agama lain termasuk golongan orang-orang kafir” (Generasi Milenial sebanyak 67%, Generasi Z sebanyak 59%). Kepercayaan atau keyakinan akan pernyataan ini jelas tidak masalah, karena sudah menjadi keyakinan bagi masyarakat Muslim, termasuk anak-anak muda tersebut.
Akan tetapi, pandangan ini tidak hanya dapat mengarah pada sikap intoleran ketika diberikan muatan emosi negatif dan dikaitkan dengan tindakan tertentu terhadap golongan tersebut. Di saat bersamaan, ajaran ini juga rentan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dan yang ingin mengambil kerentanan diksi-diksi tersebut untuk keuntungan sepihak dan sementara.
Kelompok-kelompok minoritas menjadi pihak paling dirugikan, tidak secara teologis. Namun, agenda kebangsaan sering terhalang atau malah dibatalkan dengan dalih-dalih seperti kelompok sesat atau sempalan.
Paling sering, pandangan tersebut juga berpotensi menjadi penyulut tindakan intoleran, sebagaimana yang dialami pemeluk agama Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Mayoritas anak muda masih memandang Ahmadiyah dan Syiah sebaiknya tidak berkembang di Indonesia, karena mereka mengajarkan agama Islam secara sesat” (Generasi Milenial sebanyak 79%, Generasi Z sebanyak 70%).
Namun, pergeseran atau penyalahgunaan ajaran agama tersebut, sebagaimana disebutkan di atas, disebutkan sangat dipengaruhi oleh media. Asumsi ini memang tidak dapat disangkal dengan mudah. Sebab, para pengkaji media di lingkungan akademis menyebutkan bahwa generasi anak muda kita, termasuk mereka yang masih anak-anak, adalah “Generasi M.”
Diksi tersebut merujuk pada generasi yang yang disebut cukup banyak menghabiskan waktu di dunia media, sehingga kondisi ini sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, anak-anak muda hari ini telah bersentuhan dengan media sejak kecil, mereka juga terus-menerus dibuat terpesona dengan bunyi dan gambar yang bergerak yang direkayasa dan dikemas oleh produser-produser budaya dan media, yang letaknya jauh dari lokasi tempat tinggal dan lingkungan yang berbeda.
Kondisi di atas jelas mulai mempengaruhi bagaimana anak-anak muda, dalam hal ini Gen Z dan Milenial, meresepsi dan menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Sebab, mereka ini masuk generasi M yang disebut juga sebagai generasi sesak media. Keadaan ini memang tidak selalu bermakna negatif, sebab ia bisa memperkaya pengetahuan dan cakrawala berfikir.
Namun, di saat bersamaan, sesak atau banjir informasi juga dapat memabukkan atau malah menyesatkan. Kesempatan kita dalam memproses informasi jelas sangat terbatas sekaligus cepat. Di titik inilah, kita akhirnya menjadi terjebak kebiasaan responsif dalam isu-isu yang berkembang di media, ketimbang memproses dan menganalisa lebih dalam. “Tabayyun” menjadi sering ditinggalkan atau dilangkahi dalam merespon informasi dari media yang semakin demokratis atau bebas.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak hanya sering gagal meresepsi informasi dengan baik, bahkan di saat bersamaan kita juga mengalami kegagalan memahami batas-batas kewilayahan, narasi yang berkembang, pengalaman yang terbentuk, hingga dinamika lokalitas di setiap isu yang kita konsumsi.
Walhasil, kondisi inilah dianggap paling mempengaruhi anak-anak muda menjadi ambiguitas dalam sikap toleransi mereka. Anak-anak muda yang di satu sisi memiliki pandangan nasionalisme dan toleransi yang terbilang tinggi, akan tetapi di sisi lain mereka malahmenjadi sangat mudah terbius dengan isu-isu yang membakar dan menguras emosi.
Ajaran dan narasi agama tidak selalu menjadi dalih utama dalam kompleksitas toleransi, apalagi kita sendiri memahami bahwa fakta keberagaman telah dimaklumi dan dipahami bersama. Kegagalan kita dalam merespon dengan bijak, karena respon kita yang terburu hingga gagal memahami persoalan lebih dalam.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin