Belakangan, terutama bersamaan dengan menguatnya isu sentimen agama dalam dunia politik kita, seolah kita diajak selalu curiga terhadap kosakata “Tionghoa” dan “Tiongkok”. Bahkan, banyak suara-suara sumbang yang sembarangan mempertautkan apa yang dinamakan Tiongkok dengan komunisme atau bahkan yang paling sembrono disejajarkan dengan kosa kata “Anti-Islam”. Padahal, klaim-klaim mereka tanpa ada pendasaran yang dapat dipertanggung jawabkan.
Perlu diketahui, Tiongkok pasca Mao Tse Tung, tepatnya pada masa Deng Xiao Ping, Tiongkok secara garis ekonomi sudah berubah dari komunisme menjadi kapitalisme. Tiongkok yang sekarang tak ada bedanya dengan banyak negara kapitalis lainnya.
Hubungan antara Islam dengan negeri Tiongkok sebenarnya tak sehitam putih seperti dalam pandangan kelompok konservatisme Islam yang selalu mencurigai hubungan keduanya secara negatif. Justru sebaliknya, dalam sejarah masuknya Islam di bumi Nusantara, ada kisah ekspedisi pelayaran besar dari negeri Tiongkok ke wilayah bumi Nusantara yang sedikit banyak berkaitan dengan Islam.
Dalam ekspedisi tersebut, yang mengherankan adalah panglima yang memimpin pelayaran besar tersebut adalah seorang muslim dan sekaligus bermata sipit, yang berarti seorang Tionghoa. Ekspedisi tersebut terjadi pada kisaran abad ke 15 masehi. Panglima muslim dari negeri Tiongkok tersebut bernama Laksamana Zheng He, atau yang lebih populer dengan nama Laksamana Cheng Ho.
Kita sebenarnya tak perlu heran dengan adanya sosok muslim Tionghoa yang bernama Laksamana Cheng Ho tersebut. Menurut Graham E. Fuller, seorang Guru Besar Sejarah di Simon Fraser University Kanada dalam bukunya yang berjudul A World Without Islam (2014) menjelaskan bahwa pada perkembangannya, tepatnya pada mulai kisaran abad ke 12/13 masehi banyak orang-orang muslim yang bersuku Han dipercaya oleh kaisar-kaisar dinasti di negeri Tiongkok sebagai juru administrasi, pajak dan bahkan panglima pelayaran. Karena pada masa itu ada pertautan antara Islam yang sedang berkembang di Timur Tengah dengan negeri Tiongkok. Orang-orang muslim Tionghoa pada saat itu terkenal sebagai orang yang lihai dalam dunia pelayaran.
Sebenarnya, Islam mulai berinteraksi dengan negeri Tiongkok pada tahun 651 masehi, 16 tahun setelah wafatnya nabi Muhammad Saw. Pada saat itu Islam datang melalui utusan dari khalifah Umar bin Khattab. Menurut Graham E. Fuller (2014) dalam perkembangannya, Islam mendapat kepercayaan dari dinasti Tang. Menurutnya, Islam mempunyai kesesuaian dengan ajaran-ajaran Konfusianisme yang mengajarkan nilai-nilai etik. Bahkan, Islam mulai dipercaya untuk memulai membangun masjid-masjid di negeri Tiongkok.
Lebih dahsyatnya, menurut Graham E. Fuller (2014) arsitektur masjid-masjid yang dibangun di sana tidak bergaya arsitektur Arab. Akan tetapi, gaya arsitektur masjid yang dibangun di sana bergaya kuil dan pagoda tradisional yang khas dari kebudayaan negeri Tiongkok. Masjid-masjid yang berarsitektur kuil dan pagoda tersebut oleh orang-orang muslim di sana ditambahkan hiasan-hiasan yang berupa kaligrafi yang berbahasa Arab.
Menurut sejarawan Jonathan Lipman (dalam Fuller, 2014), perkembangan Islam di negeri Tiongkok mendapat pengaruh dan menyerap dari ajaran-ajaran Konfusianisme. Pengaruh-pengaruh itu kemudian yang membuat nuansa Islam di sana menjadi lebih segar dan baru. Yang kemudian juga memunculkan kelompok cendikia muslim yang bernama Sino-Islamis. Mereka inilah yang menggunakan ajaran dan gagasan Konfusianisme untuk mempelajari dan meringkaskan isi dari ajaran Islam. Mereka ini menuliskan karya-karyanya kedalam bahasa Cina. Karya-karya mereka ini disebut sebagai Kitab Han, artinya kanon Cina. Kitab-kitab ini dalam masyarakat muslim di negeri Tiongkok mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Perlu diketahui, menurut sejarawan Graham E. Fuller (2014) ternyata jumlah muslim di negeri Tiongkok berjumlah kisaran 20 juta muslim. Jumlah ini sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah muslim di negara-negara Arab di Timur Tengah. Jumlah ini cukuplah fantastis, sebuah populasi muslim yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Dari sejumlah 20 juta muslim di negeri Tiongkok tersebut komposisinya yang 50 % berasal dari suku Han. Mereka ini termasuk kelompok muslim yang berkembang pertama di sana. Kelompok muslim Han ini merupakan percampuran antara orang-orang Islam yang berasal dari Arab dan Persia. Kemudian mereka menikah dengan orang-orang Tionghoa dari suku Han. Sedangkan, yang 50% selanjutnya bernama muslim Ughyur. Mereka ini berkembang di Tiongkok relatif lebih belakangan jika dibandingkan dengan muslim Han. Muslim Ughyur ini secara etnisitas adalah rumpun bangsa Turki. Dulu sejarahnya, wilayah mereka ini ditaklukkan oleh perluasan dari kekuasaan kerajaan negeri Tiongkok ke wilayah Asia Tengah.
Yang menarik, dari perkembangan Islam di negeri Tiongkok terjadi pertemuan kebudayaan yang tidak saling manafikan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasanya Islam di sana juga menyerap ajaran-ajaran Konfusianisme untuk lebih memudahkan dalam mendakwahkan Islam. Juga dalam arsitektur masjidnya, menyerap gaya arsitektur khas Tiongkok. Nuansa kebudayaannya begitu kental. Bahkan, kelompok muslim Han yang awalnya merupakan campuran Arab/Persia dengan suku Han akhirnya melebur kedalam kebudayaan Tionghoa di sana. Bahkan dalam kesehariannya, kelompok muslim Han ini persis sama dengan masyarakat suku Han yang lainnya.
Dari sekelumit cerita Islam di negeri Tiongkok tersebut kita sungguh miris ketika melihat perkembangan kebudayaan Islam kita di tanah air. Jika dalam kesjarahan Islam di Tiongkok mampu untuk beradaptasi dengan kebudayaan, justru di sini malah masih ada ambisi dari beberapa kelompok Islam yang berupaya melakukan Arabisasi terhadap Islam yang berbudaya yang selama ini sudah cukup berkembang dengan harmonis.
Seharusnya Islam mampu mengakomodasi nilai-nilai positif dari setiap kebudayaan yang ada. Justru dengan kebudayaan tersebut akan mampu menambah karakter humanis dari kehidupan keislaman kita. Dimana antara agama dan kebudayaan saling mengisi satu sama lainnya. Wallahua’lam.