Berdiri di Kota Mati: Jejak Arsitektur Islam Sebagai Teologi yang Sunyi

Berdiri di Kota Mati: Jejak Arsitektur Islam Sebagai Teologi yang Sunyi

Berdiri di Kota Mati: Jejak Arsitektur Islam Sebagai Teologi yang Sunyi
Buku Berdiri di Kota Mati (credit: Fb Maria Fauzi)

Buku Berdiri di Kota Mati membawa kita menelusuri peninggalan arsitektur Islam sebagai sebuah teologi yang sunyi. Kesenian Islam selayaknya diposisikan sejajar dengan fikih dan teologi.

“Kami tidak takut dengan mereka yang sudah meninggal. Justru kami takut dengan mereka yang masih hidup (hlm. 38)”

Buku catatan perjalanan Maria Fauzi yang berjudul Berdiri di Kota Mati mengajak kita untuk bertamasya mengunjungi sejumlah kota beserta mahakarya di dalamnya. Mulai dari Kairo, Berlin, Cordoba, Granada, Paris, Venesia, Vatikan, dan Istanbul.

Pada situs-situs bersejarah kota-kota itu, seperti Masjid Putih Granada, Gereja Mezquita (berasal dari kata Masjid), Hagia Sophia, lukisan ”The School of Athens” di Museum Vatikan, dan lainnya, Maria membawa kita untuk merenungi diri (sebagai seorang Muslim dan bangsa Indonesia) di balik keindahan seni arsitektur beserta peradaban yang pernah berdiri di atasnya.

Membaca bagian awal buku ini, mengisahkan perjalanan sang penulis menuju Mesir, ingatan saya tiba-tiba tertuju kepada trilogi karangan Zuhairi Misrawi tentang Mekkah (2009), Madinah (2009), dan Al-Azhar (2010). Sebelum melakukan ziarah ke Mekkah, misalnya, Misrawi terlebih dahulu berbagi cerita tentang Mesir: sebagai negeri para Nabi, penduduknya yang ramah, juga Al-Azhar sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam. Perjalanan ke Mesir ini, tepatnya Kairo, menjadi pembuka cerita karena di tempat inilah baik Maria maupun Misrawi menginvestasikan sebagian umur mereka untuk menimba ilmu.

Jika Misrawi memilih menarasikan hal-hal yang besar, seperti yang telah disebutkan, Maria menjatuhkan pilihannya pada detail-detailnya. Kesan tentang TKI yang berjubel dan kelihatan ndeso di Bandara modern Abu Dabhi, lalu lintas di Mesir yang kacau, orang buang air kencing sembarangan, kejahatan seksual di dalam angkot, dan tradisi caci maki penduduk Mesir yang di atas rata-rata.

Pada bagian judul “Beradu dengan Selawat,” misalnya, Maria mengisahkan betapapun marahnya penduduk Mesir mereka tetap bertekuk lutut ketika ada seruan berselawat. Hal senada juga dapat ditemui dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu, bukan?

Detail-detail peristiwa ini dan bagaimana sang penulis memaknainya menjadi salah satu keunggulan buku ini. Sebagai seorang mahasiswi di Al-Azhar, Maria disuguhi dengan keberagaman dalam ekspedisi keislaman lintas mazhab & kebangsaan. Dan lebih dari itu, dia juga lebih mengerti bagaimana negerinya di mata orang Asing. Keindonesiaan-nya yang sesekali terkoyak gara-gara dikenal dengan maharnya yang rendah oleh seorang pedagang di pasar & dipandang sebelah mata oleh pegawai imigrasi, dibanding para bule dari negara lain.

Menjadi Minoritas di Benua Biru

Perjalanan dari Mesir ke Jerman, lalu menatap tiga tahun di negeri Hitler ini, tidak hanya merupakan perpindahan fisik belaka. Di baliknya, Maria juga mengalami transformasi spiritualitasnya. Dia merasakan bagaimana menjadi kelompok minoritas. Juga belajar mengerti menjadi Minoritas yang tertindas sebagaimana dialami warga Yahudi semasa Nazi. Pengalaman ini berakhir dengan renungan-renungan mendalam bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan; bagaimana seharusnya kita bersikap kepada kelompok minoritas di negeri ini.

Ya, Jerman, ungkap Maria, merupakan negara yang gentleman! Negara yang berani mengakui dosa-dosa masa lalunya. Mengakui aib negaranya seraya menjadikannya sebagai pijakan menapaki masa kini & masa depan. Sebuah pengakuan dosa yang tidak mudah, rumit, berliku, tetapi terus diupayakan. Bukan ditakuti, apalagi dijadikan sebagai hantu masa kini sebagaimana memori kita tentang PKI & tragedi 1965 itu.

Beriringan dengan perkara masa lalu yang dijadikan sebagai batu pijakan itu, kita juga diseret untuk ikut merasakan menjadi Minoritas Muslim di Eropa. Sebagaimana dituturkan oleh intelektual lain yang menggeluti kehidupan Islam di Eropa semisal Tariq Ramadhan dan John L. Esposito bahwa problem utama kehidupan Muslim di Eropa terkait dengan masalah integrasi. Bagaimana menjadi warga Eropa Muslim. Menjadi Muslim yang tidak tercerabut dari nilai-nilai lokal Eropa, atau negara yang menjadi tempat bermukim.

Barat & Timur dalam Karya Arsitektur

Dalam buku setebal 223 halaman ini Maria menyuguhkan narasi & deskripsi tentang monumen, museum, masjid, dan situs lain yang dikunjunginya dengan apik. Hal ini, terutama bagi peminat sejarah Islam, akan mengingatkan pada karya-karya rujukan standar seperti Philip K. Hitti History of the Arab dan Ira M. Lapidus Sejarah Sosial Umat Islam.

Namun demikian, Maria nampaknya enggan untuk terlarut dalam nostalgia kejayaan Islam di masa lalu, melainkan mengambil ibrah untuk pijakan masa kini dan masa depan.

Di balik kemegahan beragam mahakarya itu, kita diajak untuk sejenak merenungkan bahwa karya-karya itu dihasilkan melalui dialog yang hangat lintas peradaban. Arsitektur Mudejar, misalnya, merupakan perpaduan dari tiga tradisi besar antar Islam, Kristen, dan Yahudi. Sayangnya, seni ini kemudian tidak dikembangkan lagi beriringan dengan proses tercerabutnya Islam di semenanjung Iberia yang dikenal dengan reconquesta.

Karya seni di masa lalu, ungkapnya, memiliki posisi yang setara dengan bidang lain seperti fikih dan teologi. Bahkan, melalui seni Islam tersampaikan dengan cara yang halus.

“Seni Islam dapat menjelaskan secara kebih dalam, bermakna, dan lebih berkesan tentang agama Muhammad tanpa kata-kata yang rumit mengenai Islam. karena itu, seni dan arsitektur Islam kerap dianggap sebagai the silent theology.” (hlm. 219)

Satu yang tidak kalah pentingnya dari buku ini adalah perspektif perempuan yang digunakan untuk memotret beragam peristiwa. Sebuah sudut pandang yang unik dan jarang digunakan oleh penulis catatan perjalanan lainnya. Hal ini bisa dilihat dengan hadirnya ketokohan perempuan dalam sejarah yang diulasnya mulai dari Sayidah Nafisah, Sulthanah Syajar al-Dur dari Mamluk, Fatima Al-Majriti, dan kisah cinta Wallada binti Mustakfi dengan Ibnu Zaidun.

Sebagai catatan akhir, buku ini akan menjadi semakin sempurna andai saja pada bagian akhirnya ditambahi dengan daftar bacaan rujukan. Hal ini sangat penting terutama bagi kalangan yang meminati studi sejarah, khususunya sejarah kesenian dan arsitektur Islam.

Selamat Membaca!