Sekitar satu atau dua minggu lalu, kita dihadapkan dengan perdebatan keras terkait Palestina. Siniar Deddy Corbuzier menjadi titik awal perbincangan para netizen. Buya Arrazy mendapatkan kritik, bahkan dihujat, oleh banyak tokoh termasuk para pendakwah populis, macam Felix Siauw hingga Kadam Sidik.
Dulu media massa menjadi wadah beradu argumen. Hari ini, siniar telah menggantikan peran media massa. Perbincangan di berbagai siniar terkait Palestina, terlebih sejak perdebatan pendapat Abuya Arrazy yang disampaikan di siniar Deddy Corbuzier, meledak. Bahkan, perdebatan tersebut juga merambah TikTok hingga berbagai kolom komentar di ragam linimasa.
Isu Palestina telah menjadi perbincangan di berbagai ruang publik, mulai warung kopi hingga ruang digital. Keributan terkait isu Palestina di beberapa siniar di atas membuktikan perbincangan di ruang publik, baik luring atau daring, sudah tidak lagi sekedar urusan solidaritas. Respon terkait isu Palestina mulai menjadi simbol kesalehan, khususnya di kalangan anak muda. Mengapa?
Subkultur Kesalehan Anak Muda Hijrah
Hijrah adalah salah satu perkembangan keberislaman paling populer hari ini. Dulu kita sering menggunakan kata taubat untuk menggambarkan kondisi seseorang ketika kembali dekat dengan agama. Sekarang, kata tersebut telah digantikan oleh “Hijrah.”
Eva F. Nisa pernah menuliskan bahwa salah satu perkembangan keberagamaan di kalangan anak muda, diantaranya ditandai dengan kemunculan gelombang hijrah. Dalam analisa Nisa, istilah “Hijrah” mulai populer sekitar tahun 2016. Istilah ini, menurut Nisa, ditandai dengan masuknya beberapa selebriti ke kelompok Islamis atau Islam Konservatif.
Istilah “Hijrah” kemudian digunakan secara intensif para artis tersebut untuk menandai perubahan yang mereka alami. Lebih jauh, perubahan atau hijrah yang mereka alami dalam cara mereka memahami dan mempraktikkan agama dengan mengadopsi apa yang mereka yakini sebagai pemahaman yang benar tentang Islam. Walaupun, istilah ini tidak monolitik.
Hari ini, anak-anak muda cukup akrab dengan istilah ini saling berbagi, meminjam, hingga menafsirkan ulang istilah Hijrah tersebut, dengan beragam kelompok atau para artis. Islam yang dipraktikkan dan dipahami, telah mengalami banyak percampuran dan negosiasi dengan apa yang selama ini dipraktikkan di masyarakat umum.
Jika dulu alm. KH. Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai subkultur. Maka saya mencoba melihat hijrah sebagai subkultur baru di masyarakat Muslim, khususnya perkotaan. Mengapa?
Sebelum ke sana, kita perlu mengulik dahulu apa itu Subkultur. Chris Barker dalam buku Cultural Studies menyebutkan subkultur merupakan istilah yang merujuk pada klasifikasi yang berusaha memetakan dunia sosial dalam representasi. Jadi, subkultur sangat tergantung dengan oposisi biner, yakni ide tentang kebudayaan dominan hasil produksi massal yang tak autentik.
Artinya, subkultur merujuk pada unsur-unsur kebudayaan di sebuah kelompok yang berbeda dengan kebudayaan dominan sebelumnya. “Pendefinisian atribut “subkultur” tergantung pada penekanan yang diberikan pada pembedaan antara suatu kelompok sosial atau budaya tertentu dengan kebudayaan/ masyarakat yang lebih luas” tulis Barker.
Titik berangkat subkultur adalah “Otherness/ Kelainan.” Hal ini sangatlah mudah bisa kita jumpai lewat beragam istilah yang beredar atau dipakai di kelompok hijrah. Selain kata hijrah, kita bisa menjumpai kata “Kajian” untuk menggantikan pengajian atau majelis taklim; atau kita juga mendapati bagaimana mereka merekonstruksi ulang peringatan “Maulid Nabi” menjadi lebih fun atau fancy.
Palestina Sebagai Bagian dari Simbolisasi Kesalehan hingga Postingan Media Sosial di kalangan Hijrah.
Kala simbol “Semangka” populer di media sosial, seorang influencer mengaku mendapat desakan netizen untuk mengganti foto profil mereka dengan simbol tersebut, jika benar-benar mendukung Palestina. Desakan ini, di satu sisi, adalah bukti Cancel Culture yang cukup dominan di netizen Indonesia.
Di sisi lain, postingan di media sosial tidak lagi sekedar ungkapan pribadi. Namun, di saat bersamaan, postingan media sosial menjadi bagian ekspresi kesalehan. Menariknya, kalangan anak hijrah yang sebagian besar berisi anak muda yang memiliki kemampuan penguasaan teknologi yang cukup, media sosial telah menjadi “ruang baru” untuk mengekspresikan kesalehan mereka.
Hal ini menambahkan tesis Saba Mahmood bahwa kesalehan tidak lagi sekedar urusan ibadah pribadi, namun juga menghadirkan “diri yang saleh” dengan beragam simbol-simbol. Walhasil, mereka yang hijrah perlu eksis di media sosial. Media sosial yang dijejali dengan beragam model postingan berkaitan dengan ekspresi kesalehan, dan isu Palestina cukup menggambarkannya.
Selain Cancel Culture terkait postingan “Semangka,” kita juga menjumpai pembelaan Palestina juga tidak jarang diekspresikan dengan mengunggah konten beririsan dengan kesalehan. Kalau postingan mengikuti demo atau doa bersama mungkin terlalu mainstream. Seorang influencer pernah mengunggah konten dia sedang berkuda sembari memakai kafiyeh (semacam syal bermotif kotak-kotak) yang menjadi simbol perlawanan Palestina.
Kesalehan di kalangan hijrah telah menjadi ekspresi-ekpresi lewat postingan media sosial, di saat bersamaan, juga menjadi subkultur mereka. Mereka memakai bahasa, ekspresi, hingga model ritual berbeda atas apa yang selama ini dominan di masyarakat Muslim.
Sayangnya, kesalehan di media sosial ini juga rentan menjebak mereka pada klaim-klaim kebenaran atas wajah Islam yang beragam. Tidak sekali atau dua kali terjadi para artis terlibat persoalan karena menganggap apa yang diamalkan atau diekspresikan mayoritas masyarakat adalah kesalahan.
Unsur “Merasa Benar” inilah yang semakin menegaskan hijrah sebagai subkultur di masyarakat Muslim. Kelompok hijrah tidak hanya menciptakan budaya baru atau mengkreasi ulang budaya keislaman, namun mereka juga merasa apa yang mereka alami dan pahami adalah satu-satunya kebenaran.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin