Mendebat Wujud Malaikat

Mendebat Wujud Malaikat

Mendebat Wujud Malaikat

Dengan keilmuan dan metode saintifik modern, manusia bisa berdalih untuk tidak percaya pada malaikat. Habis gimana lagi, malaikat memang entitas yang sama sekali tidak bisa dibuktikan secara empiris. Apa bukti malaikat itu ada? Jikapun ada, bagaiman bentuknya? Apa warnanya? Berapa jumlahnya? Mustahil sains membuktikan itu, sehingga secara saintifik amatlah janggal jika kita buru-buru melompat pada kesimpulan bahwa bahwa malaikat eksis atau mengada.

Maka demikian juga halnya dengan kitab-kitab Allah, hari akhir, risalah-risalahNya, hingga bahkan pada Allah sekalipun. Berbekal kecerdasan dan ketangkasan modernnya, manusia bisa memposisikan diri sebagai pihak yang tak mempercayai Allah. Dan, Allah tahu persis desiran hati mereka-mereka yang mengambil posisi munafiqun ini; yang serius menjalankan ritual dengan sempurna, berpenampilan taat agama, meski diam-diam tak pernah menganggapNya ada.

Tapi bahkan jikapun manusia mengambil koordinat posisi meniadakan Allah secara total, maka posisi kafirun itupun tidak menjadi persoalan bagiNya.

Hanya saja, perlu kita catat bersama, bahwa sekalipun manusia meniadakan Allah, tidak mempercayai kenabian dan risalah-risalah langit, menafikan malaikat dalam mekanisme kerja semesta, hingga menganggap hari akhir hanya dongeng belaka, manusia tetap tidak bisa menghindar dari ketetapan takdir. Manusia bisa ingkar kepada apa saja, tapi mustahil ia menolak qadha dan qadar.

Secerdas, sekuat, sekaya, sehebat apapun manusia yang merasa dirinya adalah pusat dari semesta sekalipun, tetap tak punya kuasa untuk menolak ketetapan-ketetapan garis kehidupan. Roda takdir berjalan, tanpa manusia bisa menyetir semau-maunya. Manusia berencana, tapi tak selamanya  menjadi nyata.

Diskursus mengenai takdir tak pernah menemui usai. Sebab bagaimanapun usaha manusia untuk membongkarnya, ia mutlak rahasia Sang Maha Kuasa yang terlalu jauh untuk diterka akal yang amat terbatas kemampuannya.

Benturan argumen jabariyah (fatalis) dan qadariyah (freewill) kita kemukakan untuk berbagai macam peristiwa. Kita berdebat serius mengenai siapakah yang paling berkontribusi menentukan akibat ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan. Kita sebagai pelakunya, ataukah Sang Maha Penentu segala yang jauh lebih berpengaruh pada kesudahan hasil?

Kalau Lombok atau cabai kita tanam secara tertib prosedur, kita rawat dengan kedisiplinan yang sangat detail, kita beri vitamin dan suplemen pupuk terbaik, apakah kemudian bisa kita katakan kitalah yang menentukan berbuahnya tanaman itu? Namun, jika bukan kita, lantas kenapa juga harus bekerja keras dan bersibuk-ria dengan dalih ‘menyempurnakan sebab’?

Seorang Lionel Messi yang sama-sama kita yakini sebagai ‘alien’ sepak bola karena bakatnya yang luar biasa itu, bagaimana bisa meleset tendangan penaltinya hingga hanya membentur mistar gawang Petr Cech? Mustahil jika ia sengaja menembak mistar ketika team-nya sedang ada dalam posisi akan dilindas Chelsea pada semifinal Liga Champions 2012. Lantas, Siapa yang menentukan arah bola itu?

Ilmu sebab-akibat adalah mozaik yang demikian luasnya hingga sedetail apapun kita memecah belahnya sampai yang paling elementer sekalipun, tak akan pernah terjangkau oleh daya jelajah nalar rasio manusia, meski ditolong oleh berbagai kecanggihan teknologi terkini sekalipun.

Ada ranah-ranah yang sudah pasti tidak bisa dijamah oleh manusia, se-expert apapun ia dalam bidangnya. Kalau manusia berencana bekerja dengan berbagai kemungkinan metode plus mencadangkan lapis-lapis perencanaan B-C-D-dst, saya kok ndak yakin mereka akan berpikir sampai bagaimana mencegah perut mules, atau tangan kesleo dan ribuan kemungkinan-kemungkinan tak terduga lainnya, hingga misalnya keberadaan virus corona yang memporak-porandakan rencana manusia seperti dewasa ini.

Maka itulah, manusia modern wajib memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa ada Kekuatan Besar yang menentukan semua soal; dari yang tampak besar dan bombastis oleh kita, hingga yang begitu molekuler dalam skala mikroskopis yang amat lembut. Ia-lah yang menentulan segala hal, meskipun bukan berarti kemudian kita dibenarkan untuk berlepas tangan dalam kehidupan kita sendiri.

Allah yang menumbuhkan cabai, tapi jangan suruh juga Dia untuk bikin sambel bawang-nya.Dengan demikian, ketidakmampuan kita menerka wujud malaikat, hari akhir, dan kebuntuan kita membuktikan eksistensi Tuhan, bukan kemudian berarti Ia tak ada. The absence of evidence is not the evidence of absence.