Perbedaan Kelompok Fatalisme dan ‘Free Will’ dalam Menyikapi Corona

Perbedaan Kelompok Fatalisme dan ‘Free Will’ dalam Menyikapi Corona

Kelompok Fatalisme dan Free Will memiliki perbedaan dalam menyikapi corona. Kamu termasuk golongan mana?

Perbedaan Kelompok Fatalisme dan ‘Free Will’ dalam Menyikapi Corona

Perbedaan cara penanggulangan terhadap COVID-19 di kalangan masyarakat telah menjadi perbincangan serius. Pasalnya, pada 15/03/2020, presiden Jokowi meminta masyarakat mulai belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah. “Dengan kondisi ini, saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah,” ujar Jokowi saat melakukan konferensi pers di istana Negara untuk menyikapi corona (dalam kompas.tv).

Kemungkinan perbedaan cara itu muncul akibat pemahaman atau penafsiran yang berbeda terhadap agama. Dalam analisa penulis, secara implisit ada beberapa golongan keagamaan yang turut andil dalam menyikapi masalah ini, pertama golongan fatalisme, dan kedua golongan free will. Keduanya percaya kepada Tuhan, namun berbeda dalam menyikapi persoalan hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fatalisme merupakan ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Walaupun definisi ini tidak cukup mengantarkan pemahaman yang kompleks tentang fatalisme, setidaknya secara praktis pengertian ini bermanfaat dalam tulisan sederhana ini.

Fatalisme berbeda pandangan dengan free will ketika menjawab dan menangani COVID-19 ini. Fatalisme lebih percaya pada nasib (takdir) yang telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga dengan pemahaman ini memunculkan reaksi-reaksi yang bersifat mistis pada realitas kehidupan.

Karena bagi fatalisme berserah diri pada Tuhan adalah tindakan paling tepat dan mulia dalam menghadapi setiap masalah manusia. Tuhan menjadi tempat sandaran dan pengaduan yang dibutuhkan ketika manusia memiliki sejumlah persoalan duniawi.

Dalam konteks menyikapi corona, hal ini terlihat jelas ketika orang-orang bertindak secara irrasional dalam menjawab tantangan ilmu pengetahuan. Bagaimana tidak, tindakan golongan ini telah merasa cukup hanya dengan “amal-amalan” (doa-doa) ketika menjawab COVID-19.

Lain halnya dengan golongan free will, mereka lebih percaya pada realitas dan alam nyata ketika menghadapi masalah-masalah fisika. Kemunculan virus corona harus disikapi dengan bijak dan professional melalui penggunaan akal dan penelitian.

Golongan ini menghendaki satu keadaan dengan mencari sebab, gejala, hingga dampak dan penanganan serta pengentasan masalah secara ilmiah tanpa sepenuhnya bergantung kepada Tuhan. Reaksi ini sebagai fungsi penyelesaian, pengurangan, hingga preventif pandemi virus corona.

Dua golongan ini telah mengeluarkan fatwanya masing-masing dalam mendiskusikan virus corona. Di media sosial misalnya, banyak ditemukan tulisan-tulisan yang bersifat metafisis dalam menjawab soal ini, semisal “wirid”, “doa”, “bacaan-bacaan agama” telah dibagikan (share) di beberapa media sosial seperti Facebook, Instagram hingga Watsapp. Tindakan ini menunjukkan sikap dan eksistensi dari golongan fatalisme.

Namun tak kalah pentingnya, golongan free will juga memperlihatkan kekuatan dan usaha dari manusia. Dengan menyusun langkah-langkah konkret secara maksimal untuk menghindari dan menanggulangi virus ini. Mulai dari penutupan bandara Internasional, pembagian masker, pola hidup yang baik dan bersih, menunda acara-acara kolektif hingga mengakhiri perkuliahan secara langsung di beberapa kampus.

Kedua paradigma ini sangat berbeda, golongan fatalisme lebih mengarah kepada teosentris (berpusat pada Tuhan), sementara golongan free will terlihat kekuatan pada manusia, atau sering disebut dengan antroposentris. Terlepas dari tindakan (usaha) yang paling efektif, kembali pada keyakinan individu masing-masing dalam menyikapi corona.

Sebelumnya diketahui virus ini berawal dari provinsi Wuhan, China. Namun telah mewabah hampir ke seluruh Negara di dunia, termasuk Indonesia. Setiap Negara, setiap kelompok berbeda dalam menyikapi masalah COVID-19 ini.

Asal Mula Fatalisme dan Free Will

Fatalisme atau juga disebut predistination adalah paham teologi Barat yang cenderung menafikan kekuatan manusia. Dalam pandangan ini nasib manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan semenjak azali (sebelum manusia lahir). Dalam teologi Islam disebut Jabariyah, persoalan rezeki, umur dan jodoh telah digariskan yang Maha Kuasa. Harun Nasution dalam teologi Islam menyebut Jabariyah adalah paham yang menyatakan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qodha dan Qodar Allah.

Sedangkan free will atau juga disebut free act, merupakan paham yang hampir berseberangan dengan fatalisme, manusia memiliki kemauan dan kehendak bebas dalam menentukan nasibnya. Dalam teologi Islam golongan ini disebut Qadariyah. Pandangan ini manusia memfungsikan akal untuk menyelesaikan urusan duniawi.

Secara historis, perbedaan pendapat di kalangan sahabat menimbulkan perpecahan umat Islam di masa lalu, khususnya setelah wafatnya Nabi SAW. Para sahabat Nabi menentukan sikap dan pendapatnya sendiri-sendiri. Dengan keadaan ini melahirkan beberapa aliran di dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syiah, Khawarij, Murjiah dan lainnya, termasuk Jabariyah dan Qadariyah (baca : Teologi Islam).

Antara Jabariyah dan Qadariyah keduanya memiliki dalil (referensi) dengan menggunakan ayat al Quran. Golongan Jabariyah misalnya, mengutip dari Q.S Ash-Shaffat ayat 96, yang artinya “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Dan juga pada Q.S Al-Hadid ayat 22, yang artinya “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul ahfuzh) sebelum kami menciptakannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

Sementara golongan Qadariyah mengutip dari Q.S Ar-Ra’du ayat 11, yang artinya “..Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..”. Namun, kedua golongan ini sebenarnya bukan hanya menggunakan dalil-dalil naqli dalam merumuskan fatwanya, tetapi juga dalil-dalil aqli sebagai landasan (dasar) aliran ini.

Dari Muhammad Abduh hingga Ahmad Dahlan

Ternyata pemikiran fatalisme dan free will tidak stagnan sampai disitu, tetapi paham ini “hidup” secara implisit walaupun tidak berbentuk golongan (organisasi). Khususnya konsep free will, ternyata diwarisi oleh pemikir besar Islam Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam modernis dan berpengaruh besar terhadap kemajuan Islam abad 20. Walaupun ia tidak secara gamblang menyatakan itu, namun terlihat dari corak pemikirannya.

Pemikiran Abduh yang cenderung rasional mengantarkan Islam pada arus modernisasi dan mengikuti perkembangan zaman. Menurutnya Islam akan maju jika umat Islam belajar bukan hanya ilmu agama, tetapi juga belajar sains dan ilmu pengetahuan. Pemikiran ini yang seterusnya diadopsi oleh Rasyid Ridha hingga gerakan-gerakan Islam Indonesia seperti Ahmad Surkati dan Ahmad Dahlan dalam megembangkan ajaran Islam meliputi aspek pendidikan, sosial masyarakat hingga politik.

Mendiskusikan dan menyikapi corona (COVID-19) tentunya memerlukan epistemologi yang mungkin bersifat rasionalistik-empiristik. Abduh sebagai salah seorang pembuka jalan dalam memecahkan “kebuntuan berpikir” umat Islam selama ini, tentunya menjadi motivasi dalam masalah ini. Kemunculan virus corona sudah seyogiyanya muslim secara global sadar akan pentingnya belajar sains dan tekhnologi, sehingga jawaban-jawaban yang muncul dari umat Islam lebih dapat diterima.

Namun, kita tetap bersyukur dengan kehadiran tokoh-tokoh Islam Indonesia semisal Ahmad Dahlan, telah membuka pola pikir Islam Indonesia melalui perannya dalam pengembangan nilai-nilai ajaran Islam, yang selanjutnya diwarisi oleh organisasi bernama Muhammadiyah. Kontribusi organisasi ini telah mewujudkan keadilan sosial melalui aktivisme filantropi, pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga belakangan ini kebencanaan (baca : Dua Menyemai Damai). (AN)

Wallahu A’lam.