Di suatu zaman, hiduplah seorang ahli ibadah. Namun tak seperti orang kebanyakan, ia termasuk ibadah yang melakukan ibadahnya di atas gunung (ia juga tinggal di sana, pen.). Ia memiliki keistimewaan atau karamah, yakni setiap hari ada burung putih yang mengantarkan makanan kepadanya. Setiap hari, si burung selalu membawakan dua potong/buah makanan.
Dalam suatu kesempatan, setelah burung itu melakukan tugasnya (mengantarkan makanan seperti biasanya), datanglah seorang pengemis kepada ahli ibadah itu. Ia memohon agar kiranya ahli ibadah itu memberikan (sebagian) makanan miliknya. Ahli ibadah ini pun memberikan satu dari dua makanan yang ia miliki.
Ternyata setelah itu, ada seorang pengemis yang datang lagi kepadanya, yang juga meminta sesuatu yang bisa digunakan untuk mengganjal perut. Sang ahli ibadah pun membagi makanan miliknya itu menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian itu kepada pengemis kedua. Kini, hanya setengah makanan yang ia miliki. Kemudian ia berkata, “Sungguh makanan setengah ini tidak akan cukup bagiku”
Ia menambahkan, “Satu orang kenyang lebih baik daripada dua orang yang lapar” (Seakan ia berkata, “Jika dua orang sama-sama makan setengah makanan, pasti itu tidak akan mengenyangkan. Maka lebih baik aku mengalah saja. Biarlah aku yang kelaparan dan dia yang kenyang”). Ia pun akhirnya juga memberikan bagiannya kepada pengemis. Berarti ia memberikan seluruh manakan yang ia miliki (satu potong/buah). Ia pun tak memiliki apa-apa lagi hari itu unutk dikonsumsi.
Malam itu ia tidur dalam menahan keadaan. Dalam tidurnya, ia bermimpi ada suara yang berkata kepadanya, “Engkau minta apa?”
“Aku minta maghfirah (ampunan),” jawab ahli ibadah.
“Selain itu. Kalau ampunan sudah barang tentu Aku berikan. Yang lain!” kata suara itu menjelaskan.
“Aku minta engkau tolong para manusia. Sekarang sedang musim paceklik (gersang). Aku mohon tolong mereka,” ujar ahli ibadah.
Kisah di atas bisa dibaca dalam kitab Shifat al-Shafwah karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini kita bisa belajar bagaimana hendaknya bersikap manakala menghadapi masa-masa sulit, yang dirasakan oleh kebanyakan manusia. Kisah di atas mengajarkan banyak hal, di antaranya:
Mengutamakan Orang Lain
Membantu orang lain adalah suatu perbuatan yang terpuji. Namun akan lebih dan sangat terpuji bilamana dalam kondisi yang sama-sama membutuhkan, baik yang biasa membantu atau yang dibantu. Kondisi demikian mengharuskan seseorang benar-benar memiliki kebesaran jiwa dan hati yang lapang. Tentu kita tidak dituntut untuk sama persis seperti kisah di atas, yang rela kelaparan demi orang lain (jikapun sama persisi itu lebih baik). Untuk ukuran saat ini, agaknya seseorang mau berbagi sebagain dari yang harta yang miliki saja sudah baik.
Membantu dengan Doa
Jika bantuan tidak bisa dengan harta. tenaga, atau ilmu, maka bantuan bisa kita berikan dengan bentuk doa. Dalam sebauh hadis riwayat Imam Muslim dijelaskan, doa yang dipanjatkan seorang muslim kepada orang lain tanpa sepengetahuannya (orang yang didoakan) akan diaminkan oleh malaikat. Juga, orang yang berdoa akan juga mendapatkan kebaikan sebagaimana doa yang ia panjatkan. Doa yang dipanjatkan seseorang juga menunjukkan ia memiliki belas kasih kepada orang.
Pahala bagi Para Dermawan
Tanpa meminta pun, orang yang memberikan bantuan kepada orang lain akan otomatis mendapatkan ampunan dari Allah. Kedermawanan dan ampunan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak hanya itu, Allah juga memberikan bonus dan kesempatan kepada para dermawan untuk meminta hal lain lagi (dalam kisah di atas, memohon agar Allah sudi kiranya menolong umat manusia, karena sedang masa paceklik).
Walhasil, berbagi di tengah musim paceklik adalah suatu kebaikan istimewa. Hal sekecil apapun yang kita berikan akan sangat berguna bagi sesama. Atau paling tidak, bila tidak bisa memberikan bantuan, setidaknya kita tidak membuat mereka bersedih. Jika tak bisa membuat mereka tertawa, jangan buat mereka menangis! Wallahu a’lam.