Suatu ketika, seorang ulama sufi kenamaan, Fudhail bin Iyadh, memiliki anak yang masih kecil, masih berusia empat tahun. Sebagaimana layaknya seorang ayah, karena begitu cintanya, suatu ketika, ia mencium anaknya. Tanpa ia duga, anaknya bertanya kepadanya dan terjadilah percakapan di bawah ini.
“Ayah, apakah engkau mencintaiku?” tanya si anak.
“Iya,” jawab Fudhail penuh keyakinan.
Anaknya kembali bertanya, “Apakah engkau juga mencintai Allah Swt?”
“Tentu,” jawab Fudhail.
“Berapa hati yang engkau punya wahai ayah?” tanya si anak lagi.
“Satu,” Fudhail menjawab.
Mendengar jawaban itu, anaknya bertanya lagi, “Ayah, bagaimana mungkin satu hati mencintai dua hal yang berbeda?”
Ia tersadar, ucapan itu berasal dari Allah Swt yang pengucapannya dilewatkan lisan anaknya. Juga, ia mengerti bahwa ucapan itu adalah bentuk kecemburuan dariNya karena cintaNya telah diduakan.
Karena merasa “tertangkap basah” telah menduakan cinta kepada Allah, ia lantas memukul kepalanya sendiri dan bertaubat atas apa yang telah ia lakukan itu. Ia menghapus rasa cintanya kepada selain Allah dan menfokuskan diri hanya mencintai Allah saja.
Kisah di atas penulis baca dalam kitab Tadzkiratul Awliya karya Fariduddin al-Attar. Lewat kisah di atas, selain bermakna cinta tak mungkin bisa dibagi, kita juga mengerti bahwa cinta juga memerlukan buti, yang dalam kisah di atas, buktinya adalah tidak terbaginya cinta itu sendiri.
Sebagian kita agaknya akan menganggap apa yang dilakukan Fudhail (mencintai dan mencium anaknya) adalah hal yang biasa. Namun, bagi Fudhail dan siapa saja yang selevel, hal demikian sudah terhitung sebagai suatu tindakan menduakan cinta Allah dan oleh karenanya harus segera bertaubat.
Suatu ungkapan mengatakan, “Hasanatul abrar sayyiatul muqarrabin”. (Kebaikan yang dilakukan orang-orang yang baik adalah keburukan bagi orang-orang yang sedang menndekatkan diri kepada Allah).
Dengan kata lain, semua memiliki tingkatan masing-masing. Bagi orang dewasa, mengangkat air satu ember itu ringan dan tentu tidak bagi anak kecil, bukan?
Adalah sulit dan berat meniru secara sempurna apa yang dilakukan Fudhail bin Iyadh sebagaimana terbaca dalam kisah di atas. Namun kita juga tidak semestinya meninggalkannya begitu saja. Meski hanya sedikit, kita harus bisa mencontohnya atau setidaknya mengambil pelajaran darinya.
Cinta kepada Allah Swt adalah satu hal yang wajib dimiliki setiap mukmin. Dia adalah segalanya. Dia adalah pemilik semua apa yang ada di seluruh jagad raya ini. Hidup dan mati serta setiap apa yang ada adalah di bawah kehendakNya.
Allah Swt berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]:31)
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, ayat ini menjelaskan bahwa jika manusia mencintai Allah, maka hendaknya mengikuti Nabi Muhammad. Dan jika manusia mengikuti Nabi Muhammad, maka ia akan taat kepada Allah. Dia akan mencintai siapa saja yang taat kepadaNya.
Al-Razi menambahkan, jika seseorang mengikuti Nabi, maka Nabi juga akan mengajaknya untuk selalu taat kepada Allah. Pasalnya, lanjut al-Razi, cinta akan membuat seseorang menerima apa saja yang datang dari yang dicintainya dan menolak apa saja yang datang dari tak dicintainya.
Dari tafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa cinta memiliki konsekuensi dan membutuhkan bukti. Bukti dari cinta kepada Allah adalah taat kepadaNya, yang dilakukan dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw. (Dalam contoh Fudhail bin Iyadh di atas, cinta kepada Allah dibuktikan dengan sama sekali “tidak mencintai” selainNya)
Bagaimana dengan mencintai anak, istri, keluarga, dan sesama manusia, apakah termasuk menduakan cinta kepada Allah dan oleh karenanya dilarang?
Pada dasarnya, mencintai selain Allah tidak dilarang dan justru diperintahkan sejauh dilakukan dalam naungan cinta kepada Allah atau dengan kata lain, “mencintai mereka karena Allah”. Bukankah kita juga diperintahkan untuk mencintai Nabi Muhammad Saw (yang juga selain Allah)?
Konsekuensi dari cinta kepada selainNya itu adalah kita senantiasa memperlakukannya sesuai ajaran Allah Swt: Nabi diikuti perintahnya, anak, istri, dan keluarga dibimbing untuk selalu taat kepadaNya, masyarakat dihormati karena sesama manusia. Wallahu a’lam.