Sila kedua Pancasila, termasuk poin ‘kemanusiaan’-nya, rupanya cukup sulit untuk direalisasi lantaran cakupan tafsirnya dapat menjangkau spektrum paling gelap sampai paling terang dari manusia. Poin adil dan beradab juga tidak kalah rumit karena isinya memikat aneka subjektivitas, yang pada derajat tertentu, rentan diarahkan untuk melayani kepentingan tertentu.
Akan tetapi, ketiganya tidak berarti menemui jalan buntu. Cara paling mudah untuk menyelami ketiganya adalah cukup dengan membaca realitas sejarah yang selama ini telah terjadi di Indonesia, dan melihat bagaimana aktor-aktor di dalamnya melisankan dan melakukan sila kedua ini, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Pemilu 2024 tinggal hitungan hari. Momen-momen saat ini kerap menjadi musim harapan dan janji soal hari esok yang lebih baik. Tapi sejauh apa harapan dan janji ini benar-benar memberi perubahan jika hampir setiap lima tahun sekali ada saja tingkah kandidat yang justru memunggungi prinsip yang menjadi prasyarat perubahan tersebut? Namun demikianlah politik, praktiknya mencakup hal kotor yang klandestin maupun hal mulia yang terang-terangan.
Dalam konteks Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara―tempat di mana politik dan kehidupan berbangsa diwarnai pasang surut rezim militer tangan besi, konsentrasi kekuasaan oleh segelintir kroni, kemarahan keluarga feodal lama, musim semi kapitalisme kawasan melalui investasi global, perlombaan mengejar peningkatan ekonomi tanpa akhir, tingginya praktik ideologisasi, gesekan berdarah antar sipil, dan sejumlah kecurangan halus maupun terang-terangan dalam pemilu―sulit kiranya untuk menetapkan bahwa kenyataan perubahan ke arah yang lebih baik itu mampu melampaui kata-kata.
Bekemanusiaan, adil, dan beradab selalu terhubung dengan struktur sosial-politik dan konstruk kejiwaan pemimpin. Orang Yunani kuno mungkin punya konsep Apollonian dan Dionysian untuk menggambarkan dua kutub ekstrim sifat kemanusiaan, meskipun di kemudian hari Apollonian lebih banyak diakui karena orang mulai mendamba yang indah-indah, sopan, dan teratur.
Sebagai inspirasi estetika berkesenian, Dionysian memang sah dan menawarkan sesuatu yang lain. Tetapi kalau untuk sosial-politik, tidak semua orang―baik itu pemimpin ataupun rakyat―siap menerima brutalisme, absurdisme, dan realisme telanjang yang menjadi unsur intrinsik Dionysian.
Akan tetapi, kalau memang realitas sejarah di Indonesia telah terhampar sebagaimana yang telah digambarkan di atas, maka justru yang indah-indah melahirkan yang absurd-absurd. Dengan kata lain, realitas sosial-politik di Indonesia membolak-balik dikotomi ala Yunani tersebut.
Singapura tahun 1980an pernah punya ambisi akselerasi ekonomi melalui urbanisasi dan industrialisasi. Karena ukuran pulaunya yang kecil, dan keragaman etnisnya bisa dihitung jari, maka tidak butuh waktu lama untuk menggapainya.
Tapi konsekuensinya, sumber daya manusia harus dimekanisasi melalui penciptaan iklim kewargaan, ketenagakerjaan, dan pendidikan yang super-kompetitif agar mencetak anak-anak muda yang ambisius, rajin belajar, profesional, bertalenta, namun tidak cukup sadar terhadap kondisi sosial politik bangsanya. Pada dekade 1980an juga Singapura mengeluhkan soal naiknya angka narkoba, depresi, dan kenakalan di kalangan anak muda.
40 tahun kemudian, Indonesia mendamba kemajuan dan akselerasi serupa lewat cara yang kurang lebih serupa. Apakah berhasil? Berhasil! Tetapi capaian ini perlu membayar dengan sejumlah kenaikan sakit mental, depresi, dan ketimpangan di kalangan anak muda, sementara segelintir anak muda lain, terutama mereka yang berasal dari kelompok non-prekariat, yang hidupnya baik-baik saja, meyakini bahwa perubahan hanya bisa digapai lewat tata kelola pemerintahan yang baik.
Mungkin ‘pemerintahan’ yang mereka maksud lebih tepat ‘pemerintahan’ dalam arti birokrasi yang efektif dan efisien, bukan dalam arti ‘pemerintahan’ sebagai gelanggang politik yang diperebutkan untuk melanggengkan kekuasaan tertentu.
Tetapi bagaimana jika yang pertama telah melayani yang kedua sejak lama? Inilah yang kemudian secara tidak langsung menantang pemimpin untuk memilih makna ‘kemanusiaan’ tertentu: apakah ia akan memilih kemanusiaan dalam arti kesejahteraan ekonomi yang mengenyangkan perut? Atau kemanusiaan yang memanusiakan manusia?
Setidaknya sejak 1970 sampai 2023, Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara lain telah berlari untuk perlombaan akselerasi ekonomi. Dan sebagian dari babak perlombaan itu, terutama di Indonesia, telah menghasilkan kepemimpinan bertangan besi.
Mereka meyakini bahwa kesejahteraan tidak bisa digapai tanpa stabilitas. Cita-cita indah itu memberi pembenaran untuk mengeliminasi oposisi, menciptakan bahasa kebohongan, menegakkan pendisiplinan dan ketertiban sipil.
Pada sebagian babak itu, statistik memang menunjukkan peningkatan angka pertumbuhan ekonomi signifikan. Tetapi sosiologi dan politik justru melihat ada konsentrasi kepemilikan harta oleh sebagian dari mereka yang terlibat praktik tangan besi. Hal ini menyiratkan, bahwa pilihan ‘kemanusiaan’ yang dipilih seorang pemimpin juga memengaruhi bentuk keadilan, dan pada giliarannya akan memengaruhi adab.
Kemanusiaan yang berorientasi kesejahteraan yang digapai lewat tangan besi justru menghasilkan ketidakadilan, baik dalam arti bagaimana rakyat diperlakukan maupun dalam arti bagaimana kepemilikan harta dibagikan.
Semakin tinggi ketidakadilan, semakin tinggi kebutuhan untuk berbohong dan bergelagat inkonsisten. Dan pada saat itu pula, adab tidak ada, karena politik kemudian menjadi pusaran melingkar gali aib tutup aib.
Jadi, meskipun indah untuk jadi bahan retorika, tapi ‘kemanusian yang adil dan beradab’ justru adalah persoalan struktural: siapa pernah terlibat apa. Dari premis inilah kebutuhan politiknya bisa terbaca. Sebab, sekali seorang pemimpin pernah terlibat kasus mendasar, saat itulah ia kejar-kejaran dengan rekayasa citra diri. Tapi, sekali lagi, citra juga bagian dari politik. Renovasi ini tidak bisa ajeg kalau ia tidak memiliki sumberdaya uang dan jaringan yang luar biasa besar.
Di masyarakat yang dimekanisasi menuju kesejahteraan, ‘mengingat’ bukanlah bagian dari kehidupan. Bagi apa yang kapitalis sebut sebagai ‘sumber daya manusia’, hidup adalah grafik yang terus menanjak.
Konstruk mengenai sumber daya manusia berasal dari imaji tentang kerumunan profesional yang berorientasi masa depan menurut bayangan spontan hari ini, bukan menurut refleksi berkelanjutan dalam rentang masa yang panjang dan secara kritis menggarisbawahi apa yang perlu dilanjutkan dan apa yang perlu secara tegas diputus. Ini tanah subur untuk politik citra.
Politisi bisa secara frontal mencipta kebenarannya sendiri dan menyangkal kebenaran ilmiah atas polling kemenangan di Pemilu periode kemarin, dan berbicara bangsa-negara di Pemilu hari ini. Di novel distopia manapun, mekanisasi masyarakat selalu berdampingan dengan pelupaan dan melupakan. Sebab yang tertepenting adalah kemajuan angka, bukan kemajuan kemanusiaan.
Mudah sebenarnya untuk mencari pemimpin yang berkemanusiaan, adil dan beradab. Cukup lihat dari dari iklim apa ia berasal, dari tradisi politik apa ia dibesarkan, dengan siapa ia berteman, berapa jumlah harta kekayaannya, bagaimana riwayat perilakunya, bagaimana cara berbicaranya, seperti apa riwayat sikapnya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, seberapa jauh imajinasi kebangsaannya, bagaimana caranya memperlakukan orang lain, bagaimana sikapnya terhadap konstitusi, dan konsistensi apa yang ia pegang.
Dengan menelisik pada latar itu, maka secara tidak langsung kita telah memilih bukan lagi berdasarkan tetangga kita milih siapa, pak kades menyarankan memilih siapa, atau ketua organisasi menginstruksikan mencoblos siapa, tetai milih berdasarkan pilihan paling jernih untuk figure paling dekat dengan kemanusiaan, adil dan beradab.