Mencari Hari Baik untuk Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

Mencari Hari Baik untuk Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

Menunggu hari baik untuk melaksanakan pernikahan sering terjadi di lingkungan kita, lalu bagaimana hukumnya?

Mencari Hari Baik untuk Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

Menikah merupakan salah satu amalan sunnah, setiap yang melakukannya akan mendapatkan pahala dari allah dan yang tidak mengerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena satu faktor inilah kemudian pernikahan menjadi ibadah, dan dengan demikian setiap pelakunya akan sangat berhati-hati dalam menjalankannya.

Tidak hanya itu, bentuk kehati-hatian dalam melangsungkan pernikahan, bukan hanya karena menikah adalah ibadah, tapi juga termasuk dalam bidang tradisi dan keyakinan masyarakat sekitar.

Banyak elemen masyarakat yang harus melakukan perhitungan dan ritual yang bermacam-macam demi untuk meyakinkan mereka bahwa yang dilakukan terlepas dari bencana dan sesuatu yang nahas.

Satu hal yang paling banyak terjadi adalah mencari hari baik ketika hendak melangsungkan akad nikah. Tradisi mencari hari baik ini tidak hanya dilakukan semata-mata karena ingin mendapatkan tanggal yang indah, yang unik atau yang mudah diingat. Tapi juga dengan keyakinan bahwa di antara hari-hari itu ada hari nahas bagi mereka.

Bahkan tidak jarang dua orang kekasih harus rela membatalkan pernikahan karena perhitungan yang tidak cocok antara satu keluarga dengan yang lain.

Tentu hal ini menjadi polemik. Karena tidak sedikit cendekiawan muslim yang memiliki pendapat fundamentalis. Sehingga berakibat pada tuduhan khurafat, bid’ah  atau bahkan syirik. Tidak hanya itu tapi perbedaan pendapat yang langsung berhubungan dengan masyarakat umum seperti itu akan cenderung membuat kebingungan dikalangan masyarakat dan bahkan perpecahan dan perselisihan.

Lantas bagaimana kasus ini dalam khazanah keilmuan Islam?

Memang benar bahwa ada perbedaan ulama tentang hal ini. Pertama, golongan ulama yang melarang kita percaya pada perhitungan seperti itu. Seperti Ibnu Yunus yang menjelaskan dalam kitab Qurrotu ‘Uyun hal 64-65 :

والايام كلهالله…الى ان قال… لاتعادالايام فتعاديك اى لاتقتعدان لهاتاءثيرافي اظرارك فربماتواقف ارادةالله بك ذلك  “

“Semua hari adalah milik Allah… sampai perkataan beliau… janganlah kalian memusuhi hari-hari , maka hari-hari itu akan memusuhimu. Maksudnya, jangan meyakini bahwa hari-hari itu berpengaruh pada sialmu, karena mungkin bertepatan dengan kehendak Allah atasmu”.

Maka menurut pendapat ini, mencari hari yang baik dengan keyakinan bahwa ada hari yang buruk dan nahas adalah tidak boleh. Karena semua hari adalah milik Allah, begitu juga amalan-amalan yang akan kita lakukan juga milik Allah.

Maka, jika memang kebetulan kita mengalami kesialan pada hari itu, bukan berarti karena harinya, akan tetapi semata-mata karena bertepatan dengan kehendak dan takdir Allah.

Kedua, golongan ulama yang memperbolehkan, bahkan menganjurkan untuk memilih hari yang baik ketika akan melakukan sesuatu. Imam Ja’far al-Shadiq dalam kitab Makarim al-Ahlaq karya al-Syeih al-Jalil Rodliyuddin abu Nasr al-Hasan ibn Fadzl al-Tabrasi hal 600-601 menjelaskan dengan sangat rinci terkait pilihan hari baik tersebut.

Dalam kitab tersebut, terdapat satu bab yang dikhususkan untuk menjelaskan secara rinci perihal hari dan sifat-sifatnya apakah baik ataukah nahas.

Kesimpulan dari pendapat Imam Ja’far al-Shadiq adalah bahwa hari-hari itu mempunyai sifat masing-masing. Terkadang sesuai untuk satu hal tapi tidak untuk yang lain. Hal inilah yang menyebabkan seseorang harus memilih waktu yang tepat untuk melakukan hal yang tepat pula.

Di antara rentang tanggal 1-30 setiap bulan hijriyah akan ada beberapa hari yang terpilih dan terlepas dari nahas sama sekali. Tetapi ada juga beberapa hari yang punya sifat nahas berkelanjutan. Dalam konteks inilah kita dianjurkan untuk memilih.

Imam Ja’far al-Shadiq adalah keturunan Rasulullah generasi kelima. Beliau adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin al Husein bin Ali dan Fatimah al-Zahra putri Rasulullah SAW.

Beliau juga merupakan guru dari Imam Abu Hanifah, yang kemudian memiliki murid bernama Imam Malik, guru dari Imam as-Syafi’i, yang sekaligus menjadi guru dari Imam Ahmad. Maka pasti pendapat beliau sangat diperhitungkan.

Lebih jauh lagi, Syeih Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in hal 99 menjelaskan bahwa pernikahan seyogyanya dilakukan tidak hanya dalam perhitungan hari yang tepat, tapi juga waktu, bulan dan tempat yang tepat pula. Beliau berkata:

وان يكون العقد في المسجد ويوم الجمعة واول النهار وفي شوال وان يدخل فيه ايضا

“dan sebaiknya akad nikah dilakukan dimasjid, pada hari jum’at waktu pagi dan pada bulan syawwal”.

Dari sini kita dapat memahami, bahwa khazanah keilmuan Islam sangatlah luas. Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin tidak akan mempersempit langkah kehidupan manusia.

Sekalipun ulama menganjurkan untuk memilih hari yang baik, bukan berarti memaksa kita untuk mengikuti pendapatnya. Selain itu, para ulama tersebut juga memberikan solusi bagi yang terpaksa melakukan sesuatu pada hari yang tidak disarankan dengan cara membaca do’a tertentu, agar senantiasa dilindungi oleh Allah dan terhindar dari nahasnya hari tersebut.

Wallahu A’lam.