3 Pilar Rumah Tangga Berasas Agama: Penopang Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Emas

3 Pilar Rumah Tangga Berasas Agama: Penopang Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Emas

Ada 3 pilar rumah tangga berasas agama. Tiga pilar ini penting diketahui dan dipraktikkan sebagai parameter kualitas rumah tangga. Rumah tangga yang berkualitas adalah penopang Indonesia emas di masa depan.

3 Pilar Rumah Tangga Berasas Agama: Penopang Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Emas
Dr Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag.

Indonesia emas digaungkan oleh presiden Jokowi di beberapa kesempatan. Harapan besar Jokowi cita-cita Indonesia Emas sudah terwujud pada ultah 1 Abad Indonesia di tahun 2045. CNN Indonesia mewartakan bahwa pandemi Covid-19 menjadi momentum transformasi teknologi, khususnya transformasi digital di Indonesia.

Untuk itu, presiden berharap harus ada lompatan besar mencapai industri 4.0. Modal utama yang perlu digenjot adalah peningkatan kualitas SDM. Kekayaan alam Indonesia harus diolah oleh SDM yang unggul.

Lebih lanjut, CNN Indonesia memberitakan bahwa penduduk Indonesia mencapai lebih dari 185 juta orang dan memiliki akses internet terbesar di dunia. Besarnya akses internet ini harus diarahkan menuju kekuatan industri 4.0.

Pemegang kendali utama SDM di era digital adalah para generasi muda. Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin menegaskan, sebagaimana dilansir oleh Kominfo bahwa generasi muda lah yang memiliki peran besar menjaga keutuhan NKRI. Antar generasi muda dapat saling support dan menjadi inspirasi bagi pemuda lainnya melalui peningkatan potensi masing-masing.

Dorongan Wapres ini dapat diwujudkan dengan berbagai strategi. Salah satu strategi utama adalah peningkatan kualitas rumah tangga ataupun keluarga.

Di era digital dan transformasi teknologi yang begitu cepat menuntut semua elemen untuk berperan dalam menyukseskan program pendidikan. Elemen paling mendasar adalah rumah tangga termasuk keluarga.

Rumah tangga dibedakan dengan istilah keluarga. Badan Pusat Statistik (BPS) membedakan dua istilah tersebut dari segi keluasan makna. Keluarga hanya terbatas pada pengertian satuan unit yang menyangkut pada pertalian nasab. Sedangkan istilah rumah tangga adalah suatu ikatan yang di dalamnya tidak terbatas pada golongan seseorang yang memiliki ikatan darah saja melainkan sekelompok orang yang mendiami bangunan dan biasanya mengurus kebutuhan sehari-hari menjadi “satu dapur”.

Dari beragam macam bentuk rumah tangga yang diuraikan dalam situs resmi BPS, tulisan ini hanya fokus pada bentuk rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak.

Berawal dari sebuah pernikahan yang sah muncul istilah suami untuk pasangan yang berjenis kelamin laki-laki dan istilah istri untuk pasangan yang berjenis kelamin perempuan. Sebuah perkawinan yang sah sesuai ajaran agama dan undang-undang berikutnya akan menempati satu bangunan untuk tinggal bersama menjalani kehidupan bersama. Inilah yang dimaksud rumah tangga.

Berumah Tangga Berasas Agama

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila mewajibkan warganegaranya untuk berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Beragam cara dan norma berketuhanan diatur dalam sebuah lembaga yang bernama agama. Manusia beragama adalah manusia yang mengingatkan dirinya pada suatu bentuk hidup yang menyandang pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Setiap agama mengajarkan norma-norma berbudi luhur dalam kondisi apa pun.

Paling tidak ada 3 (tiga) pilar dalam berumah tangga yang berdasarkan agama.

Pertama, pernikahan.

Fenomena alam menyuguhkan kita adanya pasangan dalam kehidupan antara lain; langit-bumi, matahari-bulan, siang-malam dan laki-laki perempuan.

Adanya hukum positif yang mengatur detail tentang perkawinan di Indonesia menunjukkan andil pemerintah dalam menjaga moralitas bangsa.

Interaksi sosial antar laki-laki dan perempuan yang masing-masing memerlukan pemenuhan kebutuhan biologis menjadi dasar pentingnya sebuah perkawinan yang sah menurut agama dan perundang-undangan. Adanya pernikahan akan menyelamatkan generasi bangsa dari tindakan-tindakan amoral.

Kedua, penguatan pendidikan dan keterampilan.

Dalam KBBI dijelaskan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Dengan demikian, sebuah pendidikan harus melahirkan bekal keterampilan. Sebaliknya, sebuah keterampilan meniscayakan adanya pengajaran atau pendidikan. Menurut tokoh pendidikan, Jhon Dewey (1859), pendidikan terbagi dua perspektif yaitu masyarakat (community perspective) dan individu (individual perspective).

Bagi masyarakat, pendidikan merupakan pewarisan ilmu dan budaya dari generasi tua ke generasi muda agar nilai-nilai tetap lestari. Sedangkan secara individu, pendidikan adalah proses menumbuhkembangkan potensi-potensi diri.

Di era industri 4.0 menuntut adanya keterampilan lain di luar keahlian akademik. Bila di tahun sebelumnya pemerintah mewajibkan pendidikan selama 9 tahun, maka Kemendikbudristek melakukan pembaharuan menjadi 13 tahun dan memasukkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam jenjang pendidikan formal. Panjangnya waktu yang dialokasikan sebagai wajib belajar diharapkan menumbuhkan kematangan dalam keilmuan, keterampilan dan kedewasaan.

Peran keluarga dan rumah tangga sangat diperlukan dalam menyukseskan program wajib belajar tersebut. Banyak survei yang membuktikan bahwa broken home berdampak negatif pada perkembangan anak fisik ataupun psikis. Semua personil dalam rumah harus dapat dikondisikan kenyamanan, keamanan dan kedamaian lahir batinnya. Karena rumah atau keluarga akan menjadi fondasi mental untuk menerima atau kesiapan diri menghadapi problematik[a] hidup di setiap saat.

Ketiga, kesadaran beragama.

Artinya, setiap umat beragama selayaknya memiliki kesadaran bahwa ia adalah pemeluk agama tertentu yang pastinya tidak patut bila melakukan perbuatan atau ujaran yang tidak selaras dengan nilai-nilai agama.

Saat ini informasi apa pun dapat sangat cepat diakses oleh siapa pun tanpa batas usia. Kebebasan informasi dan komunikasi menuai kesuksesan tetapi juga menumbuhkan kerusakan moral atau ketidaksempurnaan psikis.

Media sosial tak hentinya memberitakan kasus KDRT, pelecehan seksual, narkoba, pembunuhan antar saudara, dan berita amoral lainnya. Tindakan ini melibatkan generasi muda baik sebagai subyek ataupun obyeknya. Kondisi seperti ini bila dibiarkan akan menurunkan kualitas SDM khususnya generasi muda.

Bila dikaji lebih lanjut, ternyata di antara pelaku tindakan di luar norma hukum dan agama adalah pemeluk agama yang ritual keagamaannya tidak diragukan. Di sinilah diperlukan kesadaran beragama tidak cukup hanya beragama secara simbolik. Materi-materi agama tidak berhenti pada tahap penghafalan atau penilaian-penilaian formal akademis. Namun, yang paling penting adalah pengaplikasian dalam perilaku kehidupan.

Pendampingan dan controlling diperlukan agar ucapan dan perbuatan secara spontan tidak melanggar norma agama ataupun undang-undang. Diperlukan transformasi orientasi dalam proses pendidikan, dari formalistis akademik menuju kemanusiaan yang bermoral. Lalu, tanggung jawab siapakah ini?

(AN)