Lantas, belakangan ini nama beliau mulai melekat di sanubari setiap insan manusia, ketika menjadi imam besar jamaah penolak pemimpin kafir yang berujung aksi-aksi bernomor cantik itu.
Menurut kabar burung, hari rabu besok (21/2/2108) Habib Rizieq hendak menginjakkan kaki kembali ke tanah air. Foto tiket kepulangannya naik Saudi Arabian Airlines sudah tersebar di internet. Ini bukan kabar bohong, mustahil kelompok agama yang paling religius berkata bohong. Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, Pak Slamet Maarif sudah mengonfirmasi kalau tiket yang beredar di dunia maya adalah asli.
Ya, sudah sejak 26 April 2017 lalu Habib Rizieq belum pulang ke Indonesia. Tepatnya saat beliau dan keluarga memutuskan berangkat umroh bersama untuk menunaikan nazar (janji) atas kekalahan Koh Ahok dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Artinya, sudah hampir setahun beliau meninggalkan kita. Betapa rindunya semua umat. Tak heran, jika rabu esok, beredar kabar kalau satu juta umat akan “memutihkan” Bandara Soekarno-Hatta. Baliho hingga susunan panitia penyambutan pun kabarnya juga sudah dibentuk.
Sudahlah, kita tak usah menyinggung perkara pidana beliau. Perkara nanti Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menunggunya sebagai tersangka dalam kasus pornografi terkait “percakapan orang dewasa”, atau Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat yang menetapkannya sebagai tersangka atas tuduhan menghina Pancasila dan mencemarkan nama baik Presiden Sukarno, atau tuduhan sebagai penyebar ujaran kebencian yang melecehkan umat Kristiani dan pelanggaran UU ITE terkait logo palu-arit di lembaran uang rupiah, ya pokoknya kita doakan saja beliau mendapat jalan yang terbaik.
Tapi tahukah kita, bahwa kepulangan Habib Rizieq kali ini lebih dari sekadar mengurusi tetek-bengek perkara hukum duniawi di atas? Ada satu misi mulia yang dibawa sang imam dari tanah suci Mekah, yaitu mendinginkan suasana di Indonesia.
Sekjen DPD FPI DKI Jakarta, Pak Novel Bamukmin mengatakan bahwa hanya Habib Rizieq-lah yang bisa menyelesaikan kasus penyerangan tokoh agama di beberapa tempat akhir-akhir ini. Pak Novel juga mengklaim hanya sang imam-lah yang dapat mendinginkan suasana agar umat Islam tidak semakin panas dan memicu konflik baru. “Ini bisa bahaya. Hanya Habib Rizieq yang bisa mendinginkan suasana,” kata Pak Novel saat diwawancara media.
Terkait berita ini, saya mendengar skeptisisme publik. Berbagai komentar miring dan bernada meragukan bertebaran di mana-mana. Ada yang bilang kalau Habib Rizieq-lah pimpinan para pelaku penyerangan itu sendiri, atau justru karena beliau tidak pulang-lah Indonesia menjadi adem, atau yang lebih parah lagi ada yang malah menuduhnya sebagai penjahat yang harus dihukum. Duh!
Oknum publik seperti ini memang ngawur, reaktif, dan ahistoris. Bukannya berdoa untuk kebaikan, malah gemar sekali mencaci maki. Mereka tidak tahu kalau perjalanan ke tanah suci adalah perjalanan spiritual yang menggetarkan hati. Mereka tidak pernah bisa membaca peluang kalau siapa saja bisa berubah watak dan perilakunya karena telah melaksanakan haji atau umroh. Apalagi, beliau sudah hampir setahun menetap di sana.
Selama ini kita mungkin tahu watak Habib Rizieq memang keras, terutama saat membela agamanya. Beliau bisa berbicara lantang di depan musuh, atau bahkan bisa sampai “turun tangan” bersama laskarnya untuk menindak suatu kemungkaran.
Tapi bukannya tidak mungkin, selama menjalani proses spiritualnya yang panjang di tanah suci, beliau bisa berubah menjadi pribadi yang lembut dan anti-kekerasan. Tidak menutup kemungkinan, saat kepulangannya nanti beliau benar-benar bisa mendinginkan suasana di Indonesia dengan cara-cara bernilai kemanusiaan.
Dalam sejarah, kepulangan seorang tokoh dari hijrah panjangnya juga bisa menjadi sebuah tinjauan reflektif. Harusnya kita ingat sosok Mahatma Gandhi dan segala perjuangannya di India sepulang hijrah dari Inggris. Bagaimana dia bisa mendinginkan suasana di negaranya yang sedang mengalami huru-hara konflik dengan membawa ajaran ahimsa atau anti-kekerasan. Posisinya sama dengan Habib Rizieq, keduanya bisa dibilang seorang tokoh sentral, pemimpin spiritual, aktivis, dan juga politikus.
Gandhi mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Belakangan, aksi damai juga dilakukan oleh sang imam besar, meski dalam konteks yang berbeda. Tapi ayolah, kata “damai” adalah kata yang menyejukkan di hati, bukan?
Sejak dulu, kita melihat laskar paramiliter berbasis agama di bawah naungan Habib Rizieq tidak pernah mengenal kata damai (baca: suka melakukan kekerasan) pada mereka yang amoral (berdasarkan standar FPI). Dengan menggelar aksi-aksi damai yang kemarin dilakukan, bukankah ini sebuah pertanda perubahan dan sebuah langkah maju untuk menanggapi segala sesuatu dengan cara yang lebih dingin?
Dalam buku Gandhi The Man: How One Man Changed Himself to Change the World (1973), garapan penulis biografi ternama Eknath Easwaran, di sana tertulis bahwa transformasi Gandhi tidak berlangsung begitu saja. Ajaran ahimsa atau anti-kekerasan Gandhi muncul dari penelaahan panjang atas Bhagawadgita (Bhagavad-gita), sebuah bagian dari cerita Mahabharata yang berisi tentang ajaran-ajaran filsafat vendata yang dikemas dalam dialog antara Kresna dan muridnya, Arjuna. Dalam ajaran Hindu, Bhagawadgita merupakan salah satu kitab utama yang memiliki nilai spritual yang tinggi.
Jika Gandhi bisa mendapat “hidayah” berupa ajaran ahimsanya melalui proses spiritualisasi diri, kita seharusnya bisa optimis dan berpikir positif pada Habib Rizieq pula. Dalam Islam, tanah suci Mekah bukanlah tempat sembarangan. Di sana adalah tempat yang ijabah untuk berdoa. Di sana adalah “rumah Allah”. Tempat di mana telah banyak orang mendapat hidayah dan menemukan kesadaran spiritual. Banyak orang yang dituntun hatinya saat bermunajat di sana.
Jadi, salah besar jika kita mengira Habib Rizieq akan gagal mendinginkan suasana di Indonesia. Siapa bisa menebak, jika besok pulang, beliau telah berubah menjadi seorang yang berbeda. Seorang “pembela Islam” dengan cara-cara yang lembut, santun, sejuk, dan menjadi sosok yang berdiri paling depan dalam menentang segala bentuk kekerasan. Dan yang paling penting lagi, sepulang dari hijrahnya, beliau bisa menjadi seorang yang mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan dalam perjuangannya.
Mari kita doakan.
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di islami institute Jogja.