Coblosan 17 April 2019 udah usai dan pesta demokrasi tinggal menunggu hasilnya, apakah Prabowo mampu menang dari Jokowi atau sebaliknya? Serangkaian debat dan kampanye sudah dilakukan.
Sejatinya, jauh-jauh hari, pilpres tahun ini sudah diprediksi bakal menjadi pentas ulang antara dua figur, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya sudah berkompetisi pada ajang pilpres pada tahun 2014, meski dengan pendamping yang berbeda. Akan tetapi, di balik keduanya terdapat pendukung fanatik dan setia. Ditambah lagi, dalam konteks pilpres yang dipilih langsung oleh rakyat, Indonesia baru pertama kali itu mengalami pilpres yang sejak awal hanya diikuti oleh dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Kondisi ini yang kemudian turut menciptakan berulangnya kompetisi dengan dua figur yang sama.
Keduanya memiliki pendukung fanatik dan setia yang berupaya menciptakan citra diri kedua figur dengan baik, meski kemudian kedua pihak terjerembab dalam sikap merendahkan figur lain yang dianggap lawan.
Hal ini kemudian menyebabkan polarisasi di masyarakat yang semakin meningkat. Masyarakat kemudian terbelah menjadi dua kubu (jika kubu golput tidak dimasukkan), yaitu pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto. Bahkan, kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pilpres tahun 2014 tidak membuat suasana kembali normal. Justru tensi tetap dalam kondisi tegang sampai menjelang pilpres tahun ini.
Sampai-sampai ada pernyataan yang keluar, “Semoga pilpres segera selesai agar suasana kembali santai”. Pertanyannya, bisakah harapan itu tercipta?
Menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jika melihat nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia, harusnya kondisi usai pilpres kembali adem ayem, tidak ada lagi pembahasan mengenai pilpres, terlebih lagi menuduh pihak yang menang dan menyalahkan pihak lain atas kekalahan figur yang didukungnya. Masyarakat Indonesia dianggap memiliki sikap andap asor, lemah lembut, menyukai harmoni, dan legowo. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah masyarakat Indonesia masih seperti itu?
Banyak dinamika yang telah dialami oleh masyarakat Indonesia, sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban “iya, masih”. Barangkali kita perlu menengok beberapa gelaran politik di Indonesia yang memiliki kesamaan unsur dan sifat dengan pilpres 2019. Pertama, pilpres 2014. Usai pengumuman resmi dari KPU yang menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menang, kondisi pertarungan antar dua kubu ternyata masih berlanjut.
Pihak Prabowo Subianto menggugat hasil tersebut kepada Mahkamah Konstitusi, meski akhirnya Mahkamah Konstitusi tetap menganggap pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Selanjutnya, para pendukung Prabowo Subianto kemudian seringkali mencari kelemahan kinerja Joko Widodo untuk kemudian dijadikan alat untuk menjatuhkan Joko Widodo. Bukan hanya itu, isu agama dan identitas pun semakin dilancarkan.
Kedua, pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Pilgub tersebut dianggap memiliki unsur yang sama dengan pilpres tahun 2014 dan 2019 karena adanya kesamaan pihak di belakang figur-figur yang berkompetisi di kedua gelaran demokrasi tersebut. Pilgub ini dianggap sebagai ajang pemanasan pihak pendukung Prabowo Subianto untuk memenangkannya.
Kepercayaan diri mereka meningkat ketika Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dinyatakan menang. Sandiaga Uno kemudian dipilih mendampingi Prabowo Subianto pada gelaran pilpres 2019. Pasca pilgub tersebut, hubungan kedua kubu juga tak kunjung membaik. Pihak yang menang membuktikan bahwa kinerja figur yang didukungnya lebih baik dibanding figur lain, pihak yang kalah mencari kesalahan figur yang menang. Pada titik ini, pihak siapapun yang menang dan kalah, akan cenderung memunculkan pola sikap yang sama.
Dua sampel kejadian tersebut setidaknya dapat menjadi faktor pertama untuk menjawab bahwa usai pilpres pun tidak menjamin kondisi bisa kembali tenang layaknya sepuluh tahun lalu.
Selain isu agama dan identitas, penggiringan persepsi bahwa pilpres kali ini bukan hanya sekedar memilih pemimpin negara tetapi juga pertarungan dua corak keberagamaan (kaum moderat dengan kaum ekstrem), semakin digencarkan. Inilah yang menjadi faktor kedua bahwa usai pilpres, belum menjamin kondisi masyarakat menjadi tenang.
Faktor ketiga adalah faktor psikologis masyarakat dan pendukung. Pihak yang menang akan memiliki kecederungan untuk mempertahankan diri dan mempersiapkan rasionalisasi demi mempertahankan eksistensinya serta membela diri jika sewaktu-waktu dirinya diserang oleh pihak yang kalah.
Selain itu, akan muncul keinginan untuk membuktikan bahwa dirinya memang lebih baik dibanding yang lain. Adapun pihak yang kalah, akan muncul kecenderungan untuk terus membahas kelemahan-kelemahan pihak yang menang. Belum lagi jika berbicara perasaan sakit hati akibat dilancarkannya isu agama dan identitas.
Faktor keempat, ada agenda besar yang berbeda dan diusung kedua pihak. Sehingga, siapapun yang kalah, akan cenderung mencari cara agar agendanya dapat tercapai. Faktor-faktor ini yang bisa jadi membuat polarisasi masyarakat akan tercipta terus menerus.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kita tidak lelah dengan kegaduhan yang absurd ini? Jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing.
Jika memang kita ingin kondisi menjadi tenang dan lebih baik, kita persiapkan diri untuk siap menerima apapun dan bersedia membangun negeri dengan cara positif. Kita perlu belajar menghilangkan prasangka negatif dan sikap menjatuhkan. Sebaliknya, kita ganti sikap-sikap itu dengan perilaku konstruktif yang dilakukan dengan cara yang benar dan tepat.
(Penilis adalah Psikolog, Dosen IAIN Surakarta, sekretaris LAKPESDAM PCNU Klaten, mantan relawan demokrasi KPU Klaten tahun 2014)