Ternyata upaya memperlawankan Islam dengan budaya itu warisan penjajah Belanda.
Sekitar satu tahun lalu, sewaktu saya memresentasikan artikel saya yang mengulas tentang Islam Nusantara dan Islam Transnasional (Salafi) di hadapan intelektual-intelektual yang berasal dari 27 negara, saya sempat menerima protes dari salah peserta. Ia semacam protes kepada saya yang waktu itu menjelaskan bahwa Islam Nusantara itu Islam lokal Indonesia yang ramah terhadap budaya lokal, sementara Islam Transnasional itu Islam puritan yang tidak ramah terhadap budaya lokal Indonesia.
Menurutnya—dan ini waktu itu juga diamini oleh sebagian besar peserta yang lain—saya telah melakukan pembalikan fakta, karena semestinya Islam model Islam Nusantara itulah yang layak disebut Islam transnasional. Islam nusantara itu dipraktikkan di banyak negara Islam di dunia, sementara Islam transnasional (salafi) itu hanya Islam Saudi yang tidak seglobal Islam nusantara.
Kala itu saya hanya menjawab bahwa klasifikasi yang saya sebutkan itu adalah salah satu strategi dari kalangan pendukung Islam Nusantara untuk mengatakan bahwa ajaran Islam transnasional itu adalah Islam asing, bukan Islam ala pribumi masyarakat Indonesia. Harapannya, tidak lain agar orang-orang Indonesia menganggapnya sebagai ideologi asing dan lebih memilih ajaran Islam Nusantara yang merupakan produk asli Indonesia.
Terlepas dari itu, saya merasa tersadarkan oleh “protes” tersebut. Ternyata, setelah saya berjumpa dengan orang-orang Islam di berbagai belahan dunia, ajaran Islam di dunia itu kebanyakan bersahabat dengan kebudayaan setempat. Di Turki, Mesir, India, Arab, Maroko, Afrika, Iran, dll. Islam yang bersahabat dengan kebudayaan adalah Islam yang dominan. Itu artinya, Islam yang banyak dianut oleh penduduk dunia adalah Islam yang mau berintegrasi dengan kebudayaan seperti Islam Nusantara.
Lantas, mengapa kemudian baru-baru ini (terutama setelah 1980-an), mulai muncul kecenderungan Islam “baru” yang menganggap integrasi Islam dan kebudayaan itu sebagai bid’ah, musyrik, atau istilah-istilah menyakitkan lainnya? Mengapa kemudian baru-baru ini muncul kecenderungan untuk mengupayakan pemurnian Islam dari anasir-anasir kebudayaan?
Secara pasti saya kurang tahu persis alasan dari munculnya ide pemurnian Islam yang digagas oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (W. 1792 M). Namun, dalam konteks sejarah Indonesia, ide pemurnian semacam ini dulu adalah proyek penjajah Belanda untuk menjinakkan perlawanan penduduk bumi putra.
Kala itu, tahun 1800-an, penjajah Belanda mengalami masa sulit karena harus menghadapi berbagai revolusi rakyat, mulai dari Perang Dipanegara, Perang Aceh, hingga revolusi (bukan pemberontakan) petani di Banten. Trauma atas berbagai kesulitan yang mereka alami tersebut, penjajah Belanda kemudian menjalankan akal bulusnya lewat jalur kultural.
Menurut Nancy K. Florida, Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh penduduk bumi putera dianggap sebagai ancaman potensial bagi keberlangsungan penjajahan Belanda di Indonesia. Merasa terancam oleh ajaran Islam, mereka pun berupaya untuk menyangkal serta membelokkan kenyataan pengakuan Islam yang keluar dari penduduk bumi putra yang mengimani Islam.
Untuk itu, penjajah Belanda kemudian memopularkan ide bahwa Islam dengan budaya pribumi Indonesia itu adalah sesuatu yang terpisah. Mereka memberi batas yang tegas antara tradisi kebudayaan adiluhung pribumi dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan adiluhung itu kemudian dianggap sebagai kebudayaan nonislami dan secara eksklusif hanya menjadi milik elit-bangsawan.
Proyek pemisahan antara Islam dengan budaya oleh penjajah Belanda ini dilakukan tidak lain karena mereka menganggap Islam telah mengubah penduduk pribumi yang semula cinta harmoni (jinak) menjadi revolusioner dan berbahaya.
Strategi penjinakan ini dilakukan dengan cara mengenalkan kajian Javanologi. Lewat kajian ini penjajah Belanda mendoktrin penduduk bumi putra bahwa puncak keemasan kesusastraan Jawa itu ada di masa pra-Islam, yaitu pada masa Hindu-Budha. Sayangnya, masa keemasan kesusastraan Jawa itu belakangan menjadi rusak bersamaan dengan menguatnya Islam di tanah Jawa pada abad ke-15.
Selain itu, lewat kajian Javanologi ini juga penjajah Belanda, memanfaatkan para filolognya, melakukan sensor terhadap karya-karya Islam Jawa. Hal-hal yang berbau propaganda Islam dalam literatur-literatur Jawa kemudian didisiplinkan dan disangkal sedemikian rupa. Islam Jawa dianggap Islam sinkretik (bukan Islam murni) dan berbeda dengan Islam pada umumnya. Padahal menurut catatan Snouck Hurgronje, pada saat itu Islam sinkretik juga dipraktikkan oleh Muslim lainnya, seperti di Arab, Mesir, Suriah, dan Turki.
Baca juga: Peran Ulama dalam Nation State
Sampai di sini, menjadi jelas bahwa ternyata ide dan upaya memisahkan Islam dengan budaya adalah warisan penjajah Belanda. Dalam batas-batas tertentu warisan penjajah Belanda ini memiliki kemiripan dengan ide pemurnian Islam yang belakangan ini mulai marak.
Secara geografis mungkin Indonesia dipisah jarak yang jauh dengan Saudi Arabi (tempat lahirnya ide pemurnian Islam), tapi dalam konteks sosial politik keduanya cukup dekat. Saudi pada waktu itu (abad ke-18) hendak melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani dan mendapatkan dukungan dari kerjaan Inggris. Tidak menutup kemungkinan ide pemurnian Islam yang muncul dari ‘Abd al-Wahhab itu kemudian dijadikan amunisi oleh kerjaan Inggris untuk membenturkan Saudi dengan Turki, seperti penjajah Belanda yang menjinakkan revolusi di Indonesia dengan menarik batas tegas antara Islam dan kebudayaan. (AN)