Memperkuat Solidaritas Ketika Musibah, Bukan Saling Ejek dan Menyalahkan

Memperkuat Solidaritas Ketika Musibah, Bukan Saling Ejek dan Menyalahkan

Memperkuat Solidaritas Ketika Musibah, Bukan Saling Ejek dan Menyalahkan

 Di awal tahun 2020, bencana banjir mulai terjadi di beberapa wilayah. Hujan lebat yang mengiringi malam pergantian tahun baru, berujung banjir di sejumlah daerah, mulai dari Jabodetabek hingga Banten. Terjangan air di sebagian wilayah hingga ketinggian 3 meter. Meredam rumah warga dan perkantoran. Di beberapa titik, lerlihat air bah menghayutkan mobil dan merobohkan bangunan. Bahkan, dilaporkan  banjir telah menyebabkan korban nyawa. Guna menghindari hal yang tak diinginkan, puluhan ribu warga harus dievakuasi dan mengungsi.

Hanya saja, yang patut kita sayangkan, ada sebagian  saudara kita yang menjadikan musibah banjir ini sebagai bahan untuk saling ejek. Polarisasi sosial Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, ternyata belum sepenuhnya diinsafi. Kita berharap, ke depannya kedua pihak yang saling ejek tersebut akan semakin dewasa dan sadar. Kini saatnya untuk turun tangan. Memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang terkena dan terdampak banjir. Apalagi, menurut keterangan dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), puncak musim penghujan masih akan berlangsung di pertengahan Februari hingga awal Mei 2020.

Selain kita tetap terus siaga, uluran donasi untuk untuk korban banjir perlu terus digalang. Koordinasi antar relawan, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat harus disolidkan. Dengan harapan, ancaman banjir dapat tertangani dengan baik. Selain itu, terus dievaluasi dan diperbaiki langkah pencegahan dan penanganan banjir selama ini. Perlu semua pihak bersinergi dan duduk bersama.

Bijak menyikapi musibah

Dalam riwayat hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H), dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah saw tengah berada di antara para sahabatnya. Tiba-tiba, tanpa diketahui asal muasalnya, datang seorang laki-laki yang berpakaian serba putih dan berambut hitam pekat. Tamu tak diundang itu lantas mendekat kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Ia menanyakan tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda hari kiamat.

Secara berurutan, keempat hal itu ditanyakan dan dijawab oleh Rasulullah saw. Hanya saja, para sahabat merasa heran ketika satu persatu pertanyaan selesai dijawab. Laki-laki di atas selalu membenarkan jawaban Nabi. Seakan-akan ia sendiri sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Pun demikian ketika sampai pada pertanyaan kedua, yakni tentang iman. Rasulullah saw ditanya apa itu iman, maka Nabi menjawab bahwa keimanan adalah percaya kepada Allah ta’ala, malaikat, kitab, rasul, hari kiamat, dan qadha’ qadar.

Setelah selesai bercengkrama dengan Nabi, laki-laki tersebut lantas pergi tanpa diketahui jejaknya. Selang beberapa saat, para sahabat yang masih terdiam keheranan ditanya oleh Rasulullah saw. Apakah ada di antara para sahabat yang mengenal laki-laki tadi. Sayidina Umar Ibnu Khattab yang berada di tempat itu juga tidak mengenal dan meminta penjelasan dari Rasulullah saw. Untuk menghilangkan keheranan para sahabatnya, Nabi menjelaskan bahwa laki-laki yang datang tadi adalah malaikat Jibril. Pertanyaan yang diajukan olehnya tidak lain adalah untuk mengajari apa itu Islam, iman, dan ihsan.

Perlu kita perhatikan bahwa ketika menjelaskan rukun iman yang keenam, yakni percaya kepada ketentuan qadha’ qadar, Rasulullah menambahkan bahwa kita harus meyakini ketentuan Allah ta’ala, baik berupa ketetapan yang baik ataupun buruk. Bahkan dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seseorang belum dikatakan dapat merasakan manisnya iman, sebelum ia bisa menerima ketentuan Allah swt, apapun bentuknya.

Dari hadis ini, kita dapat memetik pelajaran bahwa ketentuan Allah yang telah terjadi harus kita terima dengan lapang dada. Selain bijak mengembalikannya kepada Allah ta’ala, kita juga harus pandai memetik hikmahnya. Dalam konteks banjir di atas, mungkin pola hidup kita yang tidak bersahabat dengan alam. Mulai dari  tataruang pembangunan kota, buang sampah sembarangan, merusak fungsi sungai, hingga penebangan hutan sembarangan.

Selain itu, baik kiranya, menjadikan musibah sebagai renungan untuk meningkatkan rasa penghambaan kepada-Nya. Baik secara individual atapun komunal. Titik untuk mengasah kembali kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kecerdasan sikap dan kesabaran inilah yang nantinya akan meninggikan kualitas keimanan. Bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, namun mudah lalai dan sombong. Maka dari itu, selain mengerahkan daya upaya dan pemikiran, kembali kepada kebesaran-Nya adalahsebuah niscaya.

Dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa salah satu tanda kesabaran adalah sikap pasrah kepada Allah. Ketika seseorang ditimpa musibah, maka dengan segera ia mengembalikannya kepada Allah. Menyakini bahwa hakikatnya, hidup mati hanya milik Allah. Tidak sekali-kali meratapi ataupun salah menyikapi ujian yang ia hadapi. Dalam surat al-Baqarah ayat 156, Allah swt berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Artinya:

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Q.S. al-Baqarah: 156)

Imam Abu Ja’far al-Thabari (310 H) dalam kitab Tafsir al-Thabari menjelaskan bahwa ayat di atas adalah keterangan dari sifat orang yang sabar. Yaitu orang yang meyakini dan mengakui ketetapan Allah swt. Mengembalikan segala sesuatu kepada-Nya. Dalam ayat selanjutnya, dijelaskan bahwa orang yang memiliki sikap ini akan senantiasa hidup dalam petunjuk-Nya. Selain ia dijanjikan pengampunan dan rahmat oleh Allah, orang yang beriman kepada ketentuan Allah juga akan tercerahkan. Ia memiliki sikap dan pandangan yang luas. Tidak mudah menyalahkan orang lain ataupun alam semesta. Karena ia menyakini bahwa bencana alam berjalan sesuai ketentuan-Nya. Bencana merupakan teguran untuk mengoreksi diri dan memperbaikinya.

Dalam surat  al-Taghabun ayat 11, Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya:

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah, dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Taghabun: 11)

Meneguhkan persaudaraan

Satu pelajaran penting dari peristiwa ini adalah peneguhan solidaritas sosial. Hal ini nampak pada relawan, tim SAR, ormas dan jajaran pemerintah yang berkoordinasi bersama. Demikian juga donasi dari masyarakat juga terus mengalir. Ucapan simpati dan doa juga banyak memenuhi laman media sosial. Solidaritas ini merupakan bentuk nyata peneguhan bahwa kita adalah satu bangsa. Satu wilayah Indonesia tekena musibah, tetapi daerah lain juga merasakannya. Kenyataan ini merupakan pengejawantahan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan.

Musibah banjir yang terjadi telah menggerakkan hati untuk peduli. Bergandeng tangan meringankan ujian sesama. Bahkan tidak memandang lagi perbedaan suku, agama, golongan, dan status sosial. Kesemuanya tergerak untuk dapat berpartisipasi meringankan beban sesama saudara sebangsa dan setanah air. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw dalam hadis shahih bahwa barang siapa meringankan beban saudaranya, maka kelak akan diringankan oleh Allah ta’ala di hari kiamat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ  الْقِيَامَةِ

 Artinya:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa melapangkan kesusahan orang mukmin lain dalam urusan dunia, maka ia akan dilapangkan oleh Allah dari berbagai kesusahannya kelak di hari kiamat.” (H.R. Muslim)

Dari uraian ini dapat kita simpulkan bahwa musibah adalah sebuah ketentuan yang tidak bisa kita elakkan. Dengan keimanan, kita harus senantiasa lapang menerima. Menyikapinya dengan bijak. Begitu pula, musibah adalah momentum untuk merajut solidaritas sosial. Meneguhkan kembali makna satu kesatuan sebagai sebuah bangsa. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, suku, budaya, dan agama harus senantiasa mengasah dan mengasuh rasa persatuan. Dengan keimanan yang terhujam di dalam dada, mari kita perteguh kedewasaan sikap, serta kepedulian terhadap sesama.

*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Buletin Muslim Muda Indonesia