Si Belerang Merah, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240), dengan tegas menyatakan dalam kitab Hikamnya: “Pastikan dengan baik bahwa engkau mendapatkan ilmu agama itu dari orang yang telah mewarisi nilai-nilai kenabian.”
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh sang sufi yang telah menyelami samudra ilmu keilahian itu? Bagi dia yang sezaman dengan Maulana Jalaluddin Rumi itu, belajar agama tidak saja dipahami sebagai transformasi ilmu agama secara an sich dari seorang guru kepada santri-santrinya.
Tapi lebih dari itu juga merupakan transformasi spiritualitas dan keteladanan yang mulia dan bermartabat. Artinya adalah bahwa seorang guru agama dalam konteks roh keislaman tidak boleh hanya menularkan “konsep” atau pelajaran semata. Dia harus menjadi orang pertama yang berikhtiar dengan sungguh-sungguh mengejawantahkan ilmu yang “dijajakannya” itu.
Sebelum memerintahkan wudhu kepada umatnya, junjungan dan tauladan terbaik dan terluhur bagi kita, Nabi Muhammad Saw, telah terlebih dahulu melaksanakan wudhu. Demikian pula dengan shalat dan berbagai perintah agama lainnya. Beliau adalah orang terdepan yang mengimplementasikan ke dalam tindakan nyata dengan “mulus” ajaran-ajaran risalah yang diembannya.
Seorang guru agama dalam Islam ibarat sebuah sendang. Kalau air yang menggenang di dalamnya jernih, maka setiap orang yang menimba di situ akan mendapatkan air yang jernih pula. Tentu saja dengan adanya suatu pengecualian. Yaitu, kalau wadah yang dipakai untuk menimba itu tidak belepotan dengan lumpur atau kotoran lainnya. Tapi kalau kotoran itu cuma sedikit, pastilah air itu tetap kelihatan jernih.
Itulah sebabnya kenapa Ibn ‘Arabi sendiri senantiasa mengembara untuk menjumpai sendang-sendang rohani yang jernih yang sanggup membersihkan debu-debu dan luka, menyegarkan jiwa dan meneguhkan harapan-harapan keilahian yang rimbun di dalam batinnya. Semua itu didapatkan di dalam diri dan teladan mereka yang telah wushul terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala. Dan tidak tanggung-tanggung, yang pernah dijumpai oleh beliau untuk mendapatkan ilmu dan barokah itu lebih dari seribu orang.
Karena itu, merupakan hal yang masuk akal kalau kemudian dinyatakan bahwa beliau tidak lain adalah representasi yang sangat tangguh dan mumpuni di bidang spiritualitas dan ilmu keilahian dalam kancah sufisme. Bahkan ada seorang investigator literatur-literatur sufisme yang dengan tegas menyatakan bahwa seluruh karya sufi yang lain sebenarnya secara ontologis tak lebih dari sekedar catatan kaki dari kitab-kitab Ibn ‘Arabi.
Sedangkan sendang yang kotor, keruh dan bau tengik, apakah yang bisa ditimba dari situ selain air yang tidak bermutu dan bahkan sangat berbahaya untuk dikonsumsi oleh manusia? Bahkan binatang pun mungkin tidak sudi.
Dari seorang guru yang tidak pernah berpapasan dengan cakrawala keilmuan dalam Islam, dari seorang guru yang hanya mengenal satu perspektif keagamaan yang kelam di gorong-gorong pemikirannya yang sumpek, dari seorang guru yang bisanya cuma mencaci-maki dan memberikan stempel sesat, kafir, syirik dan bid’ah kepada siapa saja yang tidak sewarna dengan pemahaman dan mazhabnya, apa yang bisa didapatkan selain bangga diri yang kusam dan gemuruh kebencian yang legam?
Sungguh, betapa sangat penting memiliki guru yang sanad keilmuan dan keluhuran budi pekertinya tersambung dengan orang paling luhur di dunia dan akhirat yang bahkan Allah Ta’ala sendiri turun tangan memujinya. Yaitu, Nabi Muhammad Saw.