Pemilihan Kepala Desa memang masih sekitar dua tahun lagi. Meski demikian, sudah beredar nama-nama yang kemungkinan akan meramaikan kontestasi tersebut. Salah satu nama kandidat kepala desa yang beredar adalah sosok perempuan. Jika ini benar, dan dia terpilih sebagai pemimpin perempuan, tentu akan menjadi hal baru dalam konstelasi politik lokal di desa saya.
Baru beredar Namanya sebagai kandidat saja, banyak respon bermunculan. “Cah wedok kok kakehan polah, kaya wes gak ana wong lanang wae!” (Anak perempuan kok kebanyakan polah, seperti tidak ada laki-laki saja!) “Desane dewe kan akeh wong paham agama, apa ya padha gelem nak seng dadi lurah ki wong wedok?” (Desa kita kan banyak orang paham agama, apa mereka berkenan kalau yang jadi lurah perempuan?). Setidaknya itu respon yang saya dengar dari obrolan di pos ronda, angkringan, serta ruang-ruang lain di desa saya.
Respon-respon itu terkadang membuatku geli, beberapa bikin miris dan kaget. Ternyata, kehidupan modern belum bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan sepenuhnya. Meskipun tidak semua, tapi masih ada.
Padahal, pemilihan kepala desa masih tahap kemungkinan dan baru direncanakan, tapi responnya sudah seperti ini. Apalagi kalau rencana ini direalisasikan, kemudian desa kami mendapat pemimpin perempuan? Sayangnya, sampai saya menulis tulisan ini, saya belum sempat untuk bertemu dan berbicara dengan kandidat perempuan itu. Peristiwa ini yang akhirnya mendorong saya sampai di tulisan ini. Anggapan miring, peminggiran peran dan kesulitan yang dihadapi perempuan untuk eksis di wilayah publik rupanya masih terjadi.
Kita semua mafhum bahwa secara biologis, tubuh laki-laki dan perempuan memang berbeda. Kodratnya memang sudah begitu. Yang menjadi catatan, ada kecenderungan masyarakat memandang dan menilai perempuan hanya berdasarkan realitas biologisnya saja. Juga, dengan segala stereotype negatif yang disematkan terhadapnya. Coba kita amati di sekitar, seberapa sering kita memandang, mengomentari, dan menilai perempuan dari bentuk fisiknya?
Meminjam istilah dari Ali Syari’ati, kecenderungan seperti itu memandang perempuan tak lebih hanya sebagai basyar, yaitu makhluk yang sekadar ada (being). Makhluk yang tidak sadar, tidak bebas, dan tidak memiliki kreativitas. Perempuan masih diasumsikan sebagai makhluk yang lemah, rapuh, tidak memiliki daya cipta, tidak rasional, serta label-label lain yang yang menyulitkan perempuan untuk mencapai kehidupan yang autentik. Ironis bukan? Padahal sejatinya, perempuan juga harus dilihat berdasarkan esensinya, yaitu perempuan sebagai insan. Insan menyiratkan perempuan sebagai makhluk yang tidak hanya ada, tapi juga menjadi (becoming). Di sini lah potensi sebagai manusia mampu dimaksimalkan. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga harus dilihat sebagai entitas yang sadar, bebas bergerak, maju, dan memiliki kreativitas. Buka sekedar seonggok daging yang kurang berguna.
Apakah pantas kita merendahkan dan meminggirkan perempuan, hanya karena perbedaan biologis? Jelas tidak! Karena pada hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang membedakan keduanya, kecuali amal ibadah, serta ketaatan mereka kepada Sang Maha Besar dan Sang Maha Kuasa.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, bisakah perempuan hidup secara autentik, tanpa kungkungan budaya, relasi nilai-nilai, dan keterlanjuran sistem, yang dibentuk oleh masyarakat sedemikian rupa? Apakah perempuan bisa bebas, menemukan maknanya secara autentik, bebas dari segala bentuk stereotype dan stigmatisasi terhadapnya? Bisakah perempuan secara bebas mengaktualisasikan segala potensi dan kreativitas yang ada di dalam dirinya?
Tentu saja bisa!. Perempuan bisa terbebas dari itu semua. Menurut Simon de Beauvoir, ada beberapa pendekatan untuk mengemansipasi perempuan. Pertama, melalui pemikiran, yaitu dengan membebaskan perempuan, dari definsii patriarkal yang disematkan oleh kebudayaan kepada perempuan. Karena jika tidak begitu, perempuan tidak akan leluasa untuk mengemansipasi dirinya di satu sisi, dan mentransendensikan dirinya di sisi yang lain. Selanjutnya menggeser relasi biologis antara laki-laki dan perempuan ke arah relasi eksistensial.
Kedua, melalui praktik-praktik kehidupan, yaitu dengan menggeser relasi biologis, ke relasi eksistensial. Bagaimana caranya? biarkan perempuan untuk hadir, berdaya dan bermakna. Beri perempuan ruang untuk bereksistensi di ruang publik, baik dalam pendidikan, kebudayaan, ekonomi, bahkan poliitk yang sama dengan laki-laki.
Pendekatan terakhir untuk mengemansipasi perempuan adalah dengan mencari akar-akar teologisnya. Karena budaya patriarkal kerap kali menggunakan legitimasi agama untuk melanggengkan peminggiranya terhadap perempuan.
Dengan demikian, perempuan tidak lagi dianggap sebagai The Other, alias liyan. Kenapa begitu? Karena perempuan sudah bisa dengan bebas membentuk intelektualitasnya, bisa bebas mengaktualisasikan segala pikiran dan kreativitasnya, dan mendapatkan akses sosial yang lebih baik. Sehingga, perempuan bisa menemukan keautentikan hidupnya, memaksimalkan potensinya.
Dalam konteks legal formal, mulai dari UU Desa dan PP sebagai turunanya, perempuan bisa terlibat dalam proses politik di level manapun di tingkat lokal. Kendati demikian, eksistensi perempuan dalam proses demokrasi masih berupa di deretan pasal dan ayat. Pada kenyataanya, pemimpin perempuan dalam panggung politik local ibarat berada pada “Rumah Kaca”. Perempuan dapat melihat posisi yang lebih tinggi dan dunia yang lebih luas, tetapi sulit menembusnya. Stereotype dan stigmatisasi yang diberikan terhadapnya, ibarat lantai lengket yang mejerat jalanya untuk berjalan menemukan potensinya di ranah publik. Akar masalah, setidaknya di desa saya, ada pada nilai budaya dan praktik sosial dimana patriarki dan stigmatisasi yang berdasar teologi berkelindan. Perempuan dianggap kurang kapabel, tidak layak untuk menjadi pemimpin karena aturan agama, dan alasan lainnya.
Saya yakin kaum perempuan memiliki potensi hebat, seperti halnya kandidat kepala desa yang saya ceritakan tadi. Akan tetapi, mereka sering terkendala semata karena masyarakat memilih untuk menutup lapangan tempat mereka bermain. Lantas, apakah masih akan terus seperti ini?