Ummu Malal, Bukti Adanya Pemimpin Perempuan Cerdas dalam Sejarah Islam

Ummu Malal, Bukti Adanya Pemimpin Perempuan Cerdas dalam Sejarah Islam

Ummu Malal, Bukti Adanya Pemimpin Perempuan Cerdas dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, tercatat begitu banyak pakar- pakar ilmu pengetahuan yang berasal dari kaum pria. Sebut saja Ibnu Khaldun (pakar Sosiologi), al Khawarizmi (pakar matematika), Jabir bin Hayan (pakar kimia), Al Ghazali (pakar tasawwuf) dan lain – lain. Hal tersebut terlihat menutup keberadaan intelektual dari kaum perempuan.

Namun, jika digali lebih dalam, dapat ditemukan begitu banyak tokoh penting yang berasal dari kaum perempuan. Siti Aisyah (periwayat hadist), Fatimah Al-Fihri (pendiri Universitas Qurowiyyin), Azizah Ustmanah (pendiri rumah sakit di Tunisia), Ummul ‘Ila al-Abdariyah (pembebas tahanan Muslim) merupakan secuil tokoh muslimah berpengaruh di dunia Islam. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan memilki peranan penting dalam perkembangan peradaban Islam.

Dalam perpolitikan, tokoh perempuan yang telah dikenal sejarah adalah Sayyidah binti Mansur bin Yusuf as Sanhaji atau yang dikenal dengan Ummu Malal.

Ia berasal dari keluarga Dinasti Sanhajiah yang pada saat itu berkuasa di Ifriqiya (sekarang menjadi Tunisia, sebagian Al Jazair dan sebagaian Libya). Ayahnya, Abu Fatah Mansur merupakan pemimpin ke dua Ifriqiya dari keluarga Sanhaji menggantikan Bulkin bin Ziri yang wafat tahun 377 H /984 M.

Saat itu, Dinasti Sanhajiah tengah berada di era keemasan. Beberepa sektor seperti pertanian, pendidikan serta seni mendapat perhatian besar. Namun, berbeda halnya jika dilihat dari sisi politik, tercatat banyak terjadi pemberontakan yang berusaha menggulingkan kekuasaan Dinasti Sanhajiyah.

Di lingkungan itulah Ummu Malal hidup, yang secara tidak langsung membentuk kepribadianya. Ia tumbuh menjadi seorang yang cerdas, berwawasan luas serta memiliki keunggulan di bidang politik. Tak heran, saat saudaranya, Badis menggantikan posisi ayahnya, ia ditempatkan di posisi penting di pemerintahan.

Abu Fattah Mansur meninggal tahun 386 H / 996 M dan kepemimpinan dilanjutkan oleh anak pertamanya, Badis bin Mansur. Badis mengetahui betul kecerdasan, keunggulan serta keluasan pandangan yang dimiliki oleh Ummu Malal. Oleh karena itu, Ummu Malal diminta untuk membantu Badis dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin Ifriqiya. Tak jarang ketika sudah kehabisan akal, Badis meminta pandangan dan nasehat kepada saudara perempuannya tersebut, terlebih dalam hal politik.

Ummu Malal berkerja sama dengan Badis dalam mengatur pemerintahan. Ia berhasil membangun hubungan baik dengan negara tetangga seperti yang ia bangun dengan penguasa Mesir.

Dikisahkan dalam Syahirrat at-Tunisiyyat karya Hasan Husni Abdul Wahab, suatu ketika Ummu Malal pernah memberikan hadiah kepada Sitt al-Mulk, saudara perempuan dari Al-Hakim bi-Amrillah khalifah Mesir berupa kain sutera dan tekstil yang disulam dengan emas. Kemudian Sitt al-Mulk merespon dengan mengirim sebuah buku dan hadiah lainnya yang mempertegas hubungan baik antar ke dua wilayah.

Selain itu, ia juga sering membantu saudaranya untuk mengendalikan pemberontakan yang kerap kali terjadi akibat meluasnya fitnah di daerah kekuasaanya. Badis memfokuskan diri untuk menghadapi pemeberontakan, dan mewakilkan pengurusan pemerintahan dan politik kepada Ummu Malal.

Dalam kitab ‘Alam an-Nisa karya Umar Ridha Kahhalah, diceritakan bahwa Badis meninggal pada tahun 406 H / 1016 M ketika berusaha menghentikan para pemberontak. Dengan begitu, kepemimpinan akan digantikan oleh anaknya Muiz bin Badis. Namun, karena saat itu usianya baru menginjak 9 tahun, para pembesar dinasti menyembunyikan kabar meninggalnya Badis dan sepakat melakukan baiat saat ia sudah cukup umur.

Lambat laun kabar meninggal nya Badis tersebar. Lalu para pembesar Shanhaji dan elemen masyarakat lainnya bermusyawarah dan sepakat untuk mempercayakan Ummu Malal dalam mengemban tugas sebagai pemimpin Ifriqiya dengan Wisayyah yaitu sebuah amanah yang diberikan kepadanya yang nantinya akan dikembalikan kepada Muiz ketika ia sudah cukup umur. Dengan begitu, ia dikenal sebagai satu – satunya perempuan yang pernah memimpin Ifriqiya.

Ia berhasil memenuhi tugasnya dengan baik berkat perencanaan matang, kecerdasan berfikir serta pengalamannya.

Saat kelahiran Muiz, Ummu Malal sudah mengetahui bahwa suatu saat nanti bayi tersebut akan menggantikan saudaranya. Sehingga sejak kecil, Muiz sudah dibimbing olehnya dan secara perlahan mengajarkannya cara mengatur pemerintahan dengan baik.

Berkat perhatian dan pendidikan yang diberikan olehnya, Muiz tumbuh sebagai anak yang cerdas dan memiliki ketajaman berfikir sehingga mampu menjadi pemimpin yang dibanggakan dengan prestasi dan pencapaian yang ia raih.

Pada tahun 414 H Ummu Malal meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya. Dalam kitab Syahirat Tunisiyyat dijelaskan, sebagai bentuk kasih sayang Muiz terhadapnya, ia menyembelih lima puluh ekor unta, seratus ekor sapi dan seribu ekor kambing untuk disedekahkan kepada masyarakat.

Kemudian saat upacara pemakaman, Muiz membagikan uang sejumlah sepuluh ribu dinar kepada perempuan – perempuan lanjut usia. Selain itu, lebih dari 100 orang penyair membuat syair ratapan tentang kepergian sang perempuan tangguh.

Ummu malal dimakamkan di wilayah Mahdiah kemudian dipindahkan ke “Maqbarah Umara Shanhajiah” di Monastir yang sekarang dikenal dengan pemakaman “Sayyidah” dinisbatkan kepada namanya.

Selain pandai berpolitik, Ummu Malal dikenal dengan kepiawaiannya dalam menulis. Ia pernah menghadiahkan mushaf Al-Quran yang sangat indah kepada Masjid Agung Kairouan, Tunisia.

Kemunculan Ummu Malal telah membuktikan eksistensi kalangan perempuan di dalam dunia perpolitikan Islam. Kehebatannya telah diakui, sehingga ia ditunjuk mengisi posisi pemimpin yang saat itu umumnya diisi oleh kaum pria.

Wallahua’lam bis shawab.