Konsep khilafah yang hendak menyatukan seluruh umat muslim dalam satu panji kekhalifahan sebagaimana diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT) dianggap sebagai jalan mengatasi kegagalan sistem politik liberal. Menurut pendukung khilafah, diskriminasi ekonomi dan politik berupa ketimpangan dan ketidakadilan yang membuat umat muslim tepuruk karena kosongnya kepemimpinan Islam yang menyatukan seluruh dunia. Sehingga, menurut mereka menegakkan khilafah adalah solusi ideal untuk mengatasi masalah tersebut dan menegakkan khilafah adalah bagian dari perintah agama.
Namun demikian, klaim khilafah yang dapat menyatukan umat muslim mendapat bantahan dan kritik dari kalangan tokoh-tokoh muslim sendiri. Sebagai contoh kritik yang disampaikan oleh Ali Abdurraziq, intelektual muslim kelahiran Mesir. Dalam buku yang terkenal al-Islam wa Ushul al-Hukm (1925) Abdurraziq menyampaikan bahwa khilafah tidak ada sama sekali urasannya dengan perintah agama. Ia hanya kedok untuk meraih kekuasaan semata.
Karya lain yang tak boleh ditinggalkan ialah buku Islam Negara Sekuler Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (2007) yang ditulis oleh intelektul muslim asal Sudan, Abdullahi A. An-Na’im. Dalam buku ini dia menggambarkan bahwa dalam beberapa kasus negara yang menerapkan syariat Islam banyak mengalami kegagalan dan dia juga menegsakan bahwa harus ada rejuvenasi atas konsep syariat Islam lama.
Di Indonesia, kritik atas khilafah juga disampaikan oleh Abdurrahman Wahid dalam buku Ilusi Negara Islam (2009). Menurut Gus Dur, khilafah hanyalah bagian dari strategi politik kelompok ekstrimis untuk menghancurkan negara bangsa (nation state). Kritik serupa juga disampaikan oleh Dr. Ainur Rofiq al-Amin (Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia, 2012). Mantan aktivis HTI ini menyebutkan bahwa gerakan membangun negara Islam merupakan komodifikasi dan politisasi agama dalam proses sosial. Islam hanya berfungsi sebagai alat legitimasi gerakan politik semata.
Kritik atas konsep khilafah inilah yang juga dilakukan oleh Muhmmad Sofi Mubarok. Buku yang dia tulis menambah daftar panjang karya akademik yang mengkritik atas konsep khilafah. Namun menariknya, buku yang berawal dari tesis ini secara khusus membahas kontradiksi dalil-dalil yang dijadikan pembenaran khilafah, baik yang bersumber pada Alquran, Hadits, maupun Ijmak dengan pendekatan maqashid syariah.
Kontradiksi Dalil
Argumentasi utama yang dijadikan legitimasi untuk menegakkan khilafah adalah Surah An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu….” Dari ayat tersebut, para pendukung khilafah menyimpulkan tiga hal utama. Pertama, adanya formulasi pemerintahan Islam, karena ulil amri yang dimaksud adalah pemimpin pemerintahan. Kedua, seorang pemimpin atau kepala negara memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa seputar keagamaan. Ketiga, seorang kepala negara memiliki kekuasaan mutlak dan absolut. (hlm. 74)
Prinsip absolutisme kekuasaan dalam khilafah menurut Mubarok memiliki kontradiksi dengan perintah Alquran yang lain, yakni amar ma’ruf nahi munkar (Surah al Imran Ayat 110). Sebab, apabila pemerintahan berlangsung despotik dan tiranik, ada kewajiban untuk menentang pemerintah tersebut, tapi di sisi lain melawan pemerintah dapat dianggap makar dan melawan wakil Tuhan. Kenapa kontradiksi ini bisa terjadi? Jawabanya menurut Mubarok karena sesungguhnya ulil amri bukan dimaksudkan sebagai ayat yang menunjukkan kepemimpinan negara, melainkan orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam soal penetapan hukum-hukum agama, yaitu para imam mujtahid.
Kontradiksi lain dalam khilafah mengenai adanya syarat seorang pemimpin kepala negara yang berasal dari suku Quraish. Syarat ini diajukan oleh Al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam Al-Sultaniyah. Al-Mawardi mendasarkan syarat ini pada hadits yang bersumber dari Anas bin Malik yang berbunyi “Para pemimpin itu berasal dari Quraish..”
Keharusan seorang kepala negara berasal dari suku Quraish ini menimbulkan pro-dan kontra di kalangan para ulama, termasuk di kalangan ulama pendukung khilafah seperti Taqiyyuddin An Nabhani. Semisal pendapat Imam Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’I yang mengatakan bahwa siapapun berhak ditaati dan diikuti meskipun seorang kepala negara berasal dari kalangan yang memiliki nasab rendah atau berasal dari kalangan budak hitam. (hlm. 95)
Aspek lain yang juga dibahas dalam buku ini adalah teori-teori khilafah dalam kitab-kitab klasik yang dijadikan rujukan pendukung khilafah sarat dengan Arabisme dan fanatisme kesukuan sebagai asas berdirinya khilafah Islam. Itu berarti, teori-teori khilafah sendiri secara tidak langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip universal Islam yang sudah sejak awal diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia, yang meliputi kesataraan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), persaudaraan humanisme (ukhuwah bashariyah), dan sebagainya.
Beberapa kontradiksi di atas adalah bagian kecil dari penelusuran yang dilakukan oleh Mubarok untuk menegaskan bahwa konsep khilafah memiliki kecacatan, kontroversial, dan ditentang oleh intelektual muslim sendiri. Buku ini sekali lagi menegaskan —dari sekian banyak buku yang mengkritik konsep khilafah—bahwa Islam tidak memiliki sistem ketatanegaraan dan pemerintah yang baku, sehingga hak menentukan sistem dan bentuk negara seperti apa tergantung dari kesepakatan bersama yang diputuskan oleh warga negara tersebut. Dengan demikian, perjuangan menegakkan khilafah di Indonesia sebagaimana dilakukan oleh HTI (yang sudah resmi dibubarkan oleh pemerintah Republik Indonesia) harus dilihat sebagai proyek politik, bukan perjuangan agama.
Judul : Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah
Penulis : Muhamad Sofi Mubarok
Penerbit : Pustaka Harakatuna, Jakarta Selatan.
Cetakan : I, Juli 2017.
Tebal : 206 halaman
Peresensi : Romel Masykuri*
*) Romel Masykuri, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya.