Membantah Tuduhan Polisi Tentara Setan

Membantah Tuduhan Polisi Tentara Setan

Membantah Tuduhan Polisi Tentara Setan
Polisi sedang membersihkan sisa-sisa bom di Kampung Melayu, Jakarta.

Kalau kita lihat aksi-aksi terorisme, kita seringkali menemukan polisi diposisikan sebagai lawan utama mereka. Polisi dianggap sebagai penghalang dan pelindung pemerintah negara – seperti Indonesia – yang tidak berlandaskan syariat Islam menurut mereka para kelompok terorisme. Polisi diklaim sebagai thaghut, sosok yang diasosiasikan oleh mereka sebagai setan yang melindungi pemerintahan yang tidak bersyariat. Namun, polisi justru melindungi pemerintah dan menjadi garda terdepan untuk menanggulangi dan mencegah aksi-aksi yang mereka lakukan.

Kita tentu masih ingat peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan seorang pelaku teror dengan meledakkan dirinya sendiri pada sebuah shalat jumat di Masjid Polresta Cirebon, yang mengakibatkan beberapa polisi luka-luka. Kasus lain contohnya pengeboman pos polisi di Thamrin, hingga peledakan bom panci dekat pos polisi di daerah Jakarta Timur, adalah beberapa bukti kalau polisi adalah pihak yang dijadikan sasaran utama. Yang terbaru adalah peristiwa di polres Banyumas. Ketika pelaku teror ditangkap, ia tidak berbicara apapun kecuali mengatakan “thaghut, thaghut” kepada para penyidik.

Para pelaku teror hanyalah sebagian kecil sekali dari saudara kita yang ternyata beragama muslim. Mereka adalah korban indoktrinasi ideologi yang keliru sehingga berkesimpulan bahwa mereka sedang melakukan peperangan melawan pemerintahan yang dianggap meyakini peraturan lain yang lebih baik dari syariat Islam. Hal-hal seperti ini misalnya tercantum dalam buku Muqarrar fi al-Tauhid yang ditulis oleh kelompok ISIS.

Dalil yang sering digunakan dalam melakukan tindak teror ini adalah surah al-Nisa’: 76 dengan tuduhan kalau polisi adalah awliya’ al-shaithon,

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا 

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut, maka perangilah para wali-wali thaghut. Sesungguhnya, tipu daya setan itu sangatlah lemah.”

Ayat ini hanyalah satu dari sekian ayat yang ditafsirkan sekehendak mereka sendiri demi menjustifikasi tindakan menyerang orang lain, bahkan sesama muslim sendiri. Salah satu ciri khas pemahaman agama yang ditampilkan oleh kelompok seperti ini adalah mengutip beberapa ayat Quran untuk kepentingan atau tujuan mereka sendiri saja. Hampir tidak ditemukan mereka membicarakan perbedaan pendapat makna ayat apalagi pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan dan kemanusiaan dalam menyebutkan sebuah ayat.

Beberapa mufasir mulai dari Ibnu Katsir, al-Razi, hingga al-Qasimi berpendapat bahwa ayat ini menegaskan bahwa orang-orang beriman itu berjihad karena tujuannya adalah menolong agama Allah dan mencari ridha-Nya. Sementara orang yang tidak beriman berperang karena tujuan untuk membela setan. Jelas, setan lebih lemah dari Allah Swt. karena merupakan salah satu ciptaan-Nya.

Karena itulah, Allah mendorong kaum beriman untuk memperbaiki perilaku yang tidak benar, kalau kekeliruan sebenarnya tidak memiliki pijakan yang kuat. Memang tidak bisa dipungkiri, ayat itu memiliki pesan memotivasi agar orang muslim tidak lagi ragu dalam berjihad. Maka, digunakanlah ayat ini oleh mereka yang ingin membenarkan perilaku terorisme, meski mereka pada akhirnya menyerang sesama muslim.

Saya perlu menyampaikan bahwa dalam modul Muqarrar fi al-Tauhid tertulis tulisan al-mu’askar (kurang lebih diartikan: dipersenjatai/dijadikan tentara). Apa yang bisa saya simpulkan awal dari menyebutkan tulisan itu ? itu menunjukkan bahwa mereka memposisikan diri sebagai tentara yang sedang melawan negara tertentu yang dianggap musuh, dalam hal ini Indonesia masuk di dalamnya. Jadi, Indonesia dianggap sebagai medan perang, dar al-harb, karena dianggap hukum-hukum nasional mengandung simbol-simbol kekafiran.

Dari sanalah sebenarnya segalanya dimulai. Mengatakan polisi sebagai thaghut adalah implikasi jauh dari pandangan yang mengatakan bahwa orang yang menggunakan hukum nasional dianggap meyakini adanya hukum yang lebih baik dari apa yang disyariatkan oleh Allah. Mereka tidak mempertanyakan, menganalisa, apalagi menghitung dengan detail berapa banyak hukum Allah yang sudah berjalan di Indonesia. Yang mereka yakini – meski sangat keliru – adalah orang muslim di Indonesia masih tergolong kafir karena belum menjalankan syariat Islam secara kaffah. Dalil yang digunakan adalah al-Baqarah: 208,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 

Wahai orang-orang yang beriman, masuknya kalian kedalam agama Islam seluruhnya dan jalan kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesunggunya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.

Sekarang mari kita lihat bersama, hukum Islam apa yang tidak diterapkan di Indonesia. Saya telah menyebutkan sebagian dalam tulisan “PNS bukan Thaghut”. Tapi yang paling jelas adalah tidak pernah ada pelarangan ibadah bagi umat muslim sekalipun di Indonesia. Hal ini rupanya sesuai dengan pendapat yang mengatakan kalau kondisi seperti menunjukkan sebuah negara adalah dar al-Islam. Imam al-Syaukani mengatakan,

ودار الإسلام ما ظهرت فيه الشهادتان والصلاة , ولم تظهر فيها خصلة كفرية

“Dan wilayah islam itu maksudnya selama di dalamnya terdapat dua kalimat syahadat dan shalat, serta tidak terdapat di dalamnya perkara kekafiran.”

Di dalam kitab Naylu al-Awthar, al-Syaukani mengatakan,

وإلحاق دار الإسلام بدار الكفر بمجرد وقوع المعاصي فيها على وجه الظهور ليس بمناسب لعلم الرواية ولا لعلم الدراية .

“Merubah identitas sebuah wilayah Islam menjadi wilayah kafir hanya karena terjadinya berbagai macam maksiat di dalamnya, tidak sesuai dengan riwayat-riwayat dan pemahamannya.”

Bahkan al-Dasuqi, ulama dari mazhab Malikiyah berpendapat dalam kitabnya Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Mukhtashar Khalill ebih leluasa lagi dengan mengatakan,

لأن بلاد الإسلام لاتصير دار حرب بأخذ الكفار لها بالقهر ما دامت شعائر الإسلام قائمة فيها.وقال : لأن بلاد الإسلام لا تصير دار حرب بمجرد استيلائهم عليها بل حتى تنقطع إقامة شعائر الإسلام عنها , وأما مادامت شعائر الإسلام أو غالبها قائمة فلا تصير دار حرب .

“Karena wilayah Islam tidak semerta-merta berubah jadi wilayah Kafir karena diambil paksa oleh orang-orang kafir, selama syiar-syiar Islam masih tetap ada didalamnya.” …. Al-Dasuqi mengatakan: Karena wilayah Islam tidak semerta menjadi wilayah perang hanya karena penguasaan orang kafir terhadap wilayah tersebut, bahkan sampai hilangnya kemampuan mendirikan syiar-syiar Islam pun tidak membuat wilayah itu menjadi Dar al-Harb. Dan, selama syiar Islam atau mayoritasnya masih ada, tidak bisa menjadi dar al-Harb.”

Pendapat-pendapat ini kiranya dapat menyadarkan kita semua bahwa sebuah ayat tidak bisa digunakan secara serampangan untuk menilai tujuan tertentu. Kedua, ada sekian ayat yang tidak digunakan kecuali dalam kondisi perang dan ada juga sekian ayat yang digunakan untuk kondisi damai. Ketiga, klaim bahwa sebuah negara disebut dar al-kufr atau dar al-harb adalah istilah yang tidak ada teks yang tegas (sharih) dari Quran, tapi merupakan hasil ijtihad.

Dan kita telah membuktikan bahwa sejak dahulu ulama berbeda pendapat tentang apa indikator-indikator yang menunjukkan sebuah wilayah disebut dar al-islam atau dar al-harb. Terakhir, jika anda merasa ada syariat Islam yang tidak diwujudkan di negara seperti Indonesia, anda tidak boleh membuat kerusakan yang justru lebih besar dibandingkan kemaslahatan mewujudkan syariat itu sendiri. Wallahu A’lam