Dewasa ini, banyak berdiri masjid-masjid, baik di perkotaan, kota kecamatan, pedesaan, bahkan sampai taraf pedusunan. Masjid yang dimaksud oleh penulis di sini adalah masjid tempat melaksanakan shalat Jum’ah. Karakteristik dari masjid ini adalah keberadaan minbar di dalamnya sebagai tempat melaksanakan khutbah. Selain itu, masjid yang dimaksud biasanya dipergunakan untuk jamaah shalat lima waktu dan sah untuk melaksanakan i’tikaf.
Hukum membangun masjid hakikatnya adalah fardlu kifayah. Hukum ini sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, dengan merujuk pada kitab al-Kasyafu al-Qina’, Juz 2, halaman 364.
يَجِبُ بِنَاءُ الْمَسَاجِدِ فِي الأَْمْصَارِ وَالْقُرَى وَالْمَحَال – جَمْعُ مَحَلَّةٍ – وَنَحْوِهَا حَسَبَ الْحَاجَةِ وَهُوَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ
Artinya:
“Wajib hukumnya mendirikan bangunan masjid di tiap-tiap perkotaan, pedesaan atau tempat-tempat lain yang semisal, menurut kadar kebutuhan, yaitu menggugurkan hukum fardlu kifayah.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah: 23927)
Ukuran dari fardhu kifayah ini ada beberapa macam. Pertama, fardhu kifayah bila di desa tersebut belum memiliki satu masjid pun. Dengan demikian, umat Islam sudah masuk kadar kebutuhan akan masjid (hasba al-hajah). Dalam kondisi seperti ini, pihak ulil amri dan para pemuka agama wajib mengusahakan secara bersama-sama sampai terbentuknya wujud fisik berupa bangunan masjid. Jika tidak mengusahakan, maka seluruh penduduk desa, berdosa seluruhnya, khususnya para ahli agama dan sekaligus ulil amri desa tersebut.
Pendirian masjid di desa ini, secara tidak langsung menandakan bahwa di desa tersebut, ada tanah yang mendapatkan berkah dari Allah subhânahu wa ta’ala. Penduduk desa ibarat mencari keberkahan dengan keberadaan tanah tersebut.
وَالْمَسَاجِدُ هِيَ أَحَبُّ الْبِقَاعِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الأَْرْضِ وَهِيَ بُيُوتُهُ الَّتِي يُوَحَّدُ فِيهَا وَيُعْبَدُ، يَقُول سُبْحَانَهُ: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
Artinya:
“Masjid adalah sebaik-baik bangunan/tempat di bumi bagi Allah Ta’ala. Ia merupakan rumah Allah yang didalamnya dipergunakan mentauhidkan Allah dan menyembah-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Di rumah-rumah Allah itu, Allah memerintahkan agar diserukan Nama-Nya dan berdzikir kepada-Nya.” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah: 23927)
Itulah sebabnya, duduk diam di tanah yang berkah ini, bernilai ibadah, apabila diniatkan dengan ikhlas dan semata karena Allah dan Rasul-Nya. Posisi duduk diam tersebut dinamakan dengan istilah i’tikaf.
Kedua, sesuai dengan bunyi ayat yang tertuang di dalam ibarat Mausu’ah al Fiqhiyyah di atas, maka ukuran gugurnya fardlu kifayah adalah jika nama Allah sudah diserukan dan dijadikan teladan dalam berzikir. Kita sering membahasakannya sebagai syi’ar. Arti, makna dan maksud syi’ar itu adalah berkumandangnya nama Allah subhanahu wa ta’ala di seantero desa tersebut, sehingga desa tersebut dikenal sebagai yang mayoritas berpenduduk muslim. Dengan memandang hal ini, maka Ibnu Katsir (w. 774 H) memberikan penafsiran terhadao Firman Allah di atas, sebagai berikut:
أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِتَعَاهُدِهَا وَتَطْهِيرِهَا مِنَ الدَّنَسِ وَاللَّغْوِ وَالأَْقْوَال وَالأَْفْعَال الَّتِي لاَ تَلِيقُ فِيهَا
Artinya, “Allah SWT memerintahkan agar memperkuat posisi masjid itu, menjaga kesuciannya baik dari kotoran atau dari berkata-kata yang tiada guna (al-laghwi), atau perkataan lain, serta perbuatan lain yang tidak patut dilakukan di masjid.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, halaman 62)
Maksud dari Ibn Katsir (w. 774 H) ini adalah seolah memerintahkan agar menjaga kewibawaannya. Kewibawaan masjid mencakup dua hal, yaitu sebagai rumah Allah dan sebagai bumi yang berkah. Keberkahan tidak memiliki kepatutan dengan senda gurau, atau tindakan-tindakan tanpa faedah, atau bahkan ucapan dan perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian dan mafsadah.
Ibnu Abbas memberikan penafsiran yang senada dengan mengatakan:
نَهَى اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَنِ اللَّغْوِ فِيهَا
Artinya:
“Allah subhanahu wa ta’ala melarang hamba-Nya dari bersenda gurau di dalam masjid.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, halaman 62)
Qatadah memberikan penafsiran yang lebih khusus lagi, yaitu:
هِيَ هَذِهِ الْمَسَاجِدُ أَمَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِبِنَائِهَا وَعِمَارَتِهَا وَرَفْعِهَا وَتَطْهِيرِهَا
Artinya: “Inilah masjid yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan agar membangunnya, meramaikannya, meluhurkannya dan menjaga kesuciannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, halaman 62)
Penafsiran dari Qatadah ini memberikan tambahan penegasan terhadap penafsiran sebelumnya oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir di atas. Tiada lain dari maqshudu al-a’dham dari pendapat-pendapat mereka ini adalah menjaga kewibawaan masjid, dengan mengisinya dan menjaganya dari perbuatan yang sia-sia, yaitu perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan syi’ar.