Siapa yang tidak mengenal serial Upin-Ipin asal negeri jiran Malaysia? Serial yang berkisah tentang dua anak kembar bernama Upin dan Ipin yang tinggal di Kampong Durian Runtuh. Keduanya menetap di sebuah rumah yang juga dihuni Opah (nenek) dan kakak sulung mereka, Kak Ros. Serial tersebut mulai tayang pada 2017 silam sebagai acara Ramadan, namun lama-lama dilanjutkan sebagai acara harian.
Serial yang juga disiarkan di Indonesia ini menjadi favorit semua kalangan usia, tak terkecuali saya. Pasalnya, banyak sekali tingkah jenaka yang ditampilkan baik oleh Upin atau Ipin. Didukung pula dengan ulah kocak para pemain lainnya. Termasuk kawan-kawan Upin-Ipin.
Hingga pada beberapa hari lalu jagad Twitter dihebohkan dengan sebuah unggahan yang menampilkan cuplikan adegan serial Upin-Ipin yang diputar salah satu televisi swasta kita. Dalam tayangan tersebut, Upin-Ipin sedang berkumpul bersama teman-temannya di beranda rumah. Lantas salah satu temannya, Ismail berkelakar bahwa ia tidak bisa ikut bermain karena harus membantu sang ibu dalam menyambut hari raya Idul Fitri.
Dari percakapan tersebut diketahui bahwa Mail harus membakar lemang dan menganyam selongsong ketupat. Lalu Ipin menimpali dan menyebut Mail sebagai anak yang saleh. Mendapatkan pujian seperti itu, Mail meresponsnya seperti ini:
“Harus, karena surga berada di telapak kaki ibu.”
Upin dan Ipin saling berpandangan. Upin pun bertanya balik, “Bagaimana kalau sudah tidak punya ibu?”
Tanpa basa-basi, seorang kawan mereka bernama Fizi langsung berseloroh: “Jika tidak punya ibu, maka tidak ada surga.”
Jawaban Fizi membuat Upin dan Ipin tak bisa menutupi kesedihan. Pasalnya, ibu mereka telah meninggal semasa mereka kecil. Jika demikian, pupus sudah harapan Upin dan Ipin untuk bisa menikmati indahnya hidup di surga.
Potongan adegan tersebut lantas viral di media sosial dan menuai banyak reaksi dari para netizen. Ada yang menanggapinya secara serius, ngotot, atau bahkan bercanda. Saya sendiri kemudian tersentil dengan celetukan polos si Fizi. Bagi sebagian orang, apa yang dikatakan Fizi tentu bisa menyinggung, apalagi jika kondisinya sama seperti Upin dan Ipin yang menjadi anak yatim piatu.
Sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya memang sempat berpikiran seperti Fizi. Hanya saja belum sampai terlontar. Saya memilih untuk batin dan pendam sendiri. Ya, dulu saya memang menelan mentah-mentah kalimat: surga di bawah telapak kaki ibu. Sampai-sampai, saya rela menyisihkan uang saku hanya untuk membelikan krim pelembab kaki. Saya tak ingin kulit telapak kaki mama saya pecah-pecah ataupun bersisik. Saya rajin mengingatkan mama untuk rutin mengoleskan krim pelembab tersebut. Karena saya ingin memastikan, surga saya aman dan tetap terjaga.
Tak hanya membelikan mama krim pelembab kaki, saya juga gemar mengecek apakah sepatu dan sandal mama masih bagus. Saya lihat bagian sol luar dan dalamnya, jangan sampai sudah tipis dan membuat tidak nyaman saat dikenakan mama. Seluruh bagian luar sepatu dan sandalnya pun saya periksa. Apakah ada bagian yang terkelupas atau membahayakan? Jangan sampai, langkah mama jadi terhambat karena perkara sepatu. Lalu ia bersedih. Pokoknya, saya kecil selalu memastikan, bagian kaki mama terlindungi.
Jika diingat-ingat, kenangan itu membuat saya terpingkal-pingkal. Keluguan anak kecil yang begitu mengkhawatirkan tidak bisa menikmati surga yang indah. Seiring bertambahnya usia, saya memahami makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Bukan dimaknai secara mentah begitu saja.
Kalimat tersebut jika diresapi akan mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa sebagai seorang anak, kita tidak boleh membangkang kepada ibu. Apa yang diperintahkan ibu, selama itu baik, maka harus kita patuhi. Apalagi, ibu berperan besar bagi kehidupan kita. Ia telah mengandung kita selama sembilan bulan. Memastikan janin yang dikandungnya tetap sehat sembari juga menjaga kesehatannya sendiri. Karena aktivitas ibu tidak berhenti begitu saja saat ia hamil. Ada banyak ibu yang harus tetap bekerja ataupun menyelesaikan tugas domestik selama ia hamil. Belum lagi proses persalinan yang merupakan pertaruhan nyawa. Hidup dan matinya rela ia gadaikan untuk mengantarkan seorang manusia baru ke muka bumi.
Kemudian fase perjuangan membesarkan seorang anak juga tidak mudah. Apalagi semua itu tidak ada sekolahnya. Ibu benar-benar mempelajarinya secara otodidak. Termasuk ketika ia tiba-tiba diserang sindrom kecanggungan saat awal-awal menjadi ibu baru. Harus begadang dan mengalami perubahan bentuk tubuh yang drastis selepas melahirkan dan menyusui.
Jadi, mungkin itulah alasan mengapa terdapat perumpaan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Kita sebagai anak tidak boleh melukai hati ibu yang telah berkorban banyak untuk anaknya. Tapi seiring perjalanan waktu, perdebatan pasti mewarnai hubungan antara ibu dan anak. Jika memang ada perdebatan, upayakan jalan perdamaian.
Sejatinya seorang anak juga berhak memilih jalannya sendiri. Termasuk jika itu bertentangan dengan ibunya. Karena pada akhirnya, yang menjalani hidup itu adalah sang anak. Sepatutnya, orangtua merestui selama langkah tersebut baik.
Kemudian saya teringat pula pesan mama, bahwa jangan mentang-mentang memburu surga di telapak kaki ibu, saya lalu lupa berbuat baik kepada orang lain. Namun tak lantas ketika kita sudah berbuat baik ke orang lain, kita menghitung-hitung pahala sendiri. Mengharap lekas dapat imbalan setimpal, misalnya langsung mendapat segepok kebaikan beruntun. Prinsip kerja kebaikan tidak seperti itu. Biarlah menjadi keajaiban dan peran magis dari Sang Pencipta.
Kemudian, buat yang bernasib sama seperti Upin dan Ipin, hidup tanpa keberadaan ibu di sisinya, yakinlah bahwa tetap ada surga untuk segala kebaikan yang kalian lakukan. Toh kebaikan dan amal seorang anak juga menjadi amal tak terputus bagi orangtua. Untuk itulah, tak usah ragu dan khawatir untuk berbuat baik.