Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “merdeka” diartikan dengan bebas dari penghambaan dan penjajahan. Yakni, tidak terikat dan bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Pengertian yang diungkapkan KBBI tersebut merupakan makna umum. Tentu, yang dimaksudkan merdeka di sini adalah bukan sebagai kebebasan melakukan segalanya dengan sekehendak hati.
Bahkan, saat makna tersebut jika dikaitkan dengan islam, maka sangat dimungkinkan terjadi perluasan medan semantik maknanya. Sangat berkemungkinan –dalam sudut pandang islam-, kemerdekaan bisa dimaknai sebagai kemerdekaan ruhani, selain jasmani karena Islam selalu memandang manusia dari dua sisi, sisi jasmani dan ruhani. Oleh karenanya, bisa jadi seseorang yang terkungkung dalam penjara dunia merupakan seseorang yang merdeka, dan sebaliknya seseorang yang bebas belum tentu merdeka (ruhaninya). Berkemungkinan besar, dirinya masih menjadi budak hawa nafsunya, ego dirinya. Ruhaninya masih dikuasai oleh beragam penyakit jiwa seperti: hasud, dengki, panjang angan, iri hati dan sebagainya.
Manusia, berdasarkan tabiat (fitrah)-nya, merupakan makhluk yang merdeka. Dalil yang menunjukan hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran, khususnya saat ruh manusia mengikat perjanjian primordial yang suci dengan Allah swt.
وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَ لَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى شَهِدْنا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذا غافِلينَ (172)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. al-A’rāf/ 7: 172).
Beberapa ahli hikmah menuturkan bahwa awalnya manusia itu suci dalam alam arwah. Akan tetapi, saat ia diturunkan ke dalam janin seorang ibu maka secara pelan-pelan dirinya mulai terikat dengan beberapa kecenderungan duniawi. Hal semacam ini berjalan terus hingga beragam syahwat dan tipu daya iblis menjadi bagian dirinya. Saat ia lupa dengan janji suci (primordial) dengan Allah swt dan mengikuti syahwatnya maka ia telah sesat jalan. Sedangkan, saat ia ingat dan mengikuti hati nurani yang paling fitri maka ia selamat dalam perjalanan.
Jelas, fungsi utama dari agama islam adalah mengobati jiwa (ruhani) manusia dari beberapa penyakit jiwa tersebut sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Isrā/ 17: 82.
وَ نُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ ما هُوَ شِفاءٌ وَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنينَ وَ لا يَزيدُ الظَّالِمينَ إِلاَّ خَساراً (82)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Q.S. al-Isrā/ 17: 82)
Yang menjadi prioritas dalam islam adalah persoalan ruhani karena ruh lebih fundamen dari jasmani. Persoalan jasmani, sekiranya kita amati secara mendalam, hakikatnya hanyalah sekedar persoalan turunan (secondary) semata. Seseorang yang telah selesai persoalan ruhani, biasanya ia akan mengerti beban dan tanggungjawab yang harus dipikulnya. Ia menjadi lebih disiplin terhadap diri, dan lebih siap melangkah menuju perubahan-perubahan besar dalam kebaikan. Bahkan, sebenarnya banyak persoalan jasmani dan sosial-kemasyarakatan dapat diselesaikan lebih efektif dan cepat setelah perbaikan diri dan ruhani. Berdasar pada prinsip bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu. Jika individu-individu yang terikat dalam kumpulan tersebut baik maka secara otomatis menjadi baiklah kelompok tersebut.
Sebaliknya, seseorang yang masih diperbudak oleh beragam penyakit jiwa dan tidak berusaha keras mengobatinya maka semakin lama penyakit tersebut semakin mengerak dan sukar dihilangkan. Jiwanya menjadi malas untuk menaati tuntunan agama, serta malas untuk berbuat baik kepada sesama. Seandainya, penyakit semacam ini dibiarkan hingga akhir hayatnya maka ia menderita, mendapatkan siksa kubur. Siksa kubur merupakan forma-forma amal diri kita. Bisa dipastikan, biang kerok perusak di negeri ini (seperti: koruptor, pengedar narkoba, mucikari prostisusi, dan beragam persoalan sosial kemasyarakatan lainnya) adalah seseorang yang belum merdeka diri dan ruhaninya. Mungkin, hal semacam inilah dulu yang dikhawatirkan malaikat saat Allah swt hendak menjadikan Adam sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah/ 2: 30).
Bagi penulis, memperingati hari kemerdekaan berarti momen untuk muḥāsabah diri, mengoreksi segala kesalahan dan mengupas segala cacat dalam diri kita. Selanjutnya, memikirkan dan merencanakan apa saja yang akan kita sumbangkan kepada umat manusia, khususnya bangsa Indonesia. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Sebaik-baik dari kamu (manusia) adalah yang paling berguna bagi manusia (lainnya)”. Sangat tidak mungkin seseorang bisa memberikan kebaikan bagi banyak orang jika ia belum selesai pada dirinya sendiri, belum merdeka pada diri dan ruhaninya.
Jadi, memperingati hari kemerdekaan tidak semata berfora ria, akan tetapi memiliki implikasi yang sangat mendalam pada diri, berani untuk memantapkan diri pada tindakan-tindakan nyata. Dirinya menjadi agen perubahan sosial (agent of change). Jiwa merdeka adalah jiwa yang tenang dan siap meraup ridho Tuhan-Nya.
يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلي في عِبادي (29) وَ ادْخُلي جَنَّتي (30)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr/ 89: 27-30).
Kerwanto, Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta.