Abu al-Dardā’, seorang sahabat Nabi Muhammad saw. berkata:
لَا تَفْقَهُ كُلَّ الْفِقْهِ حَتَّى تَرَى لِلْقُرْآنِ وُجُوهًا كَثِيرَةً
“Kau belum benar-benar paham sampai kau lihat banyak wajah Al-Qur’an.”
Kalau begitu, lalu wajah mana yang mesti diambil? Inilah masalahnya. Pertama mesti diingat bahwa orang mesti berhati-hati dalam memahami kitab ini. Ketika berhadapan dengan kata kunci, harus dilihat bagaimana kata itu dipakai di dalam keseluruhan kitab ini dan variasi konteksnya. Kalau suatu kata hanya sekali ditemukan di dalamnya, rujukan kepada penggunaan kata itu di dalam masa hidup Rasulullah. Barulah kemudian disimpulkan dengan hati-hati pengertiannya.
Kedua, harus diingat bahwa ada jarak yang panjang antara pembaca dan Al-Qur’an. Setidaknya dapat disebutkan dua jarak: jarak waktu dan jarak tempat. Jarak waktu berarti bahwa kitab suci ini diturunkan pada zaman (abad ketujuh) yang sangat jauh dari zaman hidup pembacanya di masa kini.
Jarak tempat berarti bahwa Al-Qur’an turun di sebuah tempat, yakni jazirah Arab, yang sangat berbeda dengan tempat pembaca di sini. Jarak waktu dan tempat ini berakibat pada perbedaan bahasa, kosa kata, cara berpikir, pengungkapan ide dan seterusnya.
Al-Qur’an dikatakan sesuai untuk segala waktu dan tempat (Salih likulli zaman wal makan). Ya, tetapi ini tidak menafikan kenyataan bahwa kitab ini menggunakan bahasa Arab yang berlaku pada abad ketujuh Masehi. Banyak dari kosakatanya yang tidak lagi dipakai dalam bahasa Arab masa kini. Demikian pula ungkapan ungkapannya. Misalnya, kata sayyārah yang ditemukan dalam surat Yusuf, pengertiannya bukan mobil.
(قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ [يوسف: 10
Kata tharīqah dalam surat al-Jinn juga tidak dipakai dengan pengertian tarekat. Hal ini semestinya membuat pembaca lebih berhati-hati lagi di dalam memahami Al-Qur’an sesuai untuk segala waktu dan tempat berlaku untuk pesan dasarnya, tetapi untuk menangkap pesan dasar itu diperlukan usaha cermat yang dibarengi kerendahan hati bahwa yang tahu tentang pesan sebenar-benarnya hanyalah Allah.
Manusia hanya bisa berusaha untuk mendekatinya dengan menggunakan perangkat dan bahan yang tersedia, yakni nalar, pengetahuan dan data-data baik kebahasaan maupun kesejarahan.
Ketiga, semestinya disadari bahwa kebanyakan ayat berkaitan satu sama lain, dan karenanya tidak boleh dipisahkan satu sama lain dalam memahaminya.
Contoh ekstrimnya, Q. S. al-Maun ayat 4:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون 4]
“Maka celakalah orang-orang yang [menjalankan] salat.”
Ayat tersebut tidak boleh dipahami secara terpisah dari ayat-ayat berikutnya, yakni ayat 5 dan 6:
{الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون} [الماعون: 5 – 7]
“yang lalai tentang salat mereka, yang [suka] pamer dan menolak memberikan bantuan”.
Ayat yang sekarang sedang dibicarakan dalam beberapa WAG, Nuh: 26-27 dengan terjemahan sangat bebas,
{وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا} [نوح: 26، 27]
“Janganlah Engkau biar 1 orang kafir tinggal di bumi. Jika dibiarkan, mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan melahirkan anak-anak sesat kafir,”
juga tidak dapat dipahami secara terpisah dengan relasi Nabi Nuh dengan kaumnya yang menolak dakwahnya dalam waktu yang cukup lama, sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Apalagi dalam terjemahan itu “kata Nuh” tidak diterjemahkan.
Dari itu semua mestilah dikatakan, pembaca harus hati-hati dalam memahami ayat atau bagian ayat. Mesti dipertanyakan apakah penggalan bacaan yang dibacanya terkait dengan bacaan lain di depan atau di belakangnya atau tidak. Kalau terkait, janganlah dipahami secara terpisah.
Wallahu A’lam.