Bagaimanakah masa depan peradaban umat manusia seandainya Wahabisme menjadi paham keagamaan mainstream umat Islam menggantikan Ahlussunnah ala Asyariyah dan Maturidiyah? Dalam konteks Indonesia, bagaimana nasib keberagaman kita jika paham Islam Wahhabi yang anti keragaman ini mencengkeram setiap sendi kehidupan kita?
Buku Sejarah Lengkap Wahhabi karya Nur Khalik Ridwan, saya kira, hadir untuk menjawab dua pertanyaan itu. Memahami Wahabisme menjadi penting sebagai pintu awal langkah antisipasi, counter wacana, dan bertanding memperebutkan otoritas keagamaan di negeri ini. Ya, singkat kata, melawan Wahabisme yang non-keragaman tidak lain adalah ikhtiar dalam merawat kebinekaan dan keberlangsungan peradaban.
Muhammad bin Abdul Wahhab di Tengah Jaringan Ulama Global
Salah satu keyword dalam ikhtiar memahami Wahhabisme adalah dengan melihat lebih dekat siapa Muhammad bin Abdul Wahhab, bagaimana kepribadian, dan ajaran-ajaran yang dibawanya. Bagian pertama buku setebal 833 halaman ini, yang terdiri dari enam bab, secara ekstensif menelaah sosok pendiri dan ajaran Wahabisme.
Sebagaimana yang berkembang di belahan dunia Islam lainnya, abad ke- 17 dan 18 M menyaksikan terjadinya semangat tajdid dan islah (pembaruan dan reformasi). Dimulainya era kolonialisme bangsa Barat semakin menyadarkan umat Islam tentang kemunduran peradabannya. Kemunduran ini, bagi sebagian kalangan, disebabkan karena umat Islam telah jauh dari nilai-nilai Islam yang sejati. Ajaran Islam telah dipenuhi dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Seruan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan meneladani Salaf as-Saleh bergema di berbagai belahan dunia Islam yang diawali oleh Ibnu Taimiyah, seorang teolog Muslim bermadzhab Hanbali. Namun, di tangan Muhammad bin Abdul Wahab, bandul dan pendulum gerakan pembaruan ini bergeser ke arah yang lebih keras di antara seluruh jaringan ulama (lihat juga, Azra: 2004, 159).
Simpul-simpul teologi kekerasan ini, bermuara terutama pada ideologisasi ajaran tauhid. Pandangan tauhid ini (yang terdiri dari tauhid rububiyah, uluhiyah, asma wa sifat) menurunkan doktrin bid’ah, takfiri, toghut, dan jihad melawan umat Islam yang tidak selaras dengan ajaran tauhid versi Wahhabi. Meminjam istilah Bassam Tibi (2016), pembaruan Islam ala Wahhabi merupakan suatu penciptaan tradisi yang baru. Meskipun mengaku melanjutkan perjuangan Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, dan sering mengutip keduanya, para ulama Hanbali tidak memasukkan Muhammad ibn Abdul Wahab sebagai bagian dari ulama madzhab ini (hlm. 465). Para sarjana yang meneliti karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab juga meragukan otoritas keilmuannya sebagaimana dikatakan Hamid Algar mengutip Ismail Raji Al-Faruqi: buku itu (karya-karya Muhammad bin Abdul Wahhab) tampak seperti catatan-catatan seorang pelajar (hlm. 61).
Kolaborasi
Negara Saudi Arabia dibangun di atas serangkaian penaklukan militer dan kolaborasi antara dinasti Al-Saud dengan keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pemegang otoritas agama. Persekutuan politik dan agama ini harus dibayar dengan ongkos yang mahal dengan menumbalkan keberagaman, darah dan nyawa ribuan umat Islam, dan hilangnya situs-situs peradaban. Kolaborasi ini, melahirkan otoritarianisme, penyeragaman, dan, pada batas tertentu, kooptasi terhadap agama agar menghamba kepada penguasa.
Sebelum Wahhabisme menguasai hampir seluruh jazirah Arabia pada abad ke-20, khususnya Haramayn, kota Mekkah dan Madinah dikenal sebagai pusat terpenting gerakan keilmuan Islam dengan jaringan ulamanya. Dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi sebagai pusat, beserta madrasah dan ribath yang berada di sekitarnya, Haramayn tidak hanya sebagai tempat transmisi ilmu, tetapi juga reproduksi ulama. Mengutip Azyumardi Azra (2004), kedua kota suci tersebut menjadi panci pelebur (melting pot) berbagai tradisi “kecil” Islam seperti keberagaman tarekat, madzhab, filsuf, dalam membentuk satu “sintesis baru” yang sangat condong pada “tradisi besar”. Guru-murid yang dibesarkan di haramayn, lanjut Azra, memiliki pandangan yang lebih kosmopolit dibanding dengan mereka yang belajar di tempat lainnya. Dalam suasana seperti itulah ulama-ulama legendaris Nusantara seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Termasi, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari digembleng dengan pendidikan keulamaan.
Pesona Hijaz sebagai pusat paling istimewa dalam keilmuan Islam ini perlahan memudar seiring dengan penguasaan Wahhabisme di kawasan ini. Pemaksaan dan penyeragaman teologi yang dilakukan oleh gerakan ini, tidak hanya menghilangkan kosmopolitanisme Islam, tetapi juga menjadi ancaman peradaban dan multikulturalisme. Kolaborasi pertama antara Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab (1744-1818), dengan slogan mendakwahkan tauhid dan memerangi bid’ah dan syirik, melakukan sejumlah penaklukan ke daerah lain seperti Riyadh, Wasyam, Shubah-Sudair, Karbala, Aman, dan Bahrain, termasuk dua kota suci Mekkah dan Madinah sebelum ditundukkan oleh Turki Usmani di bawah komando Ibrahim Pasha, putra gubernur Mesir Mehmed Pasha pada 1818. Ribuan nyawa melayang, situs-situs peradaban, termasuk kubah-kubah di makam Imam Al-Husain, masjid, dan universitas di Karbala diratakan dengan tanah (hlm. 320).
Pada 1915 gerakan ini membentuk pasukan Ikhwan, berbasis pada orang-orang badui Arab di Nejd, yang dipersenjatai dengan bantuan dari Inggris. Mereka pun semakin brutal.
Pasukan Ikhwan kemudian menjarah, membunuh, dan meluluhlantakkan kawasan Hijaz. Di Thaif, nyawa ratusan Muslim melayang, pertokoan dijarah, pemukiman penduduk menjadi rata dengan tanah (hlm. 437). Di Makkah, makam Khadijjah, dihancurkan dan petilasan rumahnya disulap menjadi toilet umum. Di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi ditutup agar tidak bisa dibaca. Seperti dikatakan Goenawan Muhammad (2012), saat ini berziarah ke kedua kota suci tak ubahnya piknik ke kemewahan, di mana kita tidak bisa menelusuri jejak-jejak masa lalu peninggalan Nabi Agung kita Muhammad SAW sebagai medium pembelajaran dan mengambil kebijaksanaan. Di atas darah sesama Muslim dan hancurnya jejak peradaban itulah Saudi Arabia didirikan, mengantaarkan Abdul Aziz sebagai raja pertama negeri itu pada 1932.
Dengan melihat rekam jejak itu, apakah Wahhabisme sesuai dengan peradaban manusia yang menjunjung humanisme dan keberagaman? Dalam konteks Indonesia, apakah Wahabisme sesuai dengan kebhinekaan?
Kooptasi
Pada perkembangan berikutnya, perpecahan pun terjadi di tubuh Wahhabisme. Tentara Ikhwan, pasukan yang berjasa dalam berdirinya Saudi Arabia, berbalik arah melawan pemerintah. Mereka berpandangan bahwa penguasa Arab Saudi telah menyimpang dari ajaran Islam (versi Wahabi) dan terlalu bergantung kepada Barat. Raja Abdul Aziz bin Saud pun berhasil menumpas gerakan ini pada 1930.
Pada 1979 peristiwa pemberontakan kembali terjadi. Masjid al-Haram berhasil dikuasai oleh Juhaiman Al-Otaibi yang masih memiliki hubungan dengan pasukan Ikhwan. Peristiwa lain yang juga perlu dicatat yaitu pemberontakan Pangeran Khalid bin Musaid yang tidak setuju terhadap dibukanya sekolah perempuan di Arab Saudi karena dianggap sebagai sumber kejahatan (hlm. 536-548).
Beberapa peristiwa itu, menurut Nur Khalik Ridwan, merupakan bentuk pemurnian yang gagal dan krisis dalam pendefinisian bid’ah. Untuk menjaga marwah kekuasaannya, raja Saudi lalu menggandeng para ulama, terutama Hai’at Kibar al-Ulama (Dewan Ulama Senior) untuk melegitimasi kebijakan pemerintahannya. Kooptasi terhadap otoritas keagamaan ini semakin kentara tatkala pembangunan pangkalan militer AS di Arab Saudi pada 1990. Pembangunan ini menuai badai protes dari rakyat, tetapi Dewan Ulama Senior yang dipimpin oleh Bin Baz mengeluarkan fatwa yang mensahkan kehadiran pasukan Amerika itu (lihat juga Hasan: 2006,77 dan Wictorowicz: 2018, 463).
Pasca pemberontakan Juhaiman Al-Otaibi dan semakin besarnya pengaruh Dewan Ulama Senior, bersamaan dengan income negara yang besar dari hasil minyak, Arab Saudi semakin gencar menyebarkan Wahabisme ke seantero dunia. Di dalam negeri, otoritas ulama Saudi semakin membatasi peran publik perempuan, larangan bermain musik, penutupan toko dan mall sebelum melaksanakan salat, dan pembatasan gerakan-gerakan Islam kanan terutama yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin yang ditengarai dapat mengobarkan api revolusi. Di sisi lain, Saudi memberikan dukungan bagi gerakan Islam garis keras terutama Taliban dalam perang melawan Soviet. Generasi baru Wahabisme yang lebih dikenal dengan Salafi semakin tumbuh subur dengan penggelontoran dana dalam jumlah besar kepada sejumlah perguruan tinggi terutama Universitas Islam Madinah dan Ummul Qura di Makkah.
Di Indonesia, LIPIA menjadi corong penyebaran Wahabi dan juga pengiriman sejumlah mahasiswa untuk belajar di negeri petro dollar tersebut (hlm.574). Wahabi itu kini sudah berada di sekitar kita dengan beragam nama: manhaj Salaf, ulama Salafi, dan ulama/ustaz Sunnah. Mereka, dengan basis ideologi yang kuat dan dukungan finansial yang mumpuni, secara terus menerus menyebarkan Islam versi Wahhabi dengan beragam cara: mulai dari mengisi kajian terutama di kalangan Muslim perkotaan sampai mendirikan masjid, pesantren, dan lembaga pendidikan, termasuk media daring, yang siap bersaing dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang didirkan terutama oleh NU dan Muhammadiyah.
Lantas, apakah kita akan melakukan pembiaran, bersikap acuh tak acuh melihat fenomena ini? Ataukah akan bergerak semampu kita mengimbangi laju Wahhabisasi di negeri ini? Semua itu terserah pada Anda untuk mengambil sikap yang mana!
DATA BUKU
Judul : Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah dan Pergulatannya;
Penulis : Nur Kholik Ridwan ;
Penerbit : iRcisod, 2020 ;
Tebal : 833 halaman