Istilah al-wala wal bara termasuk istilah baru yang semakin populer belakangan ini. Istilah ini dipopulerkan oleh kaum jihadis dan kelompok Islam garis keras lainnya. Mereka menjadikan konsep ini sebagai bagian dari tauhid yang harus diamalkan oleh setiap orang beriman.
Al-wala wal bara berati sikap loyalitas terhadap muslim dan melepaskan diri dari kekafiran dan setiap perbuatan buruk. Sebetulnya ini istilah baru dan belum dikenal pada generasi ulama salaf dan ulama setelahnya.
Menurut Abdul Fattah bin Shalih Qiddis, istilah ini sangat problematik tidak hanya dari sisi maknanya, tetapi juga penerapannya. Betapa banyak orang yang menjadi korban karena salah paham terhadap maksud istilah ini. Betapa banyak darah tertumpah karena mengatasnamakan al-wala wal bara. Betapa banyak harta dan kehormatan yang dirampas dengan alasan al-wala wal bara.
Orang yang meyakini doktrin al-wala wal bara sebagai bagian dari keimanan, mereka memahami bahwa umat Islam harus membenci orang yang berbuat maksiat dan membenci non-muslim. Ekstremnya, kebencian itu tidak hanya dipendam dalam hati, tetapi diwujudkan dalam bentuk tingkah laku, menyakiti fisik bahkan membunuh.
Abdul Fattah bin Shalih dalam buku Tashhih al-Mafahim fi al-Wala wal Bara menjelaskan, tidak ada dalil dalam al-Qur’an dan hadis yang menyuruh umat Islam membenci dan berlaku kasar pada orang lain, termasuk pada pelaku maksiat dan orang kafir sekalipun. Islam hanya mengajarkan membenci perilaku maksiat dan kekafiran, tetapi tidak pernah mengajarkan membenci personalnya.
Buktinya, Rasulullah sendiri tidak pernah membenci orang kafir di masa hidupnya, bahkan beliau bergaul dan berbuat baik kepada non-muslim sekalipun. Dikisahkan bahwa beliau mengunjungi non-muslim yang sakit (HR: Bukhari). Ketika Rasulullah SAW dilempari baru oleh penduduk Thaif beliau tidak pernah marah dan membenci mereka. Ketika ditawari malaikat Jibril agar mereka ditimpa gunung, Rasulullah malah mendoakan kebaikan untuk mereka (HR: Muslim). Rasulullah juga pernah menghadiri undangan makan dari kaum Yahudi (HR: Ahmad).
Kepada non-muslim saja Rasulullah berbuat baik, apalagi kepada sesama muslim, termasuk muslim yang suka berbuat maksiat. Dalam hadis Bukhari dikisahkan, ada muslim yang suka mabuk-mabukan. Rasulullah pernah menghukumnya, tetapi dia tetap mengulangi perbuatannya. Akhirnya, salah seorang sahabat melaknatnya. Rasulullah malah menegur sahabat yang melaknat pelaku maksiat tersebut. Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah berkata, “Jangan kalian bantu setan menjerumuskannya”.
Artinya, dalam berdakwah dibutuhkan sikap arif dan bijak. Orang-orang yang berbuat maksiat misalnya, perlu didekati dengan cara yang lembut, bukan malah mengasari, membenci, dan melaknat mereka. Kalau mereka tidak diperlakukan dengan baik, bagaimana mungkin hatinya terbuka menerima ajaran Islam. Kalau non-muslim dibenci dan disakiti, bagaimana mungkin dakwah Islam akan sampai kepada mereka. Alih-alih menerima Islam, malah mereka semakin menjauh dari Islam.
Karenanya, doktrin al-wala wal bara yang dipahami Islam garis keras sebetulnya bertentangan dengan sikap Rasulullah sendiri. Andaikan doktrin itu benar, mestinya Rasulullah juga melakukannya. Tetapi faktanya, Rasulullah tidak pernah berbuat kasar, berkata kasar, menyakiti hati orang, apalagi membunuh orang. Kebaikan Rasul tak pandang bulu. Beliau baik kepada seluruh manusia, termasuk pelaku maksiat dan orang kafir sekalipun.