Mohammad Azhari, direktur Lintas Marga Sedaya, pemenang tender mega projek jalan tol Ckampek-Palimanan, datang bersama dua orang ke rumah Kiai Makhtum
“Pak Kiai, berapa luas tanah pesantren yang terkena jalan tol?”
“Banyak”
“Kiai mau permeternya berapa?”
“Berapapun harganya, saya tidak akan jual. Itu amanat orang tua”
“Tenang saja, Kiai. Soal harga biar Kiai yang menentukan. Kami juga akan bangunkan pesantren untuk Kiai. Kiai tinggal menentukan tanah mana yang harus kami beli sebagai gantinya. Asalkan Kiai mau menjual tanahnya untuk jalan tol.”
“Tanah ini tanah wasiat. Puluhan tahun orang tua-orang tua kami mentirakati tanah ini agar berkah. Apakah Bapak bisa menjamin tanah lain dengan kualitas sama?”
“Jadi, maunya Kiai harganya berapa?”
“Maaf, oran tua kami tak mentirakati dengan uang, tapi melalui riyadloh puasa puluhan tahun, istiqamah ngaji, dan salat malam. Bapak sanggup?”
Investor dari Malaysia itu tak melanjutkan obrolan. riyadloh, wirid, puasa, dan salat tahajjud tak ada dalam kamus pemodal.
Muhammad Azhari bukanlah orang pertama yang merayu Kiai Makhtum agar melepaskan tanahnya untuk jalan tol. Sebelumnya, Djoko Kirmanto (menteri PU), menteri agama, hingga utusan BIN, sudah berkali-kali bolak-balik memaksa Kiai Makhtum untuk melepas tanahnya.
Namun, meski didesak banyak pihak, Kiai Makhtum tetap keukeuh mempertahankan tanahnya, menjaga marwah pesantren, berdaulat di atas tanahnya sendiri.
“Dulu, orang tua kita, berani melawan dan menentang Deandels ketika membangun Jalan Raya Pos yang akan melewati pesantren ini. Kita harus lebih berani dari mereka,” ujarnya di depan anak-anak muda.
Kiai Makhtum mengajari anak muda melawan, tak mudah menyerah, apalagi sampai membungkuk pada penguasa dzalim yang hendak merampas tanah rakyat dengan dalih “pembangunan”, “kemaslahatan umum” bahkan demi “kesejahteraan rakyat”
Kemarin (21/01), pukul 07.30 WIB, Kiai Makhtum dipanggil Allah SWT. Tugasnya di dunia ini sudah selesai. Mari kita kirimkan hadiah al-Fatihah untuk beliau…. al-Fatihah!