Nabi adalah sebaik-baiknya manusia, segala tutur kata dan tingkah lakunya yang terjaga adalah pelajaran untuk kita semua. Ia tidak hanya berkata, ajarannya selalu dicontohkan dalam kehidupannya. Sejarah mencatat, setelah nabi mendapatkan wahyu pertama tentang perintah membaca, nabi ketakutan dan segera pulang, kemudian ia berselimut. Ketika berselimut, datang lagi perintah Tuhan supaya nabi bangun untuk memberikan peringatan (kabar benar).
Peristiwa Nabi di atas mengajarkan kita untuk bangun, tidak berdiam diri dibalik selimut (masalah). Perintah itu juga datang setelah perintah membaca, artinya sebelum kita melakukan sesuatu, harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, membekali diri dengan keilmuan yang kuat. Sehingga kita akan bijak dalam melakukakan sesuatu, seperti kata Pramoedya, “adil sejak dalam pikiran.” Kebencian yang kita lihat akhir-akhir ini adalah dampak dari tutur kata atau prilaku yang tidak dilandasi pikiran bijak. Faktanya hari ini, banyak pertengkaran yang berawal dari kata-kata ujaran kebencian.
Pada era milenial saat ini, dengan kecanggihan teknologi yang begitu besar. Akses berita dan informasi sangat mudah untuk sampai ke publik. Semua orang punya kebebasan seluas-luasnya untuk menuliskan sesuatu. Bahkan karena begitu bebasnya, banyak berita yang muncul ke publik berisi kebohongan sampai ujaran kebencian untuk menghancurkan individu atau kelompok tertentu. kita semua tahu bagaimana keadaan media sosial hari ini. Dengan segala kebebasannya, media sosial menjadi medan pertempuran yang ideal bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk saling menjatuhkan.
Silent Majority
Perang kebencian yang terjadi di media sosial hari ini, bukan semata-mata karena menyebarnya hoax atau pun hate speech. Lebih dari itu, ada faktor lain yang menyebabkan hoax dan hatespeech merajalela, yaitu faktor diamnya orang-orang yang mempunyai faham yang benar. Mereka yang benar tidak berani berbicara menyuarakan kebenarannya. Alasannya beragam, yang paling dominan adalah menganggap bahwa itu tidak penting. Alasan lain adalah merasa takut, malas berdebat, menunggu momen yang tepat untuk berbicara, sampai mereka beralasan untuk menjaga hubungan.
Karena takut berbicara maka memilih bungkam, padahal jika pendapat itu disampaikan bisa jadi membawa perubahan yang lebih baik. Semakin banyak orang yang bungkam, maka semakin tertutup kesempatan menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran. Di era demokrasi ini, generasi millennials tentu harus berani dalam bersuara dan berpendapat untuk kepentingan bersama. Perkembangan media sosial justru seharusnya menjadikan silent majority lebih berani dalam mengungkapkan pendapatnya.
Sing Waras Ojo Ngalah
Ahmad Mustofa Bisri atau lebih akrab disapa Gus Mus, dalam satu kesempatan beliau menyampaikan, “Ya saya bilang, kalau yang waras mengalah terus, yang tidak waras merasa paling benar. Sekarang tidak boleh yang waras mengalah terhadap kemungkaran,”. Istilah Sing Waras Ojo Ngalah(yang berakal sehat jangan mengalah) sendiri menjadi prinsip Gus Mus untuk melawan hoax yang marak terjadi. Selama ini istilah yang sering terdengar adalah sing waras ngalahatau yang akalnya sehat mengalah. Menurut Gus Mus, istilah itu harus diganti supaya yang tidak waras tidak terus merasa paling benar.
Kita sudah seharusnya tidak hanya berpangku tangan dan menyesali keadaan negera kita hari ini, permusuhan yang terjadi di media sosial tidak akan selesai dengan sendirinya. Mari kita belajar kepada ayat Allah yang berbunyi,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d : 11].
Lawan kebencian dengan cinta
Melawan kebencian haruslah dengan cinta, karena lawan kata benci adalah cinta. Jika kita melawan kebencian dengan kebencian lagi, maka yang ada hanyalah menumbuhkan kebencian yang lain, dan itu tidak akan ada selesainya. Mengutip pernyataan dari Buya Husein Muhammad, beliau menyampaikan, “Tak ada gunanya menanggapi ketidakadilan dengan kebencian dan dendam. Karena cara ini hanya akan menginspirasi antagonisme lebih lanjut dan memperburuk keadaan”.
Buya Husein juga menambahkan bahwa “tidak ada gunanya penyebaran pikiran secara Indoktrinasi dan pemaksaan dilawan dengan indoktrinasi serupa. Ini metode pembodohan rakyat yang tidak boleh berkembang. Yang harus dikembangkan adalah dialog konstruktif. Sebuah dialog intelektual yang sehat. Ini jalan yang disarankan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad.”
Jika melihat tulisan yang mengandung unsur kebencian, maka sebaiknya kita menulis sesuatu untuk membenarkan tulisan tersebut tanpa menghujat si penulis. Kembali lagi ke awal tulisan, bahwa Nabi telah mengajarkan kita banyak hal. Cara beliau menyampaikan islam juga dengan cara yang lembut tanpa paksaan. Tapi sekali lagi, nabi tidak hanya berdiam diri melihat kemungkaran.