Media Sosial dan Influencer di Tengah Semangat Berderma: Sisi Lain Persoalan ACT

Media Sosial dan Influencer di Tengah Semangat Berderma: Sisi Lain Persoalan ACT

ACT disebut gagal dalam pengelolaan dana donasi umat. Fakta ini jelas mengejutkan bagi sebagian besar masyarakat, bahkan tidak sedikit yang mengekspresikan kemarahannya.

Media Sosial dan Influencer di Tengah Semangat Berderma: Sisi Lain Persoalan ACT
ACT

ACT disebut gagal dalam pengelolaan dana donasi umat. Fakta ini jelas mengejutkan bagi sebagian besar masyarakat, bahkan tidak sedikit yang mengekspresikan kemarahannya.

Fokus laporan Tempo memang pada pengelolaan dana, khususnya pasca terkumpul dana selama ini. Akibatnya, Tempo kemarin tidak banyak mengungkap  bagaimana dana umat bisa mengalir deras ke organisasi tersebut, disebutkan mereka mengumpulkan pundi-pundi donasi sekitar setengah triliun rupiah. Angka tersebut jelas tidak bisa dibilang sedikit.

Padahal, titik awal penyelewengan keuangan tersebut adalah dana yang terkumpul sangat besar, bahkan tak terbatas, tersebut tidak banyak dari donatur yang mengharap pertanggungjawaban yang rigid dan ketat. Mispengelolaan pun telah terungkap setelah laporan Tempo kemarin menjadi konsumsi publik.

Kembali ke pembahasan awal, bagaimana bisa dana sebesar itu dapat terkumpul? Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengalirnya dana tersebut, tapi media, khususnya di layanan jejaring sosial, rasanya berperan besar dalam dinamika ACT ini.

Buktinya, beragam kampanye ACT sangat masif di media sosial. Saya mendapati dua poin utama yang menarik kita perbincangkan lebih dalam mengulik permasalahan tersebut, yakni narasi dan peran influencer.

***

Greg Fealy, akademisi asal Australia, mengungkapkan di bagian Pendahuluan dalam buku Ustaz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer, bahwa model konsumsi Islam kontemporer turut menciptakan makna-makna hingga model-model religius baru, bahkan disebut juga menghadirkan prinsip “kesalehan” di tengah umat beriman.

Walaupun, di saat bersamaan, terdapat anggapan bahwa ada komersialisasi terhadap Islam dan penekanan pada perilaku lahiriah, daripada membangun apresiasi intelektual dan spiritual dari signifikansi dan keindahan iman yang dalam. Memang, hubungan antara spiritualitas dan perdagangan adalah kompleks, yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang batas antara yang sakral dan yang profan, dan apakah aktivitas religio-ekonomi menodai maksud spiritual yang murni.

Jadi, perlu dipahami lebih lanjut bahwa di era modern hari ini, berislam tidak lagi sekedar menjalankan ajaran agama, namun juga terdapat laku-laku transaksi religio-ekonomi, khususnya di mana simbol-simbol keyakinan digunakan untuk memasarkan produk-produk yang terkait dengan Islam. Dinamika ini akhirnya mengharuskan narasi Islam bernegosiasi dengan logika-logika pasar yang sekuler. Kebangkitan keberagamaan di era internet turut memperluas dinamika di atas, dengan mensyaratkan kreativitas ekstra untuk merebut pasar Islam.

Iklan dan konten adalah salah satu unsur penting dalam perebutan konsumen, dalam hal ini masyarakat Muslim. Kondisi ini tentu mengiring Stakeholder membingkai ajaran agama dengan narasi lain yang lebih dari menjalankan ajaran atau sekedar mendapatkan pahala. Walhasil, berderma ke lembaga-lembaga macam ACT adalah salah satu gaya hidup masyarakat muslim modern hari ini. Alasan inilah model-model penyaluran tradisional, seperti amil zakat di langgar atau kyai di pesantren, tidak lagi cukup menggoda di masyarakat muslim modern.

Aliran dana yang begitu massif dan besar ke ACT tidak lepas dari peran besar media promosi mereka. Biaya iklan mereka yang besar di platform media sosial adalah bukti keseriusan mereka menggarap kampanye mereka di sana.

Alasannya jelas, konsumsi waktu screen time yang panjang dan angka pengguna yang besar di masyarakat Indonesia. Umat Islam sebagai penghuni internet paling besar jelas merupakan calon konsumen potensial dalam fenomena pasar Islam ini.

Sebagaimana dijelaskan di atas, narasi memiliki poin penting dalam model konsumsi tersebut. Agama tidak lagi sekedar aturan, ajaran, atau peribadatan yang terkonsep dalam kitab suci, di saat bersamaan juga terselip di dalamnya wacana-wacana politik, ekonomi, dan sosial.

Hairus Salim, budayawan asal Yogyakarta, menampilkan beberapa iklan ACT yg beredar di media sosial. Menariknya, ulasan menohok kyai Salim atas pariwara tersebut adalah soal pemanfaatan wacana “Palestina” untuk menarik emosi komunal donatur muslim, sehingga menyalurkan dana lewat mereka.

Tahun lalu, saat banjir besar melanda hampir seluruh wilayah Kalimantan Selatan, saya sempat memiliki urusan yang beririsan dengan ACT. Saat itu, kami dan mereka sama-sama menyuplai bantuan ke posko pengungsi yang sama, walaupun di hari yang berbeda. Menariknya, bantuan mereka langsung diunggah dan beredar luas di media sosial.

Sejak saat itu, satu hal yang saya paling saya ingat hingga hari ini, yaitu modal media sosial adalah faktor kunci “keberhasilan” mereka memikat umat untuk menyalurkan donasinya lewat organisasi tersebut. Bisa dibilang seluruh kampanye ACT sangat didukung konten yang menarik dan memikat mata bagi para calon donatur.

Namun, dalam amatan saya, konten di media sosial tersebut tidak hanya berfungsi untuk media promosi belaka, tapi di saat bersamaan juga berperan sebagai pertanggungjawaban non-resmi mereka pada donatur. Lihat saja, iklan atau konten media sosial mereka memuat beragam kampanye sekaligus bagaimana mereka menyalurkan bantuan para donatur. Walaupun, jarang sekali memuat berapa bantuan yang disalurkan sebenarnya.

Selain itu, filantropi Islam hari ini juga memperlihatkan bagaimana dinamika keberagamaan yang sangat cair. Unsur ideologi dan model penyaluran yang tradisional sudah tidak lagi menjadi pertimbangan di masyarakat muslim, khususnya di perkotaan. Dalih manfaat yang lebih luas, kemudahan akses, dan pertanggungjawaban publik yang “teruji” lewat konten media sosial dan lembaga non-profit lain, sepertinya cukup mempengaruhi publik dalam menyalurkan donasinya kepada organisasi macam ACT.

Terlebih, ritual berderma atau bersedekah tidak lagi sekedar menyalurkan pada orang terdekat yang membutuhkan, namun juga diselipkan narasi “ketertindasan” masyarakat Muslim. Sehingga, imaji sedekah dapat memiliki “manfaat lebih” tidak lagi terbatas hanya dibagikan di sekitar, namun juga melebar hingga ke luar wilayah kita.

Narasi Islamisme yang seringkali dituduhkan melekat pada ACT sangatlah samar, kecuali diakses lewat pembuktiaan aliran dana. Kalau lewat kisah “penindasan” umat Islam, sebagaimana kampanye bantuan ke Palestina atau Suriah, masih sangat samar. Tapi, wacana tersebut jelas lebih memiliki daya tarik pada donatur, terlebih untuk mengumpulkan dana “membantu perjuangan” bagi masyarakat Muslim di sana.

Konten-konten lebih banyak berkutat dalam narasi “ketertindasan” yang kemudian diolah sedemikian rupa, lewat bantuan gambar, ilustrasi, hingga caption, untuk menjangkau emosi komunal yang massif di masyarakat muslim. Gambar anak kecil korban kekerasan perang Suriah atau bentrok antara umat Islam dan tentara Israel adalah contoh konten dalam kampanye mereka.

Sehingga pilihan mereka terlihat “logis” itu biasanya jatuh pada organisasi macam ACT, ketimbang pilihan ideologis. Kepercayaan ketika penyaluran “sentimentil” macam Palestina atau Suriah biasanya menggiring donasi-donasi bersifat lokal, atau sebaliknya. Donatur di organisasi macam ACT tidak lagi dilihat sebagai penyumbang, namun juga “dianggap” sebagai klien atau pelanggan, sehingga narasi harus menyesuaikan atau bernegosiasi dengan beragam hal yang dapat menjaga mereka tetap berderma di organisasi tersebut.

***

Ulasan menarik lainnya dari konten media sosial milik ACT adalah peran influencer. Jika kita terfokus pada hanya pada nama-nama beken saja yang berkolaborasi, maka terlalu sempit untuk mengulik lebih dalam fenomena berderma lewat organisasi macam ACT dkk. Di titik ini juga terdapat peran influencer dan aktivitas lokal yang turut mewarnainya.

Dalam program-program yang bernuansa lokal, ACT biasanya berkolaborasi atau berkerjasama dengan sosok atau kelompok setempat, terlebih dalam kasus-kasus bencana atau musibah. Mengapa? Karena, potensi besar dalam filantropi Islam tersebut juga digenjot di level wilayah yang lebih kecil, bahkan mereka sering juga membuat program besar dengan memanfaatkan isu-isu lokalitas, misalnya, wakaf Alquran di satu wilayah yang terpencil.

Namun, bukan berarti keterlibatan para pendakwah populer atau kalangan artis hilang begitu saja. Seperti saat ACT mendukung salah satu ustaz, berinisial AH, untuk mengumpulkan donasi membantu warga Palestina. Isu sebesar ini jelas perlu sosok yang cukup mumpuni untuk mengemban tugas dalam kampanye, namun pemilihan tersebut jelas disandarkan pada titik daya tarik di tengah umat.

Untuk isu-isu bencana lokal, saya pernah melihat kerjasama mereka dengan kalangan mahasiswa dalam rangka pengumpulan donasi yang dilakukan di tempat-tempat umum, seperti pinggir jalan atau tempat keramaian lainnya. Dana yang terkumpul kemudian diserahkan kepada ACT untuk disalurkan.

Kerjasama tersebut juga melahirkan para influencer dari kalangan anak muda lokal untuk mendorong konten-konten yang secara “sukarela” diunggah. Mereka jelas mendapatkan sorotan lebih, sekaligus menambah followers. Selain itu, mereka biasanya juga banyak memasang bendera, spanduk, hingga flyer di tempat kejadian. Sebab, bagus untuk publikasi dan konten yang diunggah.

Berderma tidak lagi sekedar ajaran agama. Di dalam derma juga terdapat narasi soal popularitas, ekonomi, altruisme, hingga soal politik. Kehadiran lembaga macam ACT bak gayung bersambut atas fenomena tersebut. Sayangnya, sangkaan penyelewengan dana oleh oknum di ACT tentu akan meninggalkan “luka” ketidakpercayaan yang sulit dan perlu waktu lama untuk sembuh.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin