Az-Zahiri merupakan salah satu mazhab fikih yang pernah berkembang di dunia Islam. Mazhab ini memang tidak sepopuler empat mazhab lainnya seperti Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali, namun mazhab ini pernah menorehkan sejarah dan berkontribusi dalam keilmuan Islam.
Kemunculan mazhab Az-Zahiri dipelopori oleh Daud bin Ali bin Daud bin Khalaf al-Ashfahani, seorang ahli fikih yang lahir di Ashfahan, pada 202 H (wafat pada 270 H). Meskipun ayahnya bermazhab Hanafi, Daud al-Ashfahani justru lebih memilih untuk menganut mazhab Syafi’i, ia belajar dari murid-murid Imam Syafi’i dalam bidang fikih. Tak hanya itu, ia juga mendalami ilmu hadis, salah satu gurunya yang terkenal pada masanya adalah Ishaq bin Rahawaih.
Mazhab ini disebut az-zahiri karena penganutnya berpegang teguh pada makna tekstual dari al-Qur’an dan Hadis. Menurut mereka, mengalihkan teks dari pengertian lahirnya atau dari tata kebahasaan kepada pengertian lain tanpa berdasarkan nash atau ijma’ merupakan tindakan batil.
Daud as-Ashfahani berpegang pada pengertian lahir nash-nash al-Qur’an dan sunnah tanpa mentakwilkan, menganalisa dan menggali dengan ilat atau kuasa hukum. Demikian pula tidak berpegang pada rasio, istihsan, istishab, maslahah mursalah dan dalil-dalil semisal. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum agama kecuali dari al-Qur’an, Hadis dan ijma’. Adapun ijma yang dijadikan sandaran adalah ijma’ para sahabat, bukan ijma para ulama secara umum.
Pemikirannya dilandaskan pada surah an-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Meskipun berlatarbelakang keilmuan madzhab Syafi’i, Daud al-Ashfahani memilih untuk beralih kepada fikih Zhahiri. Karena madzhab Syafi’i terlalu banyak menggunakan qiyas dan ra’yu dalam menetapkan hukum Islam. Sedangkan Daud melihat bahwa syariat itu adalah nash, tanpa ada campur tangan akal atau qiyas. Ia menolak penggunaan qiyas karena qiyas merupakan produk akal, sedangkan agama bersifat ilahiyah.
Daud pernah ditanya “Bagaimana Anda membatalkan qiyas, sedang Syafi’i berpegang padanya?” Ia pun menjawab, saya mengambil dalil dan argumen Syafi’i dalam membatalkan istihsan, maka saya mendapati dalil tersebut dapat membatalkan kehujjahan qiyas. Berdasarkan itu, saya membatalkan qiyas sebagaimana Syafi’i membatalkan istihsan. (Lihat Muhammad Abu Zuhroh, Taarikh al-Madzaahib al-Islamiyah (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi) h. 507)
Alasan itu bukan satu-satunya sebab penolakan penganut Zhahiriyah terhadap qiyas, tetapi lebih dipicu oleh instabilitas kehidupan kaum muslimin disebabkan maraknya penggunaan qiyas. Penggunaan qiyas pada masa itu justru sering menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Sampai-sampai ada sebagian ahli fikih yang berani menolak hadis dengan menggunakan qiyas dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan takwil.
Bahkan mereka tak segan-segan menggali makna batin al-Qur’an jika ayat tersebut bertentangan dengan qiyas dan akal. Implikasinya, pengkajian terhadap fikih beralih menjadi ajang perdebatan dan perselisihan. Terlebih pada masa itu ilmu kalam (teologi) berada pada masa keemasan. Kondisi tersebut memicu lahirnya gerakan tandingan dari para penghafal al-Qur’an dan penghafal Hadis untuk membentuk gerakan ijtihad aqli. (Lihat Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Airan dan Madzhab di Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015) h. 646)
Pengikut madzhab Azh-Zhahiri di berbagai belahan dunia sangat sedikit. Sampai abad ke-4 H, perkembangannya masih terbatas di wilayah Irak dan seberang sungai Oxus (Transoksania). Madzhab ini juga mendapat sambutan baik di Asia Tengah dan meluas ke Iran, wilayah Syiraz (Iran) bahkan menjadi pusat madzhab ini.
Madzhab ini pernah berkembang pesat dan mempunyai pengikut yang lebih banyak daripada Madzhab Hanbali. Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, Azh-Zhahiri bahkan menjadi madzhab fikih keempat di dunia Islam, setelah Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi, dan Madzhab Maliki. Akan tetapi di abad kelima, madzhab ini mulai mengalami kemunduran dan kehilangan pengaruh serta pengikut di dunia Timur.
Mazhab Az-Zahiri mulai mengalami kemunduran di Timur seiring dengan perkembangan Madzhab Hanbali yang mampu menggeser eksistensinya. Kehadiran Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra al-Hanbali (w. 458 H/1065 M) mampu membawa kemajuan pesat bagi Madzhab Hanbali. Ia adalah tokoh madzhab Hanbali yang dikenal sebagai ulama ushul fikih yang juga memiliki pengetahuan luas tentang al-Qur’an dan Hadis. Sejak saat itu, Mazhab Az-Zahiri mulai mengalami kemunduran lalu perlahan-lahan lenyap di Timur.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan madzhab ini berkembang dengan sangat lambat. Pertama, persaingan yang ketat dengan empat madzhab (Syafii, Maliki, Hanafi dan Hanbali) yang sudah tersiar begitu luas di kalangan muslimin. Kedua, penolakan Daud al-Ashfahani terhadap qiyas bertentangan dengan mayoritas mazhab-mazhab lain. Dan ketiga, tersiar isu bahwa Daud al-Ashfahani menganut faham al-Qur’an itu baharu dan orang yang berhadas besar boleh menyentuh dan membaca al-Qur’an. Sedangkan pendapat ini berbeda dengan yang dianut mayoritas fuqoha.
Berbagai faktor itu menyebabkan Mazhab Az-Zahiri semakin meredup di dunia Timur. Namun selanjutnya mazhab ini mulai bersemai di dunia Barat.
Wallahu A’lam.