Mati syahid bukan bunuh diri. Mati syahid adalah mati dalam keadaan sedang beribadah atau mati dalam keadaan menderita, termasuk di dalamnya menderita karena asmara. Abî Bakr ‘Utsmân bin Muhammad Syaththâ (w. 1300 H), penulis Hâsyiyah I’ânah Ath-Thâlibîn, buku tentang hukum Islam yang sangat populer di kalangan pesantren, menjelaskan mati syahid ke dalam tiga macam, yaitu 1) syahid dunia-akhirat, 2) syahid dunia, dan 3) syahid akhirat. (2003: II, 180).
Syahid yang pertama yaitu orang-orang yang gugur di medan perang karena menunaikan perintah agama, yakni berperang melawan penjajah demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi, atau dalam bahasa fikihnya “li i’lâ`i kalimatillah (menjunjung tinggi kalimat Allah)”.
Sedangkan syahid kedua (syahid dunia) yaitu orang yang secara lahiriyah berperang demi menjalankan kewajiban agama, namun di dalam hatinya tersimpan niat mendapatkan harta jarahan perang (ghanîmah). Kedua syahid ini tidak boleh dishalati dan dimandikan, cukup dikafani lalu dimakamkan.
Ketiga, syahid akhirat, yaitu orang-orang yang mati dalam keadaan menderita. Penderitaan ini bisa disebabkan karena kondisi “internal” seseorang seperti perempuan yang mati karena melahirkan, pencari ilmu meski sedang tidur, dan yang lainnya, atau karena kondisi “eksternal”, yakni seseorang yang sehat jasmani maupun rohani, namun ia mati terkena musibah seperti mati karena tenggelam, kebakaran, atau dibunuh.
Dalam menjelaskan orang-orang yang mati syahid akhirat ini, penulis Hâsyiyah I’ânah Ath-Thâlibîn, menutup pembahasannya dengan orang yang mati karena dilanda asmara. Menurutnya, mati karena menahan rindu yang sangat menggebu bagian dari mati syahid akhirat dengan syarat:
Pertama; mampu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan (al-‘iffah), yakni diandaikan seseorang ada kesempatan berduaan dengan kekasihnya ia tidak akan melakukan tindakan yang dilarang Allah meski sebatas memandang.
Kedua; tidak menyampaikan rasa rindunya kepada siapapun, meski kepada kekasih yang sangat ia rindukan (al-kitmân hattâ ‘an ma’syûqih).
Orang yang mati karena merindu kekasih dimasukkan ke dalam syahid akhirat, yakni ia tidak mendapatkan siksa di akhirat, karena rindu adalah penderitaan yang begitu berat, terlebih jika tidak disampaikan kepada siapapun. Meminjam penjelasan Abû Hâmid al-Ghazâli dalam Ihyâ` ‘Ulûmiddîn, rindu adalah sebuah nama untuk menyebut perasaan cinta yang sangat menggurita. Kata Al-Ghazâli:
وَالْمَحَبَّةُ إِذَا تَأَكَّدَتْ سُمِّيَتْ عِشْقًا فَلَا مَعْنَى لِلْعِشْقِ إِلَّا مَحَبَّةٌ مُؤَكِّدَةٌ مُفَرِّطَةٌ
“Jika cinta sangat menguat maka itu dinamakan rindu. Tiada makna bagi rindu selain rasa cinta yang sangat ekstrim.” (2004: II, 353).
Dalam bab lain di buku yang sama, al-Ghazâli menjelaskan:
وَلَوْ اِسْتَغْرَقَهُ الْعِشْقُ لَغَفَلَ عَنْ غَيْرِ الْمَعْشُوْقِ وَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهِ
“Kala rindu menggebu maka seseorang akan lupa segalanya. Tidak ada yang ingin ditatapnya selain kekasih yang ia rindukan.” (2004: IV, 240).
Karena derita itulah, para sarjana hukum Islam (fuqahâ`) memasukkan mati sebab rindu ke dalam syahid akhirat. Di akhir penjelasannya, Abî Bakr ‘Utsmân bin Muhammad Syaththâ mengutip pendapat sebagian ulama dalam nazam berikut:
كَفَى الْمُحِبِّيْنَ فِيْ الدُّنْيَا عَذَابُهُمْ *** تَاللهِ لَا عَذَبَتْهُمْ بَعْدَهَا سَقَرُ
بَلْ جَنَّةُ الْخُلْدِ مَأْوَاهُمْ مُزَخْرَفَةً *** يُنْعَمُوْنَ بِهَا حَقًّا بِمَا صَبَرُوْا
فَكَيْفَ لَا، وَهُمْ حَبُّوْا وَقَدْ كَتَمُوْا *** مَعَ الْعِفَافِ؟ بِهَذَا يَشْهَدُ الْخَبَرُ
يَأْوُوْا قُصُوْرًا، وَمَا وُفُّوْا مَنَازِلَهُمْ *** حَتَّى يَرَوْا اللهَ، فِيْ ذَا جَاءَنَا الْأَثَرُ
“Sudah cukup di dunia siksaan bagi para pecinta (yang tak sampai). Demi Allah kelak di akhirat mereka tidak tersiksa panasnya bara api neraka.
Surga keabadian akan menjadi tempatnya, mereka akan diberi perhiasan, diberi kenikmatan oleh Allah sebagai balasan atas kesabarannya.
Bagaimana tidak, mereka cinta, tapi merahasiakannya sembari menahan diri dari larangan-larangan Allah.
Mereka akan tinggal di istana-istana surga, kebahagiaannya menjadi sempurna dengan bertemu Allah (Sang Kekasih Abadi).” (Abî Bakr, 2003: II, 181).
Bi al-iktifâ` wa al-ikhtishâr, singkat penjelasan, ada banyak sebab mati dalam keadaan mulia (syahîd), mulai dari mati dalam keadaan berperang, melahirkan, mencari ilmu, hingga menanggung rindu. Itu semua bagian dari welas asih Tuhan dalam memberi balasan kepada manusia. Siapa yang menderita karena Allah maka kelak akan digembirakan oleh-Nya. Sebaliknya, siapa yang gembira karena nafsu, maka akan disiksa oleh-Nya. Meski demikian, ampunan-Nya selalu terbuka bagi siapapun yang datang memohon dengan segenap ketulusan.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang