Masjid kampus tak dapat sekedar dinilai hanya sebagai tempat beribadah, selayaknya masjid-masjid atau langgar-langgar di kampung yang hanya digunakan sebagai tempat ibadah semata. Masjid kampus adalah tempat yang sangat politis.
Sisi politis Masjid kampus terkait dengan sebuah gerakan kelompok Islam konservatif yang gencar melakukan doktrinasi mereka di ruang-ruang masjid melalui banyak metode, seperti aktivitas kajian keislaman dan ceramah-ceramah hari besar Islam. Strategi yang mereka gunakan adalah dengan mendatangkan penceramah-penceramah yang mempunyai afiliasi dengan ormas Islam konservatif, ataupun mendatangkan ustaz-ustaz yang kecenderungan wawasan keislamannya eksklusif.
Dalam kajian-kajiannya, Masjid kampus yang dikuasai oleh kelompok konservatif hanya mengembangkan wacana-wacana keislaman yang Arab sentris dan eksklusif. Dan tentunya, dari kajian keislaman yang bercorak demikian, internalisasi pengajaran keislamannya penuh dengan doktrinasi dan kepatuhan. Dalam aktivitas kajian keislamannya, tidak menggambarkan watak dari lingkungan akademis di kampus yang penuh dengan perdebatan kritis, dan penuh dengan dalil-dalil argumentatif yang rasional.
Tak ada kajian kefilsafatan ataupun pemikiran keislaman dengan suasana yang terbuka dan penuh kritisisme. Yang ditanamkan adalah sebuah kepasifan pikiran, sudut pandang yang serba hitam-putih, dan menerima dengan penuh keyakinan apa saja yang disampaikan oleh sang penceramah. Haram hukumnya untuk memperdebatkan dalil yang disampaikan oleh sang penceramah. Suasana pengkajian keislaman dengan budaya seperti ini hanya akan melahirkan muda-mudi Islam yang serba hitam-putih dan penurut terhadap tokoh-tokoh Islam dengan wawasan Islam yang eksklusif.
***
Secara genealogis, suasana kajian keislaman di Masjid kampus yang penuh dengan konservatisme dimulai sejak kisaran tahun 1970an. Hal itu menurut Burhanuddin Muhtadi (2012) tak dapat dilepaskan dari kebijakan politik rezim Suharto yang melakukan penggembosan besar-besaran terhadap gerakan Islam Politik. Pada masa awal rezim Orde Baru, Suharto menilai agenda yang dilakukan Islam Politik sangat membahayakan eksistensi rezim.
Dari kebijakan represif Orde Baru terhadap gerakan Islam Politik tersebutlah, kemudian terjadi penyesuaian dan pembaharuan strategi gerakan di kalangan kelompok Islam Politik. Jika sebelumnya agenda politik mereka adalah secara terbuka konfrontatif terhadap rezim politik. Mereka melakuakan perubahan strategi dengan melalui jalur non-konfrontatif. Dengan bentuk strategi baru tersebut, kelompok Islam Politik lebih memungkinkan menyebarkan ide politik mereka dengan tanpa mengganggu stabilitas rezim Orde Baru.
Menurut Burhanuddin Muhtadi (2012) asal-usul dari aktor gerakan yang memfokuskan agendanya di Masjid kampus tersebut adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dipelopori oleh Mohammad Natsir, salah satu politisi kondang kelompok Islam Politik. Mereka melakukan infiltrasi secara halus ke dalam agenda-agenda berkedok keislaman di Masjid kampus.
Di antara Masjid kampus yang menjadi tujuan mereka adalah Masjid Universitas Indonesia, UGM Yogyakarta, ITB, Universitas Airlangga Surabaya dan Masjid kampus-kampus di Makassar dan Padang. Hingga saat ini, sudah mulai banyak Masjid kampus-kampus lainnya yang mereka kuasai.
Kemudian, dimulai dari aktivitas dakwah di Masjid kampus, gerakan tersebut menjadi pondasi dasar pembentukan Lembaga Dakwah kampus (LDK). Secara evolusioner, lambat-laun LDK kemudian melahirkan organisasi mahasiswa Islam yang bernama Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dari KAMMI itulah kemudian melahirkan Partai Keadilan (PK), sebuah partai dengan agenda Islam Politik, pada Pemilu awal reformasi. Dari PK itulah kemudian yang melahirkan Partai Keadilan Sosial (PKS) yang masih eksis hingga saat ini.
Secara ideologis, kelompok Islam yang mendominasi di Masjid kampus adalah wacana keislaman Ikhwanul Muslimin (IM) dan Wahabisme. Hal itu dipengaruhi oleh pengaruh konteks global terhadap Islam Politik di Indonesia pada tahun-tahun 1970an. Ketika para petinggi Islam Politik di Indonesia banyak membuat jejaring dengan gerakan Islam di Arab Saudi yang bercorak Wahabi, yang kebetulan sedang menjalin hubungan mesra dengan kelompok IM setelah diusir oleh rezim Sosialisme Arab Nasserian dari Mesir.
***
Melihat dari suasana kajian keislaman di Masjid kampus yang demikian eksklusif tersebut, tentunya sangatlah disayangkan. Seyogyanya, Masjid kampus, sebagai tempat ibadah yang berada di lingkungan Perguruan Tinggi sekaligus tempat berkumpulnya banyak kawula muda muslim calon sarjana. Dimana aktivitas di Perguruan Tinggi adalah tempat berkembangnya science dan kajian keilmuan dengan penuh antusias. Masjid kampus seharusnya menjadi tempat yang mewadahi perdebatan keagamaan dengan perkembangan dunia keilmuan dan pemikiran global dengan penuh antusiasme dan kehangatan.
Jika ilmu pengetahuan dan dunia pemikiran global mampu didialogkan dengan teologi keagamaan di Masjid kampus, kedepannya dapat diharapkan mampu melahirkan sosok-sosok muda-mudi Islam yang penuh antusias menyongsong perkembangan peradaban dunia. Bukan malah sebaliknya, Masjid kampus hanya menjadi sarang lahirnya generasi Islam yang berwawasan sempit dan penuh curiga dengan orang-orang di luar mereka.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.