Masjid Syekh Abdul Hamid Abulung ini adalah masjid yang dibangun setelah sultan menyesal telah mengeksekusi mati Syekh Abdul Hamid Abulung.
Sarwani sumringah membawa keluarga besarnya, terdiri dari istri, anak, cucu, dan keponakan yang total jenderalnya mencapai dua belas orang, berpakaian warna-warni. “Mau ziarah. Sekalian wisata,” katanya Mobil Kijang tuanya diparkir di halaman masjid.
Rombongan memilih menyeberang menuju tujuannya: makam Syekh Abdul Hamid Abulung, tokoh sufi kesultanan Banjar pada era Kesultanan Tahlilullah (1700 – 1745 M) yang jadi kesayangan sultan. Saking sayangnya, Sultan mengirim sang Syekh hingga ke Mekah. Tapi Sultan pula yang mengirim algojo untuk mengakhiri hidup sang Syekh—yang mengajarkan paham pantheisme alias wahdatul wujud.
Sarwani dan ratusan orang yang datang setelahnya, lantas langsung menyeberang arus sungai Batang yang tenang dengan menumpang klotok, perahu bermesin yang bolak-balik mengantar dan jemput peziarah ke makam sang Syekh, yang wafat dihukum mati Sultan Tahlilullah.
“…dari darahnya, tertulislah kalimat syahadat,” kata Jauhari menutur ulang cerita yang dipahaminya.
Dalam cerita, Sang Sultan tak kurang sesal mengutuk keputusannya sendiri. Untuk menebusnya dia bangun sebuah masjid yang dipersembahkan untuk Syekh Abdul Hamid Abulung.
Sejarah masjid Abulung tak kurang liak-liuknya. Penjaga makam Syaubari menyebut masjid mutakhir, yang sekarang berdiri di tapi jalanan sibuk yang menghubungkan Martapura dan Banjarmasin ini, dibangun pada 1931 sebagai pindahan dari masjid yang berada tak jauh dari makam, di seberang sungai. Tapi pengurus masjid, Jauhari menyebut bangunan masjid pindah sampai tiga kali, “Masjid yang ini dibangun pada1806.”
Masjid dibangun dengan arsitektur khas Banjar. Rumah panggung yang sekarang tak kelihatan lagi sisa-sisanya—telah diganti dengan lantai biasa dan tembok keramik setinggi setengah meter dari dasar. Tapi dinding-dinding sampai dengan plafon dan atap-atapnya masih dipertahankan bahannya aslinya: kayu ulin nan tangguh yang diberi nada warna hijau.
Atap luarnya terdiri dari lempeng-lempeng kayu ulin juga. “Terakhir diganti pada renovasi pada 1983. Rencananya akan diganti lagi tahun ini.” Lempeng-lempeng telah disiapkan di halaman samping masjid. Ditutup terpal dan siap untuk dipasang, “…menunggu tukangnya tersedia,”
Mimbar kuna warna-warni, tapi tak jelas sejarahnya berada di ruang mihrab. Tempat imam shalat ini dibangun agak lapang, berbentuk setengah persegi delapan yang membentuk separuh lingkaran. Dindingnya bermandikan cahaya, karena telah diganti dengan delapan jendela seukuran pintu. Saat waktu salat zuhur tiba, imam berdiri memandu makmum yang tak sampai satu saf saja banyaknya.
Kontras dengan peziarah yang tak berombong-rombong memarkir minibus di seberang masjid dan menziarahi makam sang Syekh. “Ya memang begini. Kebanyakan (peziarah) datang untuk berziarah, tapi jarang yang mampir untuk sekadar salat di sini,” kata Jauhari lagi.
Gambar 3 Makam Syekh Abulung berseberangan dengan masjid. Peziarah mesti menyeberang memakai ‘klotok’ untuk sampai di sana
Pada puncaknya, ribuan peziarah akan berbondong-bondong ke makam, dan Masjid Abulung pada bulan Zulhijjah, dua hari setelah hari raya Idul Adha. Inilah acara haul Syekh Abdul Hamid Abulung yang rutin dan telah menjadi tradisi khas masjid dan masyarakat di sekitarnya. Mulai pagi-pagi, sekira pukul sembilan, ribuan orang berkumpul di masjid dan membacakan tahlil, aneka doa-doa dan shalawat. Selepas itu ribuan jemaah, seperti Sarwani tadi, akan menumpang klotok dan memanjatkan aneka doa dan penghormatan terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung.
Para pengemis mereguk untung, penarik klotok juga demikian. Pemarkir akan sibuk mengatur-atur mobil dan bus… dan mengutip biaya. Pedagang yang menjajakan ikan sepat, gabus, puyau, papuyuh yang kecil-kecil yang telah diasinkan—yang dipanen tak jauh dari rawa-rawa dan sungai tak jauh dari kampung—juga aneka buah (jeruk, jambu, dll) juga akan meraih rezeki. Berkah yang terus mengalir dari sang Syekh yang telah wafat ratusan tahun yang lalu.
Beberapa buku mengenai Syaikh Abdul Hamid Abulung sebenarnya tersedia. Buku itu dideretkan bersama buku-buku lain yang memuat sejarah dan ajaran para datuk atau ulama asal Banjar.
Saubari, sang penjual yang bertugas mengatur lalu-lintas jamaah. Buku tampak berdebu dan terpanggang panasnya mentari. Dan tampaknya para peziarah tak terlalu sungguh-sungguh menaruh minat pada deret buku ini. Dilewatkan begitu saja, tak jauh berbeda dari ajaran sufistik Syekh Abulung yang memang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah. (AN)
-Selesai