Saban Jumat ada pemandangan menarik di Masjid Al-Ikhlas, masjid dekat rumah saya. Tersedia dua kardus nasi bungkus di dekat dua pintu masuk masjid. Lengkap dengan air mineral dalam gelas. Setiap selesai salat, anak-anak kecil (juga mahasiswa dan anak kos) dengan segera menyerbu nasi-nasi bungkus itu. Ada yang ambil satu, banyak yang ambil dua. Dalam sekejap, nasi bungkus yang menggunung dalam kardus itu ludes.
Saya sebetulnya penasaran dengan isi nasi bungkus itu. Apa lauknya, bagaimana rasanya. Tapi saya selalu kehabisan, dan sampai sekarang belum sempat menyicip. Di masjid Al-Ikhlas, tradisi menyediakan nasi bungkus setiap Jumat belumlah lama. Mungkin baru satu dua bulan belakang. Namun saya merasa ada peningkatan jamaah yang kentara sejak adanya nasi bungkus itu. Tentu itu hal yang bagus.
Fenomena nasi bungkus di masjid marak di Solo, dan mungkin juga kota lain, sebetulnya sudah cukup lama. Beberapa kawan bercerita di masjid komplek perumahan tempatnya tinggal juga dijumpai nasi bungkus di masjid setiap hari Jumat. Atau kalaupun bukan nasi biasanya ada jajanan pasar. Tampaknya, kesadaran bersedakah di kalangan umat Islam perkotaan kian meningkat seiring meningkatnya kemakmuran.
Dulu, nasi bungkus (atau nasi kotak) masuk masjid boleh jadi hanya bisa kita temukan di bulan puasa sebagai ta’jil. Saya ingat, semasa masih mahasiswa, saya tergabung dalam PPT (Para Pencari Ta’jil), bersama kawan-kawan kos beredar dari satu masjid ke masjid lain. Tidak semua masjid menyediakan nasi. Biasanya hanya masjid besar. Masjid kecil kadang hanya menyediakan teh manis hangat dan beberapa biji kurma.
Penyediaan nasi bungkus di masjid setiap Jumat adalah hal menarik. Meningatkan kita bagaimana Walisongo dulu menghadirkan gamelan di masjid sebagai strategi dakwah Islam. Masyarakat berdatangan ke masjid untuk menyimak gamelan. Cara cerdas mendekatkan masyarakat dengan masjid dan mengenalkan Islam.
Di era kekinian, “strategi nasi bungkus” barangkali adalah strategi lain mengajak orang untuk rajin menunaikan salat Jumat. Nasi bungkus di sini tentu sangat berbeda dengan nasi bungkus dalam dunia politik yang populer beberapa waktu lalu.
Hari Jumat dipilih sebagian orang untuk bersedekah (nasi bungkus) karena memang hari Jumat dianggap sebagai hari yang baik dalam Islam. Hari Jumat pula yang menjadi hari berkumpulnya umat Islam. Kelak, sepertinya nasi-nasi bungkus akan semakin banyak dijumpai di masjid-masjid saban hari Jumat. Meskipun berpotensi membuat orang pergi ke masjid dengan “niat yang bengkok”, paling tidak nasi bungkus adalah magnet untuk mendatangkan orang ke masjid.
Beberapa riset menunjukkan adanya peningkatan kesadaran bersedekah dan berzakat. Terutama di kalangan kelas menengah muslim. Inilah yang menjelaskan mengapa lembaga amil zakat bermunculan dan membuat sejumlah pendekatan dengan beragam strategi. Generasi muda muslim yang hidupnya kian mapan dan berkecukupan merasa perlu dan menjadi gemar berbagi. Mereka berpandangan semakin banyak memberi, semakin banyak pula menerima. Bersedekah atau berzakat menjadi sesuatu yang “keren” belakangan ini.
Hanya saja, kita boleh bertanya: sampai kapan fenomena ini berlangsung?
Kita tentu berharap ini bukan “kehebohan” sesaat. Jangan sampai seperti fenomena Ramadan di Indonesia. Setiap Ramadan orang-orang mendadak religius: rajin ke masjid, baca Quran, sedekah, menonton sinetron Islami, mendengar lagu religi dll. Tapi selepas Ramadan seolah semua menguap begitu saja.
Nah, apakah kedermawanan umat ini hanya sesaat? Sampai kapan nasi bungkus akan ada di masjid-masjid? Hanya waktu yang akan menjawab.