Konstelasi politik Turki mengalami dinamika dan transformasi yang begitu cepat berubah. Berbagai kebijakan dan keputusan pemerintahan Erdogan mencuri perhatian bagi situasi politik internasional.
Ambil contoh, kebijakan presiden Recep Tayyib Erdogan mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid. Keputusan kontroversial tersebut memicu perdebatan dan penolakan dari berbagai pihak yang tak terima atas kebijakan Erdogan tersebut.
Tidak hanya itu, perseteruan yang terjadi antara Turki dan Yunani juga menjadi isu global yang patut dicermati. Sengketa antar kedua negara terkait persoalan eksplorasi gas bumi membuat Turki-Yunani terus berseteru.
Sementara, pihak Yunani menentang keras tindakan Turki untuk mengeksplorasi Laut Mediterania timur. Bahkan, Uni Eropa (UE) juga memediasi kedua negara untuk saling berdamai. Mengingat kedua negara juga tergabung dalam anggota NATO.
Neo-Ottomanisme dan Peran Erdogan
Konstelasi politik Turki kontempoter patut dicermati serius. Neo-Ottomanisme dianggap sebagai fase baru di Turki. Neo-Ottomanisme yang dimaksud dalam persoalan ini yakni lebih pada soft power Turki dalam pentas geopolitik kawasan maupun internasional.
Situasi ini menandai awal perjalanan Turki dalam merangkul visi geostrategik di lanskap regional maupun global. Kebijakan dan pola yang dibangun oleh Erdogan adalah Turki sebagai negara besar yang pernah menjadi pemimpin dunia Islam.
Erdogan ingin memperlihatkan pada dunia bahwa Turki adalah sebuah bangsa Muslim, tata negara demokratis, sekuler, dan sebagai kekuatan ekonomi kapitalis. Keputusan-keputusan penting yang diambil Erdogan berpengaruh besar dalam situasi politik Turki.
Pemerintahan Erdogan juga ingin membawa Turki dari sekularisme konservatif menuju sekularisme moderat. Artinya sistem pemerintahan tetap sekuler, tetapi juga tetap mengakomodir kelompok-kelompok lainnya.
Neo-Ottomanisme memang diklaim tidak menyerukan imperialisme kembali atau melembagakan sistem hukum Islam. Tetapi lebih menyukai versi sekularisme yang lebih moderat di dalam negeri dan aktivisme yang lebih intens di luar negeri.
Mereka juga merangkul Barat karena warisan Eropa sangat penting mengingat masa lalu Ottoman yang pernah menguasainya. Ini berbanding terbalik dengan ideologi Kemalisme yang memilih memperkuat nasionalisme dan tidak tertarik menjangkau kawasan sekitar serta menerapkan sekularisme dengan tegas.
Erdogan dan AKP menjadi gerbong perubahan dalam pengelolaan kebijakan dan keputusan politik pemerintah Turki. AKP dianggap sebagai bagian perjuangan pos-Islamisme, tanpa menghambat sekularisme yang telah hidup dan tumbuh subur di Turki.
Sebagaimana dalam praktiknya, Erdogan mengepalai dan memimpin Partai Keadilan dan Pembangunan, atau dalam bahasa Turki, Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP), selama lebih dari 16 tahun.
Neo-Ottomanisme sendiri di luar negeri secara kasar mengacu pada kebangkitan kembali pengaruh Turki di wilayah Timur Tengah dan menjadikan Ankara sebagai kekuatan utama di kawasan.
Wilayah Laut Mediterania timur juga menjadi wilayah yang strategis bagi Turki. Intervensi militer Erdogan di Libya adalah contohnya. Dia telah mengerahkan tentara Turki dan tentara bayaran dari Suriah untuk menopang Pemerintah Kesepakatan Nasional, Government of National Accord (GNA) yang diakui PBB dan bermarkas di Tripoli.
Tidak hanya itu, Erdogan juga memusuhi Uni Eropa (UE) dengan menolak mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tetangga Siprus dan Yunani di pantai Mediterania timur. Erdogan secara sepihak mengirim peralatan pengeboran ke wilayah laut Siprus pada 2018, dan melakukan operasi yang menyebabkan Turki dikecam sebagai negara “bajak laut” oleh Siprus.
Masa Depan Politik Turki: Menuju Sekuler atau Pos-Islamisme?
Situasi politik Turki kontemporer menjadi perbincangan dan diskusi menarik. Sebagai negara dengan sejarah kekhalifahan Islam yang kuat, Turki dianggap menjadi salah satu negara yang berhasil memisahkan antara agama dan politik negara.
Akan tetapi, Turki di tangan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan, Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) dianggap memiliki kecenderungan ke arah Pos-Islamisme. Artinya, mereka melakukan kompromi dengan kenyataan politik, pragmatisme dalam menjalankan program pemerintah, dan sikap toleran terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Yang terbaru, langkah presiden Erdogan mengubah Hagia Sophia sebagai masjid juga diduga didorong oleh kepentingan politik untuk mengamankan posisi di pemilihan umum Turki pada 2023 mendatang. Di lain pihak, Erdogan juga terus terancam dengan kehadiran partai politik baru Gelecek Partisi atau Partai Masa Depan yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu.
Erdogan dan Davutoglu terlibat persaingan memperebutkan kekuasaan di internal partai. Hal itu terlihat ketika Davutoglu dan Erdogan mendukung kandidat berbeda dalam pemilihan kepala daerah pada 2015 silam. Singkat kata, Davutoglu dan Erdogan pecah kongsi. Davutoglu memutuskan mundur dari AKP dan mendirikan partai baru.
Ke depan, proses politik Turki akan menunjukkan pola yang mengarah pada Neo-Ottomanisme. Tetapi, fenomena Pos-Islamisme dalam tubuh AKP juga mendominasi sebagai bagian penting dalam perubahan politik Turki.
Perebutan kursi presiden di 2023 mendatang akan menyuguhkan kontestasi para elit dan aktor politik Turki. Situasi ini menjadi semakin seru. Turki dengan pelbagai dinamika dan konfrontasi yang bergejolak menampilkan wajah politik yang dinamis. Pertanyannya, akankah sekularisme masih bertahan dengan mengakomodasi kelompok-kelompok lain?