Maryam Lee dan Kontroversi Kebebasan Tidak Berjilbab Perempuan Malaysia

Maryam Lee dan Kontroversi Kebebasan Tidak Berjilbab Perempuan Malaysia

Maryam Lee mengatakan bahwa tanpa kriminalisasi hukum, perempuan di malaysia menghadapi kriminalisasi sosial ketika mereka ingin melepas jilbab.

Maryam Lee dan Kontroversi Kebebasan Tidak Berjilbab Perempuan Malaysia

Maryam Lee bisa dibilang sebagai sosok perempuan paling kontroversial di Malaysia saat ini. Belakangan ia menjadi orang yang banyak dibicarakan di media sosial Malaysia dan menerima pelecehan secara verbal. Tidak hanya itu, ia diselidiki oleh otoritas Agama Malaysia dan terancam dijerat secara hukum.

“Tindakan kriminal” yang ia perbuat adalah menyuarakan keputusannya untuk berhenti mengenakan jilbab, dan mengkritik sebagian pemahaman dalam Islam yang menurutnya adalah bentuk patriarki yang terlembaga.

Mayoritas masyarakat Muslim di Malaysia memang menjalankan praktik beragama Islam secara moderat. Akan tetapi, arus konservatisme agama Islam semakin menguat dalam beberapa tahun belakangan.

Maryam Lee mengenakan jilbab sejak usia sembilan tahun, mengatakan bahwa dia menyadari di usia pertengahan 20-an bahwa ia berjilbab lebih kepada menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial dibandingkan memenuhi persyaratan agama, dan akhirnya memutuskan untuk melepas jilbab.

“Sepanjang hidup saya, saya telah diberitahu bahwa [memakai jilbab] adalah wajib dan jika saya tidak memakainya, saya berdosa. Dan kemudian saya akhirnya menemukan bahwa sebenarnya tidak, jadi saya merasa sangat tertipu – seperti sepanjang hidup Anda, Anda telah diberitahu satu hal, dan ternyata itu bohong,” jelasnya diberitakan oleh DW.com Senin (21/9) kemarin.

Melepaskan jilbab sendiri merupakan sebuah keputusan yang sulit bagi Maryam secara pribadi. Namun ketika keputusannya ini ia sampaikan secara terbuka dalam bukunya, “Unveiling Choice”, ia menerima reaksi yang keras bahkan sampai ancaman kematian.

Buku tersebut menceritakan kisahnya dalam melawan pandangan patriarkhi dalam agama Islam dan masyarakat secara luas. Dalam sebuah acara peluncuran bukunya, ia berbicara dalam sebuah acara diskusi bertajuk “Malay Women and De-hijabbing”, yang mengundang lebih banyak kritik dan komentar.

Kementerian urusan Agama Malaysia sebagai otoritas urusan agama tidak ketinggalan bereaksi. Ia dipanggil untuk diperiksa dan diinterogasi atas pernyataan-pernyataannya di buku tersebut. Pemeriksaannya berdasarkan undang-undang larangan penghinaan terhadap Islam, yang mana sebagian daerah di Malaysia menganut hukum Syariah.

Pada hari Senin (21/9) diberitakan oleh DW.com, Maryam mengatakan bahwa ia menerima surat panggilan yang berisi perintah untuk memberikan pernyataan untuk membantu penyelidikan sesuai dengan Pasal 58 (1) dari Hukum Acara Pidana Syariah (Selangor) 2003.

Dari sudut pandang pejabat dan otoritas agama Malaysia, Maryam Lee dituduh mengajak dan mendorong perempuan lain untuk tidak berjilbab. Namun Maryam menegaskan maksudnya bukan demikian.

“Saya tidak memberi tahu wanita apa yang harus dipikirkan, saya meminta mereka untuk meninjau ulang asumsi dan teori tertentu yang telah diajarkan kepada mereka selama bertahun-tahun,” demikian ungkap Maryam.

Maryam Lee menambahkan, “Bahkan tanpa kriminalisasi hukum, perempuan menghadapi kriminalisasi sosial ketika mereka ingin melepas jilbab,”

Maryam menambahkan bahwa perempuan sepertinya berada dalam “penjara ekspektasi masyarakat”.

Kelompok pembela hak asasi manusia di Malaysia, Sisters in Islam, setuju bahwa perempuan tanpa jilbab berada di bawah pengawasan ketat dari keluarga dan di depan umum – membuat keputusan untuk tidak berjilbab menjadi sangat “sulit dan traumatis”.

Maryam berargumen bahwa pilihannya tidak berjilbab adalah menjauh dari instruksi patriarki, bukan karena atas dasar imannya. “Saya terlahir sebagai seorang Muslim, saya masih seorang Muslim – saya tidak lantas menjadi kurang Muslim karena saya telah melepas jilbab saya,” ungkapnya.

Maryam Lee jelas tidak sendiri. Di Malaysia, beberapa figur dan politisi perempuan diketahui tidak berjilbab. Ambil contoh beberapa politisi perempuan di Malaysia seperti Rafidah Aziz dan mantan gubernur bank sentral Zeti Akhtar Aziz, diketahui tidak berjilbab. Istri dan putri mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, juga diketahui tidak mengenakan jilbab.