Bercadar Bukanlah Teroris, Tak Berjilbab Bukan Berarti Pelacur

Bercadar Bukanlah Teroris, Tak Berjilbab Bukan Berarti Pelacur

Ini tentang jilbab dan saya dedikasikan untuk Ibu Sinta Wahid

Bercadar Bukanlah Teroris, Tak Berjilbab Bukan Berarti Pelacur
Gisele Marie, seorang musikus asal Brasil, menjadi salah satu simbol hijab mental. Source: Al Arabiya News

Saya memiliki seorang mahasiswi salafi. Sebagai pengikut salafi, pakaiannya khas. Jubah dilapisi dengan hijab panjang serta bercadar, di mana seluruhnya ini berwarna gelap, kalau tidak hitam ya biru dongker.

Tidak ada cerita kontroversial tentang mahasiswi ini di kelas saya. Saya justru ingin bercerita bahwa dia diterima dengan baik. Tidak ada pengucilan, tidak ada umpatan, tidak ada olokan. Saya sendiri memperlakukannya seperti apa adanya.

Berkali-kali di kelas saya menyatakan secara terbuka bahwa saya akan membela hak orang dalam memilih bagaimana harus berpakaian. Bahkan di belakangnya, diam-diam saya berpesan kepada mahasiswa-mahasiswi lain agar tidak ada sikap, perkataan, apalagi tindakan, yang membuat si mahasiswi salafi itu merasa direndahkan dan disingkirkan.

Saat ini, si mahasiswi salafi ini sedang dalam proses bimbingan skripsi dengan saya. Selama ini, hubungan saya dengannya cukup baik. Sebegitu baiknya, sehingga saya bisa bercanda dengannya tanpa membuatnya risih.

Suatu hari dia mendatangi saya untuk konsultasi. Saya bertanya sambil bercanda, “Ini Soraya [bukan nama sebenarnya]?” “Ya pak, masak lupa?” jawabnya. Saya melanjutkan gurauan, “Saya kan gak bisa melihat wajahmu. Mestinya kamu menempelkan semacam name tag di dada agar saya tahu bahwa ini Soraya.” Terdengar suara tawanya pelan dari balik cadar hitam.

Dia sedang menyusun skripsi dengan tema kesan orang-orang Nasrani terhadap perempuan bercadar. Di sela-sela konsultasi inilah dia berseloroh tentang betapa seringnya perempuan bercadar dicap sebagai teroris. Saya terdiam mendengar pengakuannya. Saya membayangkan betapa beratnya dia menanggung cap itu padahal dia tidak melakukan apa-apa.

Saat itu saya katakan kepadanya, kurang lebih seperti ini:

“Nduk, saat ini kita hidup dalam suasana yang dipenuhi prasangka. Orang tidak lagi punya keberanian untuk membuka diri dan mengenal orang lain apa adanya. Orang lain selalu didefinisikan berdasarkan apa yang ada di kepalanya. Sayangnya, apa yang ada di kepala seringkali adalah tumpukan kecurigaan dan tuduhan, bukan fakta yang sesungguhnya.

Dari mana kecurigaan ini berasal? Dia bisa berasal dari mana saja, salah satunya adalah dari prasangka lingkungan yang terus-menerus ditanamkan ke dalam diri kita. Jangan heran jika tiba-tiba ada seseorang yang takut kepada orang Madura, hanya karena orang itu orang Madura. Mengapa? Karena lingkungan di mana dia tumbuh terus-menerus menyuntik otaknya dengan serum “Orang Madura itu kasar dan jahat.”

Ketika ia bertemu dengan orang Madura yang baik, dia tekaget-kaget, “kok ada orang Madura baik?” Sedihnya adalah, ketika dia tidak merevisi prasangkanya, tapi realitas yang tidak sesuai dengan prasangkanya dianggapnya sebagai anomali.

Nduk, kurang lebih begitulah saat ini orang memandang perempuan bercadar. Perempuan bercadar begitu saja dianggap sebagai teroris. Sebetulnya, tidak ada hubungan apapun antara cadar dengan terorisme.

Apakah cadar yang ditutupkan ke kepala seorang perempuan akan mengirim semacam kilatan-kilatan listrik kekerasan ke otak pemakainya sehingga si pemakai langsung ingin meledakkan bom? Tidak.Lalu dari mana prasangka itu lahir?

Prasangka itu lahir salah satunya dari derasnya berita tentang perempuan bercadar yang telibat dalam aksi terorisme. Berita ini kemudian membentuk kesadaran asosiatif bahwa perempuan bercadar adalah teroris. Seperti stereotipe orang Madura yang “kasar dan jahat”, perempuan bercadar secara tidak adil telah dilekati cap sebagai teroris.

Sebegitu tidak adilnya cap terhadap perempuan bercadar, hingga jika ada perempuan bercadar yang baik, terbuka dan mau bergaul dengan semua kelompok, bersikap toleran kepada orang yang berbeda, dan pluralis seperti kamu, itu semua dianggap kepura-puraan.

Nduk, Apakah prasangka negatif ini hanya menimpa pada perempuan bercadar? Kamu pasti tahu bahwa tidak semua perempuan bercadar memiliki hati dan cara pandang sebaik dirimu. Tidak sedikit perempuan bercadar [dan kelompok pendukungnya] yang karena menganggap dirinya paling benar dan suci, lalu menganggap perempuan yang tak bercadar adalah kumpulan para pendosa.

Mereka tidak mau bergaul dengan perempuan-perempuan yang tak bercadar dan tak berjilbab karena meyakini bahwa bergaul dengan perempuan-perempuan pendosa itu hanya akan menyeretnya ke dalam api neraka. Kamu pasti juga tahu di antara para perempuan bercadar itu sebegitu menghinanya kepada perempuan yang tidak berjilbab sampai menganggapnya tidak lebih dari lonte yang hina. Karena dianggap sebagai lonte, bahasa-bahasa kepada perempuan tak berjilbab penuh dengan makian yang merendahkan. Para perempuan bercadar ini menganggap dirinya adalah Malaikat Malik penjaga neraka yang berhak menyiksa para pendosa.

Nduk, kita saat ini hidup dalam suasana yang dipenuhi kebencian. Orang hampir kehilangan cara untuk menyelesaikan perbedaan kecuali hasrat untuk saling memusnahkan. Apakah mereka orang yang tidak dididik agama? Justru itulah ironinya. Mereka adalah orang-orang yang sering berdalil memakai kitab suci, berteriak-teriak membela Allah. Mereka memiiki satu cara pandang tertentu atas ayat suci, tapi mereka menganggap bahwa mereka telah mengetahui rahasia kebenara Tuhan, hingga memutlakkan pandangannya. Dengan begitu mereka merasa berhak untuk melihat orang lain yang berbeda sebagai setan. Mengapa? Karena dialah kini yang telah berubah menjadi Tuhan.

Nduk, kamu memakai cadar untuk menjaga kehormatanmu. Pilihanmu itu harus dihormati oleh siapa saja. Saya hanya ingin mengatakan padamu, lihatlah perempuan-perempuan yang tidak memaki cadar dan tidak berjilbab, misalnya perempuan dengan seragam kantoran atau mahasiswi, apakah mereka otomatis kehilangan kehormatan sebagai seorang perempuan? Apakah mereka perempuan bejat terlaknat? Apakah mereka layak dimaki dan diperlakukan seperti pelacur hanya karena mereka tidak berjilbab?

Kamu boleh menganggap bahwa mereka berdosa karena tak memakai jilbab atau bahkan cadar, tapi keyakinanmu itu hanya salah satu dari sekian tafsir tentang aurat perempuan. Kebenaran yang kamu yakini bukanlah satu-satunya kebenaran karena kamu bukan Tuhan sang pemilik kebenaran. Jika hatimu terluka karena dianggap sebagai teroris hanya karena kamu memakai cadar, sesakit itulah hati para perempuan yang tak berjilbab saat mereka dinista sebagai perempuan bejat hanya karena mereka tak menggunakan jilbab”.[]