Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel bagian pertama: Maryam dalam Al-Quran Sebagai Pribadi Trinitas? (Bagian 1)
Selanjutnya, ajaran dari sekte yang dianggap sempalan tersebut kemungkinan menyebar di wilayah jazirah Arab, sehingga pada akhirnya komunitas sekte tersebut berinteraksi dengan agama Islam. Sehingga dalam beberapa ayat di Al-Qur’an kemudian merespon atas kepercayaan yang dianut oleh sebagian umat Kristen yang mendiami wilayah Jazirah Arab.
Berlanjut ketika Islam datang, atau lebih tepatnya ketika setelah nabi dilahirkan. Perjumaan antara Islam (Nabi Muhammad) dan Kristen dimulai ketika nabi Muhammad berusia duabelas tahun, beliau ikut kafilah dagang bersama dengan pamannya Abu Thalib ke Suriah. Di sana, ia bertemu dengan salah satu rahib yang bernama Bahira (Bukhaira). Perjumpaan penting yang kedua adalah ketika nabi Muhammad sudah memiliki posisi dan peranan penting di kota Madinah sekitar tahun 628 M. Saat itu nabi Muhammad menerima utusan dari kaum Kristen kota Najran (penganut Kristen Monofisit).
Pada tahun yang sama, Maria al-Qibtiyya menikah dengan Nabi Muhammad. Maria lahir di Mesir dari orang tua yang bergama Kristen Koptik. Kemudian Maria diutus ke Madinah dan kemudian diperistri Nabi Muhammad pada tahun 628 M.
Dari peristiwa sejarah di atas dapat diketahui, bahwa situasi yang dihadapi oleh umat muslim di zaman Nabi Muhammad masih hidup adalah, bahwa Nabi Muhammad tidak banyak bertemu langsung dengan kaum Kristen.
Adapun perjumpaan yang lain adalah perjumpaan antara nabi Muhammad dan orang Kristen yang terjadi menjelang akhir hayat nabi Muhammad. Saat itu nabi mengirim surat kepada para penguasa negara-negara tetangga di sekitar jazirah Arab yang berisi seruan agar mereka bersedia untuk menerima Islam. Surat tersebut tidak hanya dikirim ke raja-raja Kristen seperti Kaisar Bizantium, Heraklius, dan Najasyi yang ada di Abissinia, bahkan ditemukan dalam riwayat bahwa nabi juga mengirim seorang utusan ke Kisra Sasania
Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 M, umat Muslim lebih banyak berinteraksi dengan umat Kristen dan agama lainnya sebagai dampak ekspansi wilayah yang mereka lakukan. Mayoritas penduduk yang ditaklukkan di daerah Bizantium adalah pengikut Kristus, daerah taklukan Kerajaan Sasania terdapat beberapa kelompok kecil penganut Kristen Nestorian. Sehingga dapat ditemukan di banyak penjelasan kitab tafsir penyebutan sekte-sekte tersebut.
Sebagai jawaban atas runtutan permasalahan ketimpangan yang disebutkan di atas, sebab turunnya ayat al-Qur’an tentang penyebutan Maryam sebagai salah satu oknum ketuhanan trinitas adalah dikarenakan adanya interaction of trans-divine religion, yakni adanya proses interaksi antar agama samawi (Islam dan Kristen).
Dalam interaksi tersebut kemudian terjadi banyak hal, seperti perebutan wilayah kekuasaan politik, keterpengaruhan budaya-agama, hingga saling respon terhadap ajaran teologis masing-masing agama, dan masih banyak lagi hal yang disebabkan karena proses interaksi tersebut.
Sebagai bagian dari proses interaksi tersebut, kemudian al-Qur’an merespon ajaran Gereja, karena ada dua arus besar perselisihan keyakinan terhadap konsep teologi trinitas, yakni permasalahan pribadi ketiga dalam trinitas. Antara Roh Kudus sebagai ajaran Kristen yang diakui (mainstream), atau pribadi ketuhanan Maria yang dianggap menyimpang (heterodoks). Terhadap hal ini kemudian al-Qur’an turun untuk memberikan pesan ada apa dibalik interaksi tersebut.
Selain itu, al-Qur’an juga merespon atas apa yang dipraktikkan beberapa golongan dari umat Kristen terhadap Maryam yang mereka anggap memiliki keistimewaan. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Maryam adalah seorang Bunda Allah, yakni yang melahirkan Allah dalam bentuk inkarnasi di dunia. Kemudian dari kedudukan Maryam sebagi Bunda Allah ini, timbul sebuah ajaran berupa devosi yang ditujukan kepada Maria. Beberapa golongan dari umat Kristen kemudian mempraktikkan devosi yang melewati batas, sehingga Maryam dijadikan pribadi trinitas, bahkan Tuhan, karena praktik peribadatan yang ditujukan kepadanya.
Selain itu al-Qur’an secara eksplisit menyampaikan atau menunjukkan historisitas agama Kristen atas perselisihan umat Kristen mengenai ketuhanan Maryam (dalam hal ini, perihal mengenai ketuhanan Maryam merupakan sebuah kesepakatan gereja dalam konsili yang pernah digelar), yang menurut pandangan Kristen, suatu kelompok akan dianggap sesat atau heterodox secara ajaran teologis jika kelompok tersebut tidak menyepakati konsili.
Melihat bunyi ayat QS. al-Maidah: 116, pada ayat tersebut menunjukkan adanya dialog antara Allah dengan Nabi Isa. Jika melihat pada makna historis (konteks historis), maka ada ayat ini menunjukkan pentingnya dialog antara berbagai macam perbedaan kepercayaan dan agama, guna untuk mendapatkan titik temu. Baik perbedaan dari segi teologis, atau apapun itu. Jika tidak mendapatkan titik temu, maka cukup dari dialog tersebut dapat saling mengerti dan memahami antar satu sama lain.
Dalam ayat ini, Allah menunjukkan bahwa dialog sangat penting dilakukan meskipun pada dasarnya konflik perbedaan kepercayaan sudah terjawab sebelum dilakukannya dialog tersebut.
Dialog dilakukan sebagai solusi ketika adanya konflik perbedaan. Oleh karenanya perbedaan bukan untuk dipermasalahkan yang bahkan dapat berakibat pada perpecahan, permusuhan, hingga peperangan. Ketika manusia tidak menerima adanya perbedaan, pada dasarnya ia telah mengingkari sunnah Allah yang menciptakan manusia berbeda-beda baik golongan, bangsa, dan lain-lain sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam QS. Al-Hujurat: 13. [rf]