Berpikir secara ilmiah, memercayai wasilah, dan tetap meyakini barokah; adalah manifestasi Islam Aswaja yang terus hidup dari era ke era. Islam tradisionalis, dalam hal ini Islam Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) Nusantara, kerap dianggap kurang ilmiah, ndeso, dan terlalu berorientasi pada perkara tahayul, bid’ah, dan khurofat. Tentu itu anggapan salah dan wajib untuk diluruskan.
Islam Aswaja, justru terbukti sebagai Islam yang amat ilmiah dari generasi ke generasi. Ini terbukti dengan lahirnya para “intelektual bersarung” yang keberadaannya tak hanya diakui majelis demonstrasi, tapi diakui dunia.
Keberadaan intelektual bersarung asal Nusantara, terbukti telah meramaikan khazanah Islam dunia — yang kala itu berpusat di Tanah Haramain — dengan membentuk identitas Al Jawi sebagai nisbat nama mereka.
Ini bukti betapa Islam Aswaja bukan sekadar Islam simbol. Islam fashion. Islam seremonial. Islam teriakan. Atau islam-islam etalase lainnya. Islam Aswaja adalah Islam esensi. Islam Hakiki. Islam yang intelektualitasnya tak hanya keluar dari tenggorokan, tapi mendarah daging dan mentradisi.
Jauh sebelum kata “hijrah” dan “jihad” menjadi mode-latah-kapitalistik seperti saat ini, intelektualitas ulama Nusantara sudah masyhur dan diakui dunia sejak ratusan tahun silam, sebelumnya. Tepatnya pada abad 17 (1600 Masehi).
Jauh sebelum istilah “hijab” dan “syar’i” menjadi mode-latah-industrialistik seperti saat ini, intelektualitas ulama Nusantara sudah masyhur dan diakui sebagai kawah candradimuka ilmu pengetahuan Islam masyarakat dunia.
Kita harus ingat, Syekh Nawawi Al Bantani pernah dideportasi dari Makkah ke Indonesia, hanya karena kecemburuan ulama Makkah atas kecerdasan akademis Syekh Nawawi. Ini terjadi pada rezim Syekh Awn Al Rafiq yang memiliki otoritas menunjuk pengajar di Masjidil Haram (periode 1882-1905 masehi).
Meski pada akhirnya —atas desakan para pelajar di Haramain— Syekh Nawawi diminta dengan hormat untuk kembali lagi mengajar di Makkah, setidaknya ini menunjukkan betapa ulama Nusantara punya bargaining power yang luar biasa di bidang keilmuan. Bukan di bidang fashion.
Kita juga harus ingat bahwa Syekh Sa’dullah Al Maimani, ulama besar (Mufti) Bombay India, sangat mengagumi gurunya yang berasal dari Jawa, yakni Syekh Mahfudz Tremas dengan kekaguman yang amat luar biasa besar.
Syekh Sa’dullah akan memuliakan siapapun orang Indonesia yang dia temui di jalan, hanya karena gurunya (Syekh Mahfudz Tremas), berasal dari Indonesia. Ini membuat banyak ulama Indonesia yang melintas di Bombay, selalu dia muliakan serupa dia memuliakan Syekh Mahfudz Tremas.
Kisah tentang kehebatan Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz Tremas di kancah dunia itu, tertulis secara rapi di buku karya KH Aziz Masyhuri yang berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia (Jilid 1, terbitan Keira Publishing 2017).
Syekh Nawawi dan Syekh Mahfudz adalah ulama Aswaja yang tak hanya menulis karya (berpikir secara ilmiah). Tapi juga berziarah (percaya wasilah), tahlilan, yasinan, dan, tentu saja mauludan (meyakini barokah).
Leluhur Kita adalah Pemikir dan Penulis
Abad 17 hingga 20, adalah era kejayaan ulama Nusantara (Al Jawi) di Makkah Al Mukaromah. Masyarakat Nusantara yang berada di Makkah sangat dihormati sebagai ulama. Bukan dihormati karena suka belanja gamis di sana. Tapi dihormati sebagai ulama. Ini penting untuk diketahui.
Pada abad ke-17, Abdurrauf As-Singkili Al Jawi (1615-1693), ulama besar dari Aceh, sudah menulis banyak kitab. Azyumardi Azra menyatakan, banyak karya-karya Abdurrauf Singkili yang sempat dipublikasikan murid-muridnya. Di antaranya adalah sebuah kitab berjudul Tarjuman al-Mustafid.
Pada abad 18 ada sosok ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Al Jawi (1710 – 1812) yang menulis sekitar 5 kitab. Diantara kitab yang terkenal adalah kitab Sabilal Muhtadin. Di zaman dan periodisasi yang sama, ada sosok ulama besar Palembang, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani Al Jawi (1704-1789), yang menulis 15 kitab. Salah satu kitab yang terkenal berjudul Nasihatul Muslimin.
Kita harus ingat, baik Syekh Abdurrauf As-Singkili, Syekh Arsyad Al Banjari, atau Syekh Abdul Shomad Al Falimbani adalah ulama Aswaja. Intelektual bersarung yang berpikir secara ilmiah, mempercayai wasilah, dan tetap meyakini barokah.
Pada abad berikutnya, yakni abad 19 hingga 20, kembali muncul ulama-ulama Nusantara yang amat dikagumi dunia Timur Tengah dari sisi keilmuannya, bukan dikagumi karena rajin mengucap istilah-istilah Arab tapi tak tahu artinya.
Di antara mereka adalah intelektual bersarung yang tak hanya pandai pegang microphone dan manggung, tapi juga memiliki karya ilmiah berupa kitab yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari tangan manusia, saking banyaknya. Diantara mereka adalah;
Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi (1813 – 1897), mengarang lebih dari 115 kitab berbagai fan ilmu. Bergelar Sayyidul Ulama Hijaz, pimpinan ulama tanah Haramain. Bahkan saking populernya, sampai namanya masuk dalam kamus Bahasa Arab, Al Munjid.
Syekh Sholeh Darat al- Samarani Al Jawi (1820 – 1903). Total karya beliau mencapai 14 kitab bermacam fan ilmu, dari fiqih, tauhid, tafsir, hadis, hingga tasawuf. Selain tafsir Faidh Al Rahman, beliau dikenal sebagai sosok Kiai yang mempopulerkan kaidah Al Lughoh Al Jawiyyah Al Merikiyyah pada abad 19.
Syekh Mahfud Tremas Al Jawi (1842-1920). Total karya beliau mencapai 20 kitab bermacam fan ilmu. Karya-karya tulis beliau telah tercetak dan tersebar di seantero dunia Islam. Namanya populer di Mesir sebagai sosok ulama besar islam. Karya-karyanya mudah dijumpai di toko buku Mushtafa bab Al Halabi, Al Azhar Mesir.
Syekh Khatib Al Minangkabawi Al Jawi (1860-1916). Murid dari Syekh Nawawi Al Bantani ini memiliki banyak karya tulis. Karya tulisnya bahkan dibagi jadi dua kelompok bahasa. Tercatat, sebanyak 25 kitab berbahasa Arab dan 21 kitab berbahasa Melayu. Karya beliau menyisir berbagai fan ilmu dengan ditulis Arab Pegon.
Kita harus ingat bahwa Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Sholeh Darat, Syekh Mahfudz Tremas, hingga Syekh Khotib Minangkabau adalah guru dari para muasis NU. Ini bukti bahwa para muasis NU memiliki darah genealogi dalam intelektualitas pemikiran dan produktivitas menulis.
Maka tak heran jika KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Faqih Maskumambang, KHR Asnawi Kudus, dan para muasis NU lainnya adalah ulama kharismatik yang juga memiliki produktivitas menulis di atas rata-rata. Sebab, guru-gurunya adalah penulis.
Kiai-kiai sepuh NU adalah penulis produktif. Bahkan muasis NU daerah pun, mayoritas adalah pemikir dan penulis. Ini alasan utama sekaligus alasan sahih, kenapa NU adalah satu-satunya organisasi Islam dunia yang paling banyak pemikir dan penulisnya.
Jika para guru muasis NU, para muasis NU, dan para sesepuh NU adalah para penulis, maka sudah sepatutnya masyarakat Nahdliyyin saat ini adalah pemikir dan penulis. Leluhur NU adalah penulis, bukankah kita harus samikna wa’athokna untuk mengikuti jejak guru-guru kita?
Kita harus ingat bahwa dalam darah genealogi kita mengalir spirit ulama penulis. Spirit manifestasi Aswaja yang mentradisi dari era ke era; berpikir secara ilmiah, mempercayai wasilah, dan tetap meyakini barokah. Long Life Intelektual Bersarung!