Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Sejarah dan peninggalannya mampu merekam berbagai peristiwa masa lalu masyarakat nusantara dalam memperingati hari-hari bersejarah. Seperti memperingati peristiwa Isra Miraj, peringatan Asyura, Ramadhan, Haul dan banyak lagi tradisi yang lahir dari penghargaan masyarakat atas sejarah.
Dalam konteks sejarah, banyak hal yang bisa kita temui salah satunya adalah peninggalan sejarah yang perlu dijaga dan dirawat. Sebagaimana makam Tolobali yang berada di Bima adalah satu dari sekian peninggalan sejarah Islam di Indonesia Timur, yang di dalamnya jelas menyimpan banyak peristiwa penting masyarakat Bima.
Makam Tolobali adalah salah satu komplek makam keramat yang berada di kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Makam yang terletak di kampung Tolobali kelurahan Sarae ini, menjadi tempat bersemayam jasad empat (4) tokoh penting dalam sejarah perkembangan Islam di tanah Bima yaitu Sultan II Abdul Khair Sirajudin (Ruma Mantau Uma Jati) yang wafat pada 22 Dzulhijjah1091 H, Sultan III Nuruddin (Ruma Ma Wa’a Paju Monca), Sultan IV Jamaluddin (Ruma Ma Wa’a Rowo) dan yang terakhir adalah Syekh Umar al-Bantani yang merupakan ulama berpengaruh di zaman pemerintahan Sultan Sirajudin, sebab beliau adalah guru dari sultan ke-II tersebut.
Pada masa perkembangan Islam dalam sejarah Bima yang tercatat dalam naskah Bo’ Sangaji Kai, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Sirajudin, Islam berkembang yang kemudian diteruskan oleh anaknya yaitu Sultan Nuruddin yang disebut-sebut menyambung sanad keilmuannya sampai tanah Cirebon, bahkan Banten (mengingat guru beliau adalah Syekh Umar al-Bantani yang merujuk pada wilayah Banten). Sultan Sirajudin pun, dalam literatur sejarah, adalah seorang pemimpin kesultanan sekaligus dikenal pula sebagai ulama yang berpengaruh.
Pada masa pemerintahan sultan ke-II inilah dibentuk semacam majelis ulama yang mengurus persoalan keagaman, kegiatan keagamaan seperti melantunkan bacaan kitab suci di istana dengan maksud agar didengar oleh masyarakat sekitar. Tidak hanya itu, pada masa pemerintahannya, sultan Sirajuddin menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi untuk yang pertama kalinya di kesultanan dengan membuat upacara “Hanta Ua Pua” sebagai upacara khusus pada Maulid. Perayaan ini bisa disebut juga dengan “Wura Molu”. Setiap kebijakan mengenai kehidupan masyarakat bisa, sang sultan selalu meminta pertimbangan sang guru yaitu Syekh Umar al-Bantani atau dikenal dengan nama “Sehe Banta” oleh masyarakat Bima.
Makam Tolobali menyimpan sejarah penting bagaimana seorang pemimpin memperlakukan seorang ulama atau keharmonisan antara ulama’ dan umara’ yang tergambar jelas di antara Sultan Sirajuddin dan Sehe Banta.
Tolobali sendiri adalah tanah perdikan yang dikembalikan oleh Sultan kepada masyarakat untuk digarap oleh masyarakat atas permintaan sang guru. Dari situ lah, Tolobali berarti Tolo yang berarti sawah dan bali yang berarti kembali. Atas peristiwa itu masa kejayaan kesultanan Bima di bidang keagamaan, politik, pendidikan dan ekonomi berkembang pesat, yang kemudian diteruskan oleh anaknya yaitu Sultan III Nuruddin sampai ke masa pemerintahan Sultan Ibrahim.
Kini, makam bersejarah itu tak lagi terawat dengan baik. Di hari jadinya yang ke-379, harusnya menjadi titik awal kota Bima untuk merefleksikan berbagai sejarah penting daerah di timur pulau Sumbawa ini. Sebagai refleksi untuk kemudian menanamkan kepada jiwa setiap putra-putrinya untuk menghargai sejarah dan para pahlawan yang berjasa terutama para ulama’ dan umara’ yang telah berjasa menegakkan Islam di tanah Bima hingga lestari sampai hari ini.
Saat terakhir berkunjung ke makam Tolobali, saya merasa miris karena keadaan makam yang tidak terawat lagi. Padahal makam Tolobali merupakan salah satu cagar budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan sebagai memori kolektif. Saya ingat papan nama makam dan pagar makam yang mulai roboh. Menurut catatan terakhir, makam ini dipugar pada tahun 1998, yang artinya ia tersentuh oleh pembangunan yang terakhir kalinya sekitar 21 tahun yang lalu.
Merawat peninggalan sejarah adalah merawat ingatan masa lalu, terutama masa kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Sirajuddin. Sebagai seorang pemimpin, sultan Sirajuddin tercatat sebagai pemimpin yang kebijakannya menjadi pondasi tradisi masyarakat Bima sampai hari ini.
Sebut saja seperti tradisi Hanta Ua Pua, dan menempatkan ulama sebagai elemen penting dalam struktur kesultanan Bima. Selain itu kebijakan membentuk majelis agama yang merupakan struktur baru yang dibentuk langsung oleh sultan, sebagai bentuk penguatan ajaran Islam di tanah Bima.
Tidak terawatnya makam Tolobali seharusnya cukup membuat kita generasi hari ini, pemimpin serta masyarakat Bima sudah malu, karena tidak mengingat jasa makam sang sultan, ulama dan para keturunannya dengan baik.