Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter
Mambu ketundhung gudel, pak ampo lera-lere
Sopo ngguyu ndhelikake, sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong
Mari kembali sejenak ke lima abad yang lalu. Wali Songo, sebagai aktor penting dalam proses islamisasi di Tanah Jawa, berhasil menghadirkan wajah Islam yang sangat ramah. Kesuksesan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo dalam proses islamisasi di tanah Jawa tidak lepas dari kecerdasan dalam melihat situasi masyarakat saat itu.
Dalam proses Islamisasi, Wali Songo menggunakan berbagai permainan dan kesenian sebagai senjata utama. Walaupun terlihat sederhana, namun demikian, permainan dan kesenian yang diajarkan Wali Songo menyimpan makna yang mendalam, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial. Pada akhirnya, dakwah melalui permainan dan kesenian telah menjadi khazanah kebudayaan Islam yang dapat dengan mudah dan cepat diterima oleh masyarakat Jawa.
Dalam hal ini, Sunan Giri adalah salah satunya. Melalui alunan lagu dan permainan cublak-cublak suweng (konon sejak tahun 1422 M), Sunan Giri berusaha untuk menyebarkan Islam yang ramah agar dapat dengan mudah diterima serta dipahami siapa saja.
Lagu dolanan ciptaan Sunan Giri tersebut tidak asing, setidaknya bagi generasi terdahulu. Bahkan dolanan tersebut menjadi salah satu permainan favorit bagi anak-anak di sudut-sudut desa sepulang sekolah, tidak terkecuali bagi saya waktu kecil.
Saat permainan akan dilakukan, langkah pertama yang harus dilakukan yakni dengan menentukan pemain yang bertugas sebagai Pak Empo dengan hom pim pah alaihum gambreng untuk membagi peran. Pak Empo memiliki tugas untuk mencari batu kerikil yang nantinya akan disembunyikan di tangan pemain lainnya di atas punggungnya. Adapun permainan ini bisa dimainkan dengan minimal pemain 3 dan maksimal 7 sampai 8 pemain.
Saat permainan dimulai, Pak Empo tersebut mengubah posisinya dengan duduk membungkuk ke lantai, pemain lainnya meletakkan telapak tangan di atas punggung Pak Empo dengan menyanyikan lagu cublek-cublek suweng sampai lagu selesai, pemain lainnya menyembunyikan batu tersebut dan Pak Empo menebak dimana batu kerikil tersebut berada. Apabila benar, maka pemain tersebut bergantian menjadi Pak Empo, dan begitu seterusnya.
Namun siapa sangka, dolanan yang hampir punah, dianggap kuno, dan seolah ketinggalan zaman tersebut menyimpan pesan mendalam yang disisipkan oleh Sunan Giri dalam memberikan pelajaran tentang kehidupan bagi masyarakat Jawa ketika itu.
Mari kita simak setiap bait-baitnya.
Kalimat cublak-cublak suweng pada awal bait menjelaskan bahwa terdapat tempat berharga, yaitu suweng atau suwung, yakni tempat sepi, sejati, atau dapat juga disebut sebagai harta sejati. Artinya, Tuhan dalam menciptakan manusia, telah menyediakan beragam kebutuhan sebagai penunjangnya.
Kemudian, pada bait selanjutnya yakni, Suwenge teng gelenter, Sunan Giri menjelaskan bahwa harta sejati yang berupa kebahagian sejati tersebut sebenarnya sudah ada dan berserakan di sekitar kita. Hanya saja, terkadang hal tersebut seringkali tidak dipahami oleh sebagian manusia.
Selanjutnya, mambu ketundhung gudel memiliki arti banyak yang berusaha mencari harta sejati itu, bahkan orang-orang bodoh yang diibaratkan sebagai gudhel atau anak kerbau mencari harta itu dengan penuh nafsu ego dan keserakahan, dengan dalih untuk menemukan kebahagian.
Sebagai puncaknya, pada bait ketiga dan keempat, Sunan Giri menjelaskan siapa dan bagaimana cara memperoleh harta sejati atau kebahagiaan sejati tersebut.
Sopo ngguyu ndhelikake memiliki arti siapa yang tertawa menyembunyikan. Dalam arti lain, bahwasannya barang siapa bijaksana, dialah yang akan menemukan tempat tersembunyi, berisi harta sejati atau kebahagian sejati tersebut. Dia adalah orang yang sumeleh (pasrah, tawakal) dalam menjalani kehidupan, walaupun berada di lingkungan orang yang serakah harta sekalipun.
Melalui kalimat sir-sir pong dele kopong yang diulang tiga kali, menekankan bahwa untuk menjadi bijaksana yang mendapatkan kebahagiaan sejati atau cublek suweng, hati nurani manusia haruslah kosong. Artinya, mengosongkan diri dari obsesi harta duniawi yang berlebih, senantiasa tersenyum, rendah diri, tidak merendahkan sesama manusia, serta senantiasa mengasah sirr atau hati nurani agar tajam dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Apabila kita cermati rangkaian bait dalam lagu dolanan cublek-cublek suweng yang diciptakan oleh Sunan Giri, harta sejati atau kebahagiaan sejati buka terletak pada banyaknya harta yang kita miliki, jabatan yang tinggi, dan obsesi duniawi semacamnya. Melainkan terletak pada bagaimana kita mensyukurinya dalam kesunyian dari hati yang terdalam, sekecil apapun itu, dengan tanpa merendahkan orang lain.
Akhirul kalam, mari kita senantiasa merawat tradisi Nusantara yang kaya akan pelajaran mengenai kehidupan, dunia maupun akhirat. Meski secara tekstual tidak tampak “islami”, tapi dengan dolanan ini kita dapat mengukuhkan ajaran Islam dalam bingkai keindonesiaan yang ramah akan keberagaman.
Yuk, bermain!