Dewasa ini umat Islam dilanda krisis yang cukup memprihatinkan berkenaan dengan upaya mengembalikan eksistensinya pada realitas sosial, politik, hukum dan budaya dalam tata pergaulan internasional. Hal ini berhubungan dengan situasi dunia modern yang sudah banyak berubah pasca kolonialisme. Sehingga berbagai upaya pembaharuan dilakukan, supaya Islam tetap eksis dimanapun dan kapanpun dia berada atau Sholih fi Kulli Zaman wa Makan.
Faktor-faktor tersebut memunculkan tokoh-tokoh yang mempunyai sebuah gagasan atau alternative baru dalam memaknai Islam. Salah satunya adalah pemikir Islam kontemporer dari Sudan yaitu Muhammad Mahmud Thaha. Beliau lahir pada tahun 1909 M, sedangkan versi lain beliau lahir 1911 M di sebuah kota kecil bernama Ruf’ah di tepian Timur Sungai Nil, Sudan.
Sejak kecil, beliau sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya, ibunya meninggal tahun 1915 dan ayahnya meninggal tahun 1920. Oleh karena itu beliau kemudian dibesarkan oleh keluarga besarnya sampai dewasa. Muhammad Mahmud Thaha, telah menyelesaikan studi di bidang Tehnik di Gordon Memorial College yang kemudian menjadi University of Khartoum pada 1936.
Setelah menyelesaikan studinya tersebut, beliau menjadi pegawai jawatan kereta api kurang lebih empat tahun di Sudan. Setelah berhenti dari jawatan kereta api, beliau mendirikan lembaga pendidikan pada tahun 1940-an.
Selain aktif di dunia pendidikan, beliau juga berpatisipasi di perjuangan pergerakan Sudan dari pemerintahan kolonial Anglo-Egyption yaitu pada tahun 1930-an. Namun beliau tidak sependapat dengan kaum terpelajar Sudan, karena menyerahkan keahlian dan kemampuannya kepada pemimpin agama sektarian tradisional yang hanya menyerukan dukungan dari masyarakat Sudan. Pada tahun 1945, beliau dengan sahabatnya mendirikan partai politik al-Hizb al-Jumhuri sebagai sarana memperjuangkan ideologi untuk kemajuan masyarakat Sudan.
Salah satu gagasan kontroversial Mahmud Thaha adalah tentang evolusi syari’ah, yaitu syari’ah harus mengalami evolusi (tathowur) terus menerus seiring kemajuan tingkat kemampuan manusia. Dalam gagasannya tentang evolusi syari’ah, beliau mengenalkan risalah kedua. Yaitu, menurutnya konsep penyampaian wahyu belumlah selesai sehingga ayat-ayat yang dihapus oleh ayat yang turun setelahnya, masih bisa digunakan sesuai dengan zamannya.
Sehingga dalam persoalan ijtihad beliau memandang tidak perlunya batasan-batasan ijtihad seperti yang banyak diuraikan oleh para ulama. Konsep ijtihad yang dikehendaki oleh Mahmud Thaha adalah ijtihad yang memberi kebebasan bagi individu, tanpa memperhatikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang telah digariskan oleh syari’ah selama ini.
Mahmud Thaha memunculkan sebuah pandangan baru, dengan menawarkan sebuah metodologi pembaharuan hukum Islam salah satunya melalui konsep nasikh-mansukh. Baginya, hukum Islam yang ada sudah tidak kontekstual lagi, apalagi jika bertemu dengan konteks budaya setiap negara yang berbeda, misalnya seperti Sudan yang di dalamnya terdapat penganut agama lain, apalagi jika berkaitan dengan hak asasi manusia dan demokrasi. Hal ini dituangkan dalam karya-karyanya, misalnya al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam.
Dalam konsep Nasikh-Mansukh, para ulama terdahulu mendefinisikan Makkiyah sebagai bagian ayat-ayat Al Qur’an yang turun sebelum peristiwa hijrah Nabi SAW ke Madinah dan mendefinisikan Madaniyyah bagian ayat-ayat Al Qur’an yang turun pasca hijrah.
Akan tetapi, Mahmud Thaha mendifinisikan Makiyyah adalah bagian Al-Qur’an yang esensial (ushul) yang di dalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal Islam, yakni keadilan, persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, toleransi, nilai dasar demokrasi, hak asasi manusia. Sedangkan Madaniyyah adalah bagian Al-Qur’an yang furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghormati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama.
Mahmud Thaha berpandangan bahwa ayat-ayat Makkiyyah lebih egaliter dan universal serta sesuai dengan kondisi zaman yang terus berkembang, dibandingkan dengan ayat Madaniyyah yang lebih bersifat sektarian dan membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, terutama antara kaum perempuan dan laki-laki serta antara muslim dan non muslim. Asumsi ini oleh beliau lebih didasarkan pada model penyebutan atau permulaan yang ada di masing-masing ayat baik itu ayat Makkiyah maupun ayat Madaniyyah.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara Mahmud Thaha dengan jumhur ulama, yaitu menganggap bahwa ayat Makiyyah mengalami penghapusan setelah turunnya ayat Madaniyyah. Padahal sebenarnya para jumhur ulama tidak berpendapat demikian, bahwa Nasikh merupakan penghapusan ayat Madaniyyah terhadap ayat Makiyyah melainkan penghapusan yang dilakukan oleh ayat yang datangnya kemudian terhadap ayat yang datangnya lebih dahulu yang keduanya bertentangan dalam satu hal (kejadian) yang selanjutnya berbeda pula dalam hal hukum.
Pada tahun 1946 M Muhammad Mahmud Thaha ditangkap dan dijatuhi hukuman. Beliau dipenjara satu tahun ketika menolak berhenti dari aktivitas politik yang menentang pemerintahan kolonial. Karena mendapatkan banyak protes dari partai Republik, maka Mahmud Thaha dibebaskan setelah lima puluh hari dipenjara.
Pada awal pemerintahan Ja’far Numeire Mahmmud Thaha dilarang untuk ceramah dan menulis berbagai pandangannya di surat kabar karena pandangannya dianggap terlalu liberal. Tanggal 13 Mei 1983 M, Mahmud Thaha dan sebagian pengikutnya ditahan karena membuat selebaran mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani masalah yang merugikan non-muslim
Pada tanggal 19 Desember 1984 M Mahmud Thaha dibebaskan setelah ditahan sekitar 19 bulan tanpa tuduhan yang jelas. Satu minggu setelah dibebaskan, Mahmud Thaha menyebarkan selebaran tentang pencabutan undang-undang baru dan menuntut jaminan kebebasan sipil bagi seluruh rakyat Sudan secara demokratis. Menurutnya, undang-undang baru tersebut mendistorsi Islam, melecehkan manusia, dan membahayakan integrasi nasional.
Karena selebaran itu, Mahmud Thaha ditangkap pada tanggal 5 Januari 1985 M atas tuduhan berusaha mengubah konstitusi, menghasut dan mendorong oposisi inkonstitusional terhadap pemerintah, mengganggu stabilitas umum, serta menjadi anggota organisasi terlarang. Sehingga pada tanggal 18 Januari 1985 M, Mahmud Thaha dijatuhi hukuman gantung.
Muhammad Muhammad Thaha adalah sosok pemikir yang menghargai kebebasan individu, hak asasi manusia, termasuk pada persoalan kebebasan beragama. Lewat bukunya Al-Risalah Al-Tsaniyah Min Al-Islam, Mahmud Thaha mencoba untuk merevolusi syariat Islam dengan memilah ayat mana dalam Al Qur’an yang sesuai dengan pesan HAM dan kehidupan umat manusia yang terus berkembang.