Mahbub Djunaidi (1933-1995) memiliki rapor ‘angka baik’ istilah Umar Said, di mata tokoh-tokoh, khususnya islam dan organisasi Nahdlatul Ulama. Kesan yang sama juga dipersaksikan oleh Jakob Oetama, pemilik Kompas Group, bahwa Mahbub memiliki rapor lebih tinggi nilainya daripada Gus Dur sekalipun dalam hal perhubungan dengan tokoh di luar NU. Saya pribadi tidak akan membandingkan kedua tokoh penting NU ini.
Mahbub bisa diterima oleh banyak kalangan karena beberapa sebab: intelek, luwes, humoris, sederhana (asketis), dan pemberani. Kombinasi modal tersebut sangat sulit terkumpul pada satu sosok. Prestasi Mahbub dalam menjalin komunikasi dengan berbagai kalangan sebenarnya tradisi panjang NU yang belakangan semakin memudar. Dalam masalah ini, Mahbub satu rangkaian-sanad dengan tokoh NU seperti Mbah Wahab, Mbah Zuhri, Mbah Wahid Hasyim, dan Gus Dur sendiri.
Mahbub pernah menempati posisi penting di dalam struktural NU maupun di luar NU pada usia yang sangat muda, sekitar tigapuluh tahunan. Tetapi Mahbub tidak mendulang materi dari posisinya, dan ini teladan seorang Mahbub yang luar biasa. Misalnya, Mahbub aktif jadi pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak tahun 1960. Terpilih menjadi ketua umum PWI nasional pada akhir tahun 1965. Mahbub menahkodai PWI pada masa ganas, kata Jakob Oetama yang kebetulan menjadi sekjen-nya.
Bagaimana tidak ganas, memimpin lembaga pers nasional menjelang peralihan rezim adalah bukan hal mudah, fase yang paling genting dalam sejarah bangsa Indonesia. Di mana para kuli tinta adalah termasuk target utama yang harus dibersihkan dari unsur-unsur rezim lama (para Sukarnois) dan memiliki potensi membangkang terhadap tata-krama orde baru.
Tidak sekedar peralihan rezim biasa, ini peralihan menyeluruh dari orientasi negara paskakolonial yang berdiri menegakkan kemerdekaan sekaligus politik dekolonisasi ke orde imperialisme-baru dengan model rezim militer, ini terjadi di seluruh kawasan dunia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi motor gerakan dekolonisasi menyeluruh, tidak saja ideologi politik, tetapi juga mentalitas dan kebudayaan.
Peristiwa pada akhir 1965 itu sangat gelap sampai hari ini, dan memecah anak bangsa dalam kubu-kubu tertutup satu dengan lainnya. Masih menurut Jakob, Mahbub memilih moderat dan manusiawi dalam menengahi perbedaan pandangan soal 1965 dan mereka yang di-PKI-kan. PWI Jakarta dibawah Harmoko justeru terkontaminasi sehingga berlebihan dengan membesar-besarkan soal 1965 dan para simpatisan PKI.
Kalau membaca beberapa apresiasi teman-temannya, Mahbub tahu secara mendalam tentang peristiwa hitam dalam sejarah Indonesia tersebut. Tidak saja karena Mahbub adalah orang dekatnya Soekarno, tetapi ketajaman intelektualnya menangkap akar dan pokok persoalan yang sesungguhnya sedang terjadi.
Sulit membuktikannya, tetapi paling tidak dari beberapa pengakuan, Mahbub salah seorang yang tidak berubah sikap seiring dengan peralihan rezim, ia tetap mempertahankan pandangan, sikap kritis, dan keberaniannya. Konsistensi menjalankan prinsip intelektualnya adalah salah satu bukti bahwa Mahbub memahami dengan baik situasi sebenarnya. Tidak melakukan sedikitpun tindakan yang menguntungkan pribadinya semata.
Tumbuhnyapara petualang, baik di internal maupun di luar NU tidak sedikitpun memancing Mahbub terbawa arus, atau mengkampanyekan permusuhan kepada sesama teman dan anak bangsa. Mahbub bertahan pada prinsipnya sendiri, egaliter, kritis, asketis, dan humoris. Terutama sikap kritisnya, Mahbub tidak berubah samasekali, ia menjalankan prinisp bersikap adil sejak dalam pikiran (frasa Pram) dengan konsisten. Sikap kritisnya tidak sekedar dibayar dengan penjara pada dekade 1970-an, tetapi kesiapsediaan mengorbankan hidupnya atas pengamalan prinsinya.
Pendapat yang mengatakan bahwa Mahbub tidak disapu oleh Soeharto karena posisinya di NU ada benarnya, tetapi sebenarnya Mahbub sudah menyiapkan diri akan resiko terburuk sekalipun.
Salah satu langgam kritis Mahbub adalah menguntit setiap bentuk newspeaks dari big brother (rezim Orde Baru). Gaya Orwellian kum gojegan Betawi dan pesantren ini sepertinya efektif untuk menyelamatkan prinsipnya. Juga memberinya keleluasaan untuk mendeteksi setiap kosakata baru dari rezim baru dan para pemujanya.
Kalau membaca tulisan Mahbub lebih teliti, tampak bahwa Mahbub menyadari Orde Baru merupakan kekuasaan totaliter yang fasistik, sebuah rezim yang menghukum dengan cara menguntit warganya pada tiap helaan napas. Bahkan Mahbub membayangkan objek tatapan sang big brother itu tidak saja mencuci otak, tetapi juga melakukan penghukuman fisikal seperti narasi Kafka-ian, di mana setiap bagian dari tubuh korban diawasi memakai pelbagi instrumen penghukuman.
Perlawanan terhadap bentuk newspeaks ini lebih tepat dipakai untuk mengkaji tulisan-tulisan Mahbub. Kita paham ledekan Mahbub kepada para pendukung rezim baru ini dalam konteks perlawanan dengan membebaskan diri dari doktrinasi bahasa oleh rezim baru.
Gaya narasi tulisan Mahbub memang tidak selalu tepat dinilai karena kejenakaannya. Walaupun membaca aspek humor dalam tulisan Mahbub, dan juga dalam tulisan Gus Dur, adalah langgam tulisan yang mengesankan bagi generasi selanjutnya yang belakangan jejaknya mudah dilihat dalam berbagai bentuk tulisan anak-muda milineal. (Wallahu alam bishawab)